PESAN pendek masuk melalui aplikasi WhatsApp sehabis sahur dua hari lalu: “Permendag 15 dicabut...” dengan lampiran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/2020 yang mencabut aturan tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang terbit Februari lalu. Saya tersenyum tak jelas.
Peraturan Nomor 45 terbit pada 11 Mei 2020. Sebagai orang awam hukum dan etika undang-undang, saya buka catatan belajar empat bulan lalu tentang asas contrarius actus, asas hukum administrasi negara yang memberikan pejabat atau lembaga negara menerbitkan aturan sekaligus kekuasaan mencabutnya.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mengatur tentang pencabutan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara (K-TUN), terutama Pasal 64, yang mengatur pembatalan keputusan administrasi pemerintahan di Pasal 66.
William Livesey Burdick dalam The Principles of Roman Law and Their Relation to Modern Law di halaman 235 menulis: If an obligation had been entered into by the expression of solemn words, it could be extinguished only in the same way, namely by the “unsaying” of the words in the same way and manner in which they had been originally spoken. Artinya, pencabutan sebuah keputusan tata usaha negara yang telah dibuat dan berkekuatan hukum hanya bisa dilakukan sesuai dan bagaimana cara keputusan tersebut dibuat.
Kekeliruan di dalam keputusan administrasi negara umumnya disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya luasnya wewenang pemerintahan, peraturan perundang-undangan yang tidak lengkap, serta kurangnya petunjuk pelaksanaan. Setidaknya ada empat prinsip yang bisa dipakai utuk melihat kekurangan sebuah keputusan administrasi:
(1) keputusan yang keliru bisa ditinjau dan ditarik kembali oleh pejabat pembuatnya, sepanjang tidak ada aturan yang melarang tindakan tersebut;
(2) pembatalan sebuah keputusan didasarkan pada bentuk dan tata cara penerbitannya, apabila aturan mengenai tata cara pembatalan itu tidak tersedia;
(3) seluruh upaya harus ditempuh guna mencegah berbagai efek negatif akibat pembatalan keputusan negara, yang dapat berbentuk kerugian dan pelanggaran hak masyarakat terkait, merugikan kepastian hukum, atau mengurangi wibawa pemerintah; dan
(4) sebuah keputusan yang memiliki kekurangan akibat tidak terpenuhinya sejumlah syarat, maka pembatalannya bersifat sementara hingga syarat tersebut terpenuhi.
Dalam Pasal 66 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30/2014 disebutkan bahwa tindakan pencabutan atau pembatalan sebuah keputusan bisa dilakukan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi. Pencabutan itu bisa dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang menetapkannya, oleh atasannya, atau atas perintah pengadilan.
Keputusan pencabutan sebuah keputusan negara oleh pejabat pemerintahan atau atasannya dilakukan paling lama lima hari kerja sejak ditemukannya dasar pencabutan dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan. Adapun keputusan pencabutan yang dilakukan atas perintah pengadilan dilakukan paling lama 21 hari sejak perintah pengadilan tersebut.
Keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45 Tahun 2020 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 membuat pelaku usaha industri kehutanan dan masyarakat sipil berkerut kening. Haruskah bersorak atau bertanya? Saya sendiri tak setuju atas Peraturan Nomor 15 itu. Ada banyak risiko bagi industri dan produk kehutanan kita. Indonesia bahkan bisa kena sanksi Uni Eropa. Tapi apakah pencabutannya sesuai prosedur?
Peraturan Nomor 45, yang hanya 1,5 halaman, dalam asas “Menimbang” tertulis: “Untuk memberikan kepastian berusaha ekspor produk industri kehutanan dan untuk melaksanakan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa khususnya terkait dengan penggunaan Dokumen V-Legal sebagai dokumen pelengkap pabean, perlu mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan”.
Sementara “Menimbang” Peraturan Nomor 15 berbunyi: “Guna memberikan kepastian berusaha dalam mendukung efektivitas pelaksanaan ekspor produk industri kehutanan dan untuk melaksanakan hasil keputusan rapat koordinasi bidang perekonomian, perlu melakukan penyederhanaan perijinan ekspor produk industri kehutanan”.
Terlihat dua pertimbangan berbeda antara aturan dan aturan pencabutannya. Aturan Nomor 15 mendasarkannya pada kemudahan berusaha, sementara aturan pencabutnya soal perjanjian internasional.
Alih-alih memperjelas duduk soal, seperti dikutip Koran Tempo, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan bahwa Peraturan Nomor 15 dicabut sebelum berlaku, maka persyaratan ekspor produk kehutanan kembali pada peraturan lama yakni Peraturan Nomor 84/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan. Tanpa penjelasan kepada publik tentang alasan pencabutan, Kementerian Perdagangan terkesan melempar masalah ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sejak awal memang, reaksi Menteri LHK cukup keras, karena keputusan itu dianggap berbahaya bagi keberlanjutan kehutanan di Indonesia. Dalam surat kepada Menteri Koordinator Perekonomian, yang beredar di kalangan industri kehutanan, Menteri LHK mengusulkan tentang kebijakan yang spesifik dalam rangka mendukung peningkatan ekspor produk industri kehutanan termasuk bagi industri kecil dan menengah.
Tiga hal yang diminta Menteri Siti Nurbaya adalah kemudahan bagi para pelaku usaha mendapatkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan menyederhanakan izin yang selaras dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja; meningkatkan dukungan APBN pada pembiayaan sertifikasi dan penilaian lanjutan bagi industri kecil secara besar-besaran; dan artikulasi kebijakan dan fasilitasi kemudahan ekspor bagi industri kecil dan menengah yang belum memiliki S-LK, agar tidak terhambat dalam melakukan ekspor produk mereka.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/2020 kekeliruan mencabut Peraturan Nomor 15 terutama yang diatur dalam Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30/2014, yakni keputusan tata usaha negara bisa dicabut apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi.
Yang dimaksud dengan “cacat substansi” adalah keputusan tidak dilaksanakan oleh penerima keputusan sampai batas waktu yang ditentukan; fakta-fakta dan syarat-syarat hukum yang menjadi dasar keputusan telah berubah; keputusan membahayakan dan merugikan kepentingan umum; atau keputusan tidak digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam isi keputusan.
Tanpa penjelasan “cacat substansi”, tampaknya dalam pasal “Mengingat” pun hanya 1 konsiderans yang dirujuk dari 14 konsiderans dalam keputusan ini, yakni Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa (Voluntary Partnership Agreement between the Republic of Indonesia and the European Union on Forest Law Enforcement, Governance and Trade in Timber Products into the European Union) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 51).
Oleh karena itu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/2020 memberi kesan adanya tekanan dari Uni Eropa, karena tak melihat empat ranah yang akan terdampak peraturan ini, yakni
(1) terputusnya sistem online dokumen perizinan, mulai dari tingkat tapak sampai dengan konsumen akhir;
(2) terputusnya koordinasi dan hubungan kelembagaan terkait dengan data rekonsiliasi kayu yang dibalak sampai pajak negara yang harus dibayar;
(3) terhapusnya mekanisme keberatan sebagai instrumen tanggung-gugat dalam sistem yang terpadu; dan
(4) transparansi data dan informasi sektor kehutanan, perdagangan, perindustrian, dan bea cukai.
Cabut Satu, Tumbuh Seribu
Di tengah percakapan Peraturan Nomor 45/2020 itu, diskusi terkait SVLK merembet pada soal surat Menteri LHK kepada Menteri Perekonomian itu. Menteri LHK mengusulkan agar ada Relaksasi Kebijakan Ekonomi Sektor Kehutanan, yaitu usulan penambahan luas penampang untuk ekspor industri kayu.
Dalam kebijakan sekarang, jenis kayu merbau yang bisa dijual ke luar negeri maksimal diameter penampangnya 10.000 milimeter persegi. Menteri usul ditambah menjadi 15.000 milimeter persegi. Sementara kayu merbau dalam kebijakan sekarang penampang diameter yang bisa diekspor 4.000 milimeter persegi, diusulkan menjadi 15.000 milimeter persegi.
Kementerian Perindustrian menolak usul ini. Menurut surat mereka kepada Menteri Koordinator Perekonomian, usulan luas penampang menjadi 15.000 milimeter persegi dianggap terlalu luas, sebab kayu akan berupa balok 30 x 5 sentimeter atau 20 x 7,5 sentimeter atau 15 x 10 sentimeter. Ini balok kayu yang ideal untuk memproduksi mebel dan produk-produk kayu olahan lainnya.
Menteri Perindustrian keberatan karena usul itu bisa mengancam industri dalam negeri. Meluaskan penampang kayu akan membuat industri kayu Cina dan Vietnam lebih leluasa menguasai pasar karena mereka tak punya aturan seperti ini. Apalagi, Cina, Vietnam, dan Malaysia punya keuntungan lain berupa bunga bank di bawah 6% sementara di Indonesia di atas 10%. Mesin mereka juga lebih modern dan efisien. Juga ketersediaan bahan pendukung industri kayu.
Dari diskusi dengan para pelaku industri kehutanan, usul meluaskan penampang produk kayu olahan antara lain kekhawatiran Menteri Lingkungan bahwa kayu yang diekspor merupakan barang setengah jadi atau bahan baku yang akan diproses lebih lanjut di negara tujuan ekspor.
Pemanfaatan produk kayu olahan memerlukan ukuran yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat ada National Design Specification yang mengatur fungsi dan ukuran (termasuk luas penampang) kayu yang digunakan dalam konstruksi dengan berbagai desain. Sehingga ukuran yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan tersebut. Dalam praktik usahanya, para eksportir harus menunjukkan bukti ukuran yang ada dalam faktur pesanan dari pembeli, atau dokumen teknis ukuran tersebut sebagai syarat dalam verifikasi ekspor produk kayu olahan.
Kementerian Perindustrian berkewajiban mengamankan pasokan bahan baku bagi industri (termasuk industri pengolahan kayu), melakukan hilirisasi, menciptakan nilai tambah dan efek pengganda ekonomi serta memperhatikan keresahan yang dialami para pelaku usaha hilir (terutama industri mebel dan kerajinan yang sangat banyak menyerap tenaga kerja).
Sehingga Kementerian Perindustrian memberikan beberapa catatan atas usul Menteri Lingkungan itu:
(1) luas penampang diperbolehkan maksimal 15.000 milimeter persegi
(2) jenis kayu yang diperbolehkan diekspor adalah merbau dan meranti;
(3) ekspor hanya diperbolehkan, setelah ada kepastian kebutuhan industri dalam negeri terpenuhi;
(4) ada pajak ekspor yang bisa mengurangi kecenderungan ekspor bahan baku atau produk bernilai tambah rendah;
(5) ada kewajiban verifikasi produk sebelum diekspor; dan
(6) pembatasan pelabuhan ekspor untuk memudahkan pengawasan.
Pengaturan luas penampang akan relevan apabila menjadi permintaan dan ketentuan di negara tujuan ekspor. Jika ini konteksnya, usul luas penampang bisa meningkatkan nilai tambah kayu olahan, karena harga ekspor kayu olahan dengan luas penampang lebih besar semakin mahal. Hal ini akan mendorong industri hulu/hilir dapat berkembang. Tentu saja hal ini diikuti dengan persyaratan dan verifikasi di lapangan.
Momentum Covid-19
Sebagai sebuah sistem, SVLK akan selalu mengalami guncangan dan kebocoran di sana sini. Gairah untuk mendiskreditkan sistem ini akan datang tanpa mengenal musim dan perubahan kabinet.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 yang hendak menghapus V-Legal dalam SVLK bukan satu-satunya mesin perusak di hilir dan dimungkinkan akan ada cara lain yang akan menghambat jalannya sistem dari hulu ke hilir. Sehingga untuk merawat dan menjaga SVLK sebagai sebuah sistem, tidak bisa diserahkan pada satu sektor di hulu ataupun di hilir belaka.
Keberlanjutan SVLK adalah tanggung jawab para pihak dan menjadi model contoh tata-kelola bagi banyak komoditas. Memotong lintas sektor menjadi sangat penting untuk memitigasi risiko, karena titik-titik penting dan kelemahan SVLK ada di tiap sektor.
Seperti kelapa Sawit, perbaikan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebetulnya belajar dari proses dan mekanisme kerja SVLK. Tipologi persoalan dan kelemahan dalam tata-kelolanya sama dengan SVLK.
Di tengah pandemi wabah virus corona covid-19, komunikasi dan kebijakan antar menteri menimbulkan polemik yang akan mempengaruhi kebijakan Presiden. Kebocoran komunikasi antar menteri dalam Kabinet Jokowi cukup meresahkan. Saling respons secara tertulis antar menteri, yang suratnya beredar luas, akan membuka ruang konflik baru dalam mencari solusi keberlanjutan usaha dan investasi kayu dan produk kayu di masa depan.
Jika kebijakan ISPO, sebagai mata rantai keberlanjutan dilindungi dan dikuatkan oleh Peraturan Presiden, mengapa SVLK tidak dipayungi oleh peraturan dengan derajat yang sama? Peraturan Presiden tentang SVLK, terdengar menarik?
Bogor, 15 Mei 2020
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012, penasihat senior Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia Kehati
Topik :