DI tengah kritik pedas tentang pencapaian target komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap realisasi akses 12,7 juta hektare perhutanan sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan cara cerdas. Bekerja sama dengan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, PSKL membuat pelatihan jarak jauh (e-learning) untuk para petani dan pendamping hutan sosial.
Problem hutan sosial setelah izin dari pemerintah diterbitkan adalah kapasitas dalam pelaksanaan, pendampingan, dan perubahan kinerja layanan pemerintah di pusat maupun daerah. Pemberian akses petani mengelola hutan negara memiliki tiga tujuan: memberdayakan ekonomi masyarakat, meredakan konflik sosial, dan meningkatkan tutupan ekologis hutan.
Melalui e-learning penguatan kapasitas seluruh pelaku dan pendamping perhutanan sosial untuk mencapai tiga tujuan tersebut bisa terjadi, di tengah kesulitan interaksi akibat kebijakan pembatasan hubungan sosial di tengah pandemi wabah virus corona covid-19. Saya sebut “cara cerdas” karena pembelajaran dan penguatan kapasitas itu dilakukan melalui teknologi Internet.
Hal ini menguatkan pandangan bahwa perubahan yang telah dilakukan pemerintah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Ada perubahan paradigma yang terasa dengan memulai budaya kekinian dengan memanfaatkan dunia maya dalam berinteraksi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sampai tingkat akar rumput.
Apa yang cerdas?
Saya berselancar menelusuri persiapan dan instrumen yang dipakai KLHK dalam menyiapkan dan menggerakkan belajar jarak jauh itu melalui web KLHK di http://elearning.menlhk.go.id/. Halaman demi halaman saya buka. Saya menemukan enam katagori pelatihan yang sudah dikelola oleh BP2SDM KLHK, tentang kepemimpinan, administrasi, fungsional, pelatihan teknis, pelatihan masyarakat, dan pelatihan prakerja. Portal ini menyediakan informasi terkait jenis pelatihan, jadwal, materi, dan panduan pengguna. Sangat lengkap.
Dalam catatan saya, sebuah portal pemerintah biasanya hampir tidak dibuka oleh bagian atau sektor lain yang tidak memiliki tugas pokok dan fungsi secara langsung berhubungan. Namun PSKL telah membuka, menggerakkan dan memobilisasi sumber daya yang dimiliki KLHK, melalui gerakan serentak seluruh Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BDLHK). Harmonisasi kerja BP2SDM dan PSKL telah menggerakkan semua unsur di dalam KLHK. Dalam birokrasi Indonesia, kolaborasi ini sebagai sebuah kerja cerdas.
Dengan segera pula, PSKL menggerakkan sebuah tim kerja, untuk terlibat dalam pelaksanaan pelatihan perhutanan sosial. Persiapan materi, modul, penjadwalan detail pelatihan, dan peserta pelatihan, menjadi bola salju yang menggelinding dari pusat sampai ke pelaku dan pendamping hutan sosial. Mereka digerakkan dengan satu ikatan yang terlihat begitu smooth dan menggembirakan: belajar bersama. Target sasaran pelatihan, 3.000 peserta dalam waktu tiga bulan, jadi terlihat realistis. Dimulai pada 27 April 2020, e-learning itu sudah menyelesaikan dua gelombang dan dua angkatan.
Setelah menyaksikan dua gelombang itu, saya mencatat bahwa belajar jarak jauh ini telah memunculkan pemahaman bersama terkait kebijakan perhutanan sosial melalui dunia maya. Para direktur, kepala balai, kepala seksi, staf teknis, pendamping, dan pelaku usaha hutan sosial, bahkan mitra-mitra PSKL yang berada dalam Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS), bersama-sama memahami konsep, kebijakan, peluang, masalah, dan solusi kebijakan ini.
Artinya, apa yang selama ini belum terjadi sehingga tecermin dalam target realisasi akses hutan sosial, rasa-rasanya akan segera teratasi.
Salam Lima Jari
E-learning biasanya dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Rasa kebersamaan diikat dengan merah putih yang berkibar di layar komputer semua peserta. Iringan musik dalam ruang maya ini, memiliki sentuhan yang luar biasa. Dada saya berdetak lebih cepat. Juga salam lima jari, salam khas perhutanan sosial.
Saya membayangkan posisi duduk para peserta pelatihan di tempatnya masing-masing. Apakah mereka duduk, biasanya kaku dan diam, sambil mendengarkan Menteri LHK berpidato. Apakah mereka juga khusyuk mengikuti doa pembuka?
Pelatihan dimulai dengan memastikan semua peserta tersambung Internet. Gawai para peserta beragam, tapi itu tak jadi masalah. Moderator fokus mengelola peserta dan narasumber. Dari pengamatan selama 4 hari, saya melihat mereka lebih berenergi dan tidak mendapat hambatan dalam berkomunikasi. Walaupun hanya dapat memantau antusias peserta melalui layar yang kadang terganggu oleh jaringan Internet, interaksinya terasa hidup.
Di ruang belajar maya, para pelatih pun menjaga metodologi pelatihan dengan sangat baik dan komunikatif. Mereka bisa mengelola waktu, menarik respons peserta dengan pertanyaan-pertanyaan kunci. Responsnya pun di luar dugaan, karena peserta (petani dan pendamping) lebih lancar merespons tanpa kendala mental (seperti umumnya terjadi dalam kelas-kelas offline).
Petani dan pendamping, dengan lugas menyampaikan kendala dan data-data di lapangan tanpa terkendala komunikasi. Diskusi pun menjadi hidup. Saya melihat penguasaan materi dari para kepala seksi dan kepala balai, serta kemampuan mereka dalam menyampaikan materi, juga sama baiknya. Semua materi sulit tersampaikan dengan baik, hal ini terlihat dari respons dan pertanyaan para peserta yang tidak melenceng dari maksud dan tujuan para tutor.
Pada pelatihan hari pertama, ada penjelasan program dan alur pelatihan, dilanjutkan dengan materi Mitigasi dan Penanganan Wabah Covid-19. Di awal pembelajaran online ini, masih banyak peserta yang terlihat bermasalah dengan alat komunikasi, di tengah gangguan sinyal yang putus-sambung. Tapi semuanya setia di depan layar gawai. Wajah mereka tak kendur meski ada gangguan teknis.
Di hari kedua, materi cukup berat dan mulai masuk pada contoh-contoh tentang model-model pendampingan perhutanan sosial. Kasus-kasus lapangan disampaikan peserta merupakan fakta nyata yang mereka hadapi. Banyak persoalan setelah izin bertolak dari usaha bisnis komoditas yang mandek dan hal-hal sederhana terkait pengelolaan kelembagaan. Para pendamping terlihat cukup paham dengan persoalan lapangan, namun masih memerlukan pembelajaran teknis terkait pola relasi kebijakan hutan sosial dan akses pada sumber daya keuangan dan pasar.
Beberapa model hutan sosial yang berhasil yang dicontohkan pengajar memberikan inspirasi bagi penggiat dan pendamping hutan sosial. Pada sesi ini rasanya waktu terasa kurang karena problem lapangan berbeda dengan masalah hutan sosial yang dijadikan model. Akan menarik jika waktu untuk sesi ini lebih leluasa sehingga pembahasan masalah lapangan, terutama problem pendampingan hutan sosial di tahap awal, dibahas tuntas. Meski begitu, diskusinya tetap hidup karena semua diberikan kesempatan bertanya dan menyampaikan kendala dan potensi di lapangan.
Materi yang cukup berat adalah “Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Hutan dan Lingkungan”. Ulasan tentang kebijakan pengelolaan kawasan hutan terlalu luas untuk pendamping dan pengelola perhutanan sosial, karena persoalan pagi pemegang sebuah hutan sosial adalah penandaan batas antar unit usaha. Persoalan batas dan zonasi sebaiknya tidak dibebankan kepada kelompok usaha dan pendamping.
Untuk gelombang berikutnya sebaiknya ada pemilahan mata pelajaran dan bisa lebih disederhanakan untuk materi-materi teknis dan detail yang membutuhkan pemahaman lebih. Perlu ada pemilahan materi untuk petani yang terpisah dengan materi untuk pendamping. Menggabungkan keduanya akan membuat peserta bingung.
Materi “Kerja Sama, Akses Permodalan, dan Akses Pasar” menjadi pembahasan yang mengundang minat banyak peserta. Tampaknya memang persoalan bagaimana menjalin kerja sama menjadi pekerjaan berat para pendamping. Setelah izin hutan sosial, aspek kerja sama memang menjadi pekerjaan para pendamping untuk menghubungkan petani pemegang izin hutan sosial dengan mitra potensial dalam membantu modal dan akses pasar produk hutan sosial. Meski kisi-kisinya lengkap, pembahasannya belum menjawab seluruh persoalan “how to do” di lapangan.
Pada hari terakhir, peserta mendapat materi tentang “Pengelolaan Pengetahuan, dan Monitoring dan Evaluasi Perhutanan Sosial”. Dua topik yang cukup berat bagi petani, karena, menurut saya, terlalu “advance”. Materi ini sebaiknya dikhususkan untuk pendamping dan staf BDLHK dan BPSKL di lapangan.
Karena itu PSKL perlu memilah antara tugas pendamping dan staf balai di daerah. Mengelola pengetahuan dan evaluasi hutan sosial adalah instrumen penting untuk memastikan kemajuan program ini di lapangan. Untuk petani juga perlu pengembangan monitoring dan evaluasi partisipatoris, sehingga evaluasi diketahui secara bersama yang akan menjadi bahan penting bagi petani dan pendamping dalam memajukan hutan sosial.
Secara umum, pendekatan e-learning perhutanan sosial setelah izin ini disiapkan dan dilaksanakan dengan keren dan cerdas. Terutama interaksi peserta dan tutor yang cair dan gayeng sehingga belajar menjadi efektif dan efisien. Sekali lagi, kolaborasi dan kesamaan pandangan dalam mengembangkan hutan sosial dari hulu ke hilir yang akan menjawab kritik pedas realisasi hutan sosial.
Belajar jarak jauh ini adalah usaha memberikan “ruang kelola” hutan kepada masyarakat yang butuh proses yang panjang dan investasi sosial yang besar.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012, penasihat senior Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia Kehati
Topik :