Kabar Baru| 16 Mei 2020
Aturan Penghapusan SVLK Dicabut
AKHIRNYA, setelah dikritik sana-sini, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mencabut Peraturan Nomor 15/2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang terbit pada Februari lalu sebelum efektif berlaku pada 27 Mei 2020. Peraturan ini meniadakan kewajiban eksportir menjalankan verifikasi asal-usul produk yang mereka jual ke luar negeri.
Melalui Peraturan Nomor 45/2020 yang terbit pada 11 Mei 2020, Menteri Perdagangan mencabut peraturan tersebut sehingga syarat menyertakan V-Legal sebagai ketentuan ekspor berlaku kembali. Atau ketentuan ekspor produk kehutanan mengacu kembali ke aturan lama, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Penghapusan SVLK atau sistem verifikasi legalitas kayu dikritik akan menyuburkan kembali praktik pembalakan liar. SVLK menjadi inisiatif pemerintah Indonesia pada 2003 sebagai jawaban atas kritik dunia internasional bahwa Indonesia negara yang tak bisa menjaga hutannya karena menjual kayu dan produk kehutanan dari proses yang ilegal.
BACA:
Salah satu yang disorot adalah praktik pembalakan liar yang marak sejak Reformasi 1998. Akibatnya, nilai kayu dan produk kehutanan Indonesia kalah bersaing di pasar internasional. Harganya pun jatuh karena negara-negara penerima menduga produk-produk tersebut ilegal.
SVLK menjawab dua problem utama pengelolaan hutan Indonesia sekaligus: mencegah pembalakan liar sekaligus meningkatkan daya saing industri kehutanan.
Setelah melalui serangkaian diskusi dan ratifikasi, Uni Eropa menerima SVLK sebagai standar yang setara dengan EU Timber Regulation pada September 2013. Pasar kayu dan produk kehutanan Indonesia pun terbuka lebar di pasar Eropa, juga Amerika, yang meniru syarat serupa seperti yang diterapkan Eropa.
Hal itu terbukti dari nilai ekspor kayu dan produk kehutanan yang meningkat sejak 2013. Jika pada tahun itu nilai ekspor produk industri kehutanan hanya US$ 6,05 miliar, pada November 2019 nilainya naik menjadi US$ 11,48 miliar. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada 2018 sebesar US$ 12,13 miliar atau Rp 169 triliun.
Kenaikan signifikan itu berkat pemberlakuan V-Legal dalam SVLK yang disyaratkan Uni Eropa untuk jenis ekspor terbatas. Hingga 15 November 2019 telah terbit sebanyak 118.232 dokumen V-Legal untuk ekspor ke-28 negara anggota Uni Eropa. Belanda, Inggris, Jerman, Belgia, dan Prancis adalah lima negara tujuan terbanyak yang menyerap kayu dan produk kehutanan Indonesia.
BACA: SVLK Tulang Punggung Perdagangan Kayu
Meski di sana-sini masih terjadi kebocoran SVLK, seperti pemalsuan sertifikat dan audit yang longgar sehingga penyalahgunaan acap terjadi di lapangan, secara umum SVLK dinilai sebagai upaya sistematis dan serius pemerintah Indonesia memerangi pembalakan liar. Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Komisi Pemberantasan Korupsi acap diberitakan menangkap kayu aspal (memakai cap SVLK tapi palsu) yang hendak diekspor melalui banyak pintu pelabuhan.
Pembalakan liar adalah salah satu kunci mencegah deforestasi dan degradasi lahan di Indonesia yang menyumbang emisi dalam pemanasan global. Meski luas deforestasi terus turun, Indonesia acap disorot sebagai negara yang kerepotan mencegah penggundulan hutan tropis yang menjadi jaring pengaman terakhir planet bumi setelah hutan Amazon di Amerika Selatan.
LEBIH DETAIL: Sebab-sebab Penghapusan SVLK Dibatalkan
Karena itu kebijakan Menteri Perdagangan yang hendak menghapus SVLK dan menggantikannya dengan tim khusus atas izinnya, menuai banyak kritik para konservasionis. Kebijakan untuk menyederhanakan izin ekspor untuk merangsang industri kehutanan itu akan menjadi senjata makan tuan bagi Indonesia: meski izin sederhana daya saing produknya menjadi lemah karena pasar menolaknya. Dus, pembalakan liar tak terjamin marak kembali.
Dengan dicabutnya peraturan tersebut, setidaknya Indonesia punya sistem yang bisa mencegah pembalakan liar yang akan menaikkan deforestasi dan degradasi kawasan hutan. Di tengah usaha mencapai target pengurangan emisi yang disepakati dalam Perjanjian Paris untuk mencegah pemanasan global, pembatalan tersebut bisa jadi penopangnya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :