Kabar Baru| 18 Mei 2020
Siapkah Kita Menghadapi Pandemi Berikutnya?
SETIAP peristiwa besar dalam sejarah selalu dilatari oleh perubahan iklim. Yuval Noah Harari menyimpulkan tesisnya ini dalam Sapiens ketika ia membahas arus balik migrasi manusia sejak 100.000 tahun lalu. Dari paparan sejarawan Hebrew University Israel itu, yang tengah naik daun hari-hari ini, kita tahu bahwa bumi yang kecil ini memiliki penghuni akibat penyebaran Homo sapiens dari Afrika karena menghindari iklim yang ekstrem.
Iklim tak hanya menjadi mesin tak terlihat dalam evolusi mahluk hidup, juga mendorong distribusi karena memicu perjalanan-perjalanan yang jauh sehingga kian mengukuhkan teori Herbert Spencer soal survival of the fittest—hanya mereka yang kuat yang akan bertahan hidup. Di era modern seperti sekarang, perubahan iklim dan pemanasan global agaknya terus berlanjut. Kita sadar dan tahu tapi memilih mengikuti nafsu.
Apa yang jadi kesimpulan para ahli di jurnal PNAS edisi 4 Mei 2020 menjadi peringatan bahwa mitigasi perubahan iklim tak berjalan dengan benar. “Planet bumi,” tulis mereka di jurnal yang mensyaratkan tinjauan sejawat (peer review) ini. “Tengah berjalan di jalur pemanasan global yang sama.”
Dengan menghitung perubahan cuaca, dan model matematika naiknya suhu permukaan bumi, para ahli itu memprediksi suhu bumi pada 2070 akan bertambah 7,50 Celsius—3 kali lipat dari perkiraan banyak ahli yang menjadi dasar Konferensi Iklim di Paris 2015. Kini suhu bumi tahunan rata-rata di seluruh permukaan sebesar 140 Celsius, dengan suhu terpanas di Jacobabad, Pakistan, sebesar 51,10 Celsius.
Sebelumnya, para ahli memprediksi bumi tak lagi nyaman ditinggali ketika suhu bumi naik 30 Celsius di banding 200 tahun lalu, yakni ketika Revolusi Industri dimulai. Suhu setinggi itu sanggup mencairkan 11 miliar ton es di kutub utara per hari, akibatnya muka air laut naik 19 sentimeter, dan karang jadi putih sehingga air laut jadi asam yang membunuh ganggang dan alga yang hidup di permukaannya. Ikan-ikan karena itu sekarat, tiram kehilangan pakan, burung laut tak bisa lagi memangsa makanan. Ketika mereka bermigrasi, burung-burung yang sakit itu akan menularkan virus ke hewan lain di perairan lain.
Tak hanya itu, kenaikan suhu akan memicu gelombang migrasi besar-besaran seperti terjadi pada 500 tahun lalu ketika terjadi perpindahan manusia ke wilayah yang lebih hangat akibat cuaca ekstrem ketika Eropa mencetak suhu terdingin pada 1560.
Pada 2100 yang terjadi sebaliknya: manusia akan melakukan arus balik dari wilayah panas ke daerah yang lebih dingin. Para ahli di jurnal PNAS itu memperkirakan sebanyak 3,5 miliar manusia akan terdampak suhu panas ekstrem, terutama di wilayah selatan bumi.
Kenaikan suhu dipicu oleh naiknya temperatur di gurun Sahara Afrika yang merembet ke wilayah lain, terutama kawasan miskin di Asia Selatan. Gurun Sahara yang memiliki suhu tahunan rata-rata -11-150 Celsius akan terpanggang dalam suhu tahunan 290 Celsius.
Kenaikan suhu tersebut terjadi jika manusia masih bandel dan menolak mengubah gaya hidup yang memicu eksploitasi alam. Kenaikan bisa dicegah separuhnya—dalam arti wilayah yang terpanggang akan berkurang setengahnya—jika kita lebih menyayangi bumi, mengubah gaya hidup, beralih memakai sumber energi yang terbarukan yang tak memicu emisi karbon yang membuat ozon bolong dan radiasi sinar ultraviolet bertambah kencang.
Tak hanya memicu migrasi, bencana, kelaparan, bahkan konflik sosial, perubahan iklim juga mendorong tumbuhnya virus-virus baru. Virus-virus paling nyaman bersarang di tubuh kelelawar atau hewan pengerat. Kenaikan suhu bumi membuat evolusi pada tubuh hewan-hewan tersebut atau mereka juga bermigrasi ke daerah lain untuk menghindari sekarat.
Para peneliti telah menemukan hubungan kenaikan emisi akibat naiknya suhu bumi terhadap penyebaran virus pandemi di beberapa abad ke belakang. Seperti virus flu Spanyol yang diduga muncul karena kenaikan panas di laut Polandia yang membuat tiram sakit sehingga burung-burung kehilangan pakan dan menularkan virus ke hewan laut lain ketika mereka bermigrasi ke laut Spanyol yang teduh.
Di Kanada dan Amerika, munculnya virus baru diduga berhubungan dengan kematian 80% koloni kelelawar di gua-gua akibat jamur bintik putih di moncong dan sayap mereka. Kemunculan jamur putih diduga akibat kenaikan suhu udara di gua tempat koloni kelelawar itu hibernasi selama musim panas.
Virus yang kehilangan inang, atau tak bisa bertahan di tubuh kelelawar yang lama terbang—lama terbang menemukan tempat baru yang nyaman membuat energi kelelawar banyak terpakai sehingga panas tubuh mereka naik—mendorong mereka berpindah ke hewan lain yang lebih nyaman. Virus umumnya tak tahan berada dalam suhu lingkungan hidup mereka jika udara lebih dari 38,50 Celsius.
Maka kenaikan suhu bumi di Gurun Sahara yang akan merembet ke belahan bumi lain, membuat bumi kian rentan. Tak hanya karena ia akan semakin terpanggang, tapi juga oleh konflik, migrasi, dan penyakit. Sipakah kita menyongsong pandemi berikutnya? Jika ya, kita mesti mengubah gaya hidup sekarang juga agar tak memicu bumi makin terpanggang.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :