PANDEMI virus corona covid-19 mungkin tidak akan selesai dalam 1-2 bulan. Mungkin lebih dari itu. Yang optimistis mengatakan, tahun depan kita bisa mengatasinya karena akan muncul obat dan vaksin. Yang pesimistis akan mengatakan perlu waktu sampai 10 tahun untuk semua hal bisa kembali normal, seperti sebelum ada pandemi. Semua sepakat, pandemi ini akan berlangsung lama. Yang diperdebatkan hanya berapa durasinya.
Dalam kurun waktu itu—hanya enam bulan atau sampai 10 tahun—banyak hal berubah. Jangankan selama itu, dalam dua bulan terakhir melakukan isolasi diri saja dan bekerja dari rumah (WFH) sudah banyak hal yang berubah secara revolusioner. Terutama bagaimana kita bekerja dan berinteraksi.
Lalu bagaimana dengan agama? Apakah kehidupan beragama kita akan berubah?
Seorang teman di sebuah negara Asia bercerita bagaimana perusahaannya telah melakukan revolusi dalam satu bulan terakhir. Dulu, tempatnya bekerja adalah perusahaan konglomerasi yang tertutup, tradisional, dan kaku. Komputer di kantor seperti dipasang di dalam benteng: tidak bisa memakai global-internet, tidak bisa mengirim surat-e ke luar kantor, dan lain sebagainya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengakses Google dan mengirim email ke luar kantor. Itu baru untuk pegawai biasa, para akuntan dan karyawan di divisi keuangan bisa lebih ketat lagi.
Kini semua berubah. covid telah memaksa mereka untuk bisa bekerja di mana saja. Dan terbukti, ketakutan mereka di masa lalu akan jebolnya keamanan, ternyata berlebihan. Tentu saja potensi itu ada dan harus diantisipasi, tapi tidak perlu terlalu dicemaskan. Tahun depan, meski pandemi selesai, mereka berencana merampingkan organisasi, karena terbukti pekerjaan mereka saat pandemi jauh lebih efisien.
Corona tidak hanya mengubah cara kita bekerja, tapi juga mempengaruhi keyakinan kita tentang sistem yang kita gunakan, mengubah cara pandang kita pada sesuatu yang baru, yang dulu kita hindari karena kita anggap berbahaya.
Lalu apa hubungannya kisah teman saya itu dengan soal agama? Seperti juga cara kita bekerja, cara kita beragama juga secara kasat mata berubah: tidak ada mass service (salat jamaah dan Jumatan; umrah dan haji), tidak ada majelis-majelis pengajian, tidak ada mass gathering (kumpul-kumpul seperti demonstrasi, istighatsah, buka puasa bersama, khitanan massal, sahur on the road. Ibadah tentu tetap jalan, tapi dilakukan sendiri-sendiri. Pengajian ada, tapi lewat online.
Agaknya, yang berubah bukan hanya bentuknya, dari offline menjadi online. Saya yakin dalam waktu panjang, apalagi kalau pandemi berlangsung tahunan, akan ada banyak hal berubah dari cara dan sikap kita dalam beragama.
Pertama, agama akan berubah menjadi masalah pribadi. Selama ini di Indonesia agama masih menjadi masalah komunal. Seorang memilih agama karena pengaruh keluarga dan masyarakat, demikian juga sikap dan pilihan pandangan agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan, seperti keluarga. Pengaruh itu berkurang seiring dengan meregangnya hubungan fisik di antara komunitas. Dengan demikian, pilihan pribadi akan lebih muncul. Bukannya pengaruh lingkungan hilang sama sekali, tapi lebih berimbang dengan pilihan pribadi.
Karenanya, hal kedua yang muncul adalah sikap beragama lebih banyak pada hal-hal yang bersifat pribadi. Yaitu bagaimana agama memiliki pengaruh pada hal pribadi. Orang akan lebih menekankan agama sebagai penguat diri di tengah kegelisahan. Agama kemudian menjadi alat untuk mengatasi hal-hal yang bersifat pribadi, seperti depresi. Karenanya, kedamaian personal dan spiritualisme akan lebih diminati.
Ketiga, hubungan antara pemuka agama dan umat akan lebih banyak ditentukan oleh kualitas keilmuan, bukan oleh histeria komunal atau kekaguman berlebihan yang diakibatkan oleh kekaguman bersama. Di dalam pengajian online, semua ustaz akan terlihat sama. Ilmu dan tutur katanya yang akan berbeda. Tidak ada glorifikasi, karena tidak ada mass gathering yang memompa hal itu. Semua akan lebih logis.
Keempat, muncul keseimbangan baru dalam pengajian online. Para pemuka agama moderat yang selama masa normal kalah langkah dalam pengajian online, kini mulai muncul di dunia maya dan memberikan alternatif yang cukup signifikan.
Kelima, jika pandemi berlarut-larut, akan muncul sikap beragama yang lebih logis. Dalam artian, tidak ada keajaiban yang bisa menyelamatkan kita. Virus ini tidak pilih kasih, semua orang bisa kena, penganut agama apa pun, sesaleh apa pun mereka.
Pemahaman kita pada doa juga akan lebih logis, yaitu sebagai penguat diri untuk menghadapi masalah ini. Doa lebih berfungsi sebagai alat untuk meneguhkan jiwa kita. Kepasrahan Nabi Ayyub AS dalam menghadapi penyakit akan menjadi suri teladan yang patut ditiru.
Tentu saja, kelima hal di atas hanyalah perkiraan secara common sense yang tidak didasarkan pada bukti ilmiah berupa data-data statistik. Sangat bisa dibantah dan tentu ada kemungkinan lain yang bisa muncul. Saya ingin tulisan ini menjadi pemicu dialog yang lebih luas.
Gambar oleh Samer Chidiac dari Pixabay.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Topik :