Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 Mei 2020

Pengalaman Pengelola Hutan Adat Belajar Virtual Hutan Sosial

Tegang, takut, dan perasaan campur aduk. Pengalaman pengelola hutan adat Mude Ayek Tebat Benawa di Sumatera Selatan mengikuti belajar virtual hutan sosial.

Salome atau satu laptop rame-rame dalam belajar virtual perhutanan sosial.

PANDEMI virus corona covid-19 membuat keadaan tak menentu. Keadaan jadi terasa berat, terutama dalam penghidupan ekonomi, bagi masyarakat karena harga hasil bumi turun, sementara harga bahan pokok melambung.

Kami terhitung beruntung karena kami punya sawah, kebun tebat/danau, dan hutan adat. Paling tidak kebutuhan dasar seperti beras, sayu-sayuran, cabai, ikan, kopi, dan tanaman obat masih bisa dipenuhi dari sekitar pekarangan, kebun, dan pinggir hutan. Sehingga walaupun terpaan dampak covid ini besar, masyarakat adat masih bisa bertahan dengan apa yang ada di sekitarnya. Terbayang seperti apa desa-desa lainnya yang sudah tidak mempunyai hutan lagi. Dari mana mereka bisa hidup?

Konstruksi Kayu

Kebijakan pembatasan interaksi sosial bagi masyarakat adat, yang umumnya bekerja sebagai petani, menjadi agak menyulitkan. Kami harus bekerja di sawah dan kebun. Sehingga ketika kami tidak boleh keluar rumah, jadi agak susah. Hampir semua penunjang kehidupan kami ada di luar rumah.

Walaupun demikian bukan berarti masyarakat adat tidak berbuat apa-apa untuk memutus mata rantai virus corona. Kami membuat aturan lisan melalui tokoh adat, Ketua RW dan RT, yang mewajibkan setiap orang yang baru datang dari luar daerah, wajib mandi dan mencuci pakaian sebelum masuk ke rumah. Bagi penduduk yang menetap lama harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari sesuai dengan peraturan pemerintah.

Hutan adat Mude Ayek Tebat Benawa mendapatkan penetapan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018 melalui Surat Keputusan Nomor 7827/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/10/2018. Kami termasuk hutan ada pertama di Sumatera Selatan yang mendapatkan SK Menteri.

Berada di Kota Pagaralam, di bawah jajaran Bukit Barisan yang diapit sungai Lematang dan sungai Besemah Cawang Kanan, kelompok masyarakat adat di sini masih menerapkan “Mubungan Jagat” yang merupakan pegangan hidup masyarakat adat Besemah.

Dusun Tebat Benawa dan Rempasi merupakan sedikit dari masyarakat adat yang masih memegang prinsip hidup dan bagian dari adat Besemah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Dari prinsip hidup ini, kami mampu menjaga wilayah adat lebih kurang 2.000 hektare, yang di dalamnya ada hutan adat Mude Ayek Tebat Benawa seluas 336 hektare yang masih alami dan lestari.

Seiring perjalanan waktu, adat dan peradaban masyarakat adat perlahan tergerus oleh kemajuan zaman. Sumber daya masyarakat berubah dan berpindah, meski masih kuat melindungi kawasan hutan adat mereka.

Tekanan dari masyarakat luar desa, bahkan kabupaten yang melakukan pendudukan lahan adat makin menguat, sehingga butuh dukungan, perlindungan dan pengakuan, dari pemerintah. Karena sejak zaman penjajahan Belanda sampai masa kemerdekaan, peraturan datang dan pergi silih berganti, namun hutan keramat masyarakat adat belum terlindungi dan diakui agar tetap lestari.

Dengan adanya kepastian hukum atas hak kami, masyarakat adat mulai mencari jati diri. Kami juga anak negeri yang ingin berbakti. Kami mendapatkan pendampingan oleh World Resources Institute bersama mitra seperti Hutan Kita Institut (HaKI), juga dari Dinas Kehutanan dan KPH Wilayah X Dempo yang makin membuka mata kami untuk lebih menyayangi dan merawat warisan leluhur.

Tim WRI Indonesia sebanyak 30 orang untuk melakukan identifikasi awal potensi hutan adat. Tim terdiri dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, KPH Wilayah X Dempo, Kelompok Kerja PPS Sumsel, Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Universitas Sriwijaya (UNSRI), HaKI, Laskar Muda Forum DAS MUSI.

Ada tiga tim pendampingan yang melakukan kajian sosial ekonomi dan budaya, Tim Biofisik yang melakukan survei lapangan. Setelah identifikasi awal, tahap berikutnya adalah penyusunan kelembagaan hutan adat serta Rencana Pengelolaan Hutan Adat (RPHA).

Pandemi virus corona covid-19 membuat pendampingan terhambat. Karena itu ketika kami diminta mengikuti kelas jarak jauh, kami senang karena pengetahuan mengelola hutan tidak putus.

Walau pada awalnya tegang, takut, tidak tahu harus berbuat apa, telepon seluler kekurangan sinyal, dan perasaan campur-aduk lain. Semangat dan keuletan pendamping Jasnari, yang sabar dan telaten memandu perwakilan masyarakat adat agar bisa mengikuti proses pembelajaran jarak jauh memakai aplikasi zoom, perlahan-lahan kami bisa mengikuti pembelajaran ini.

Pengelola hutan adat Mude Ayek Tebat Benawa Sumatera Selatan ketika mengikuti belajar jarak jauh perhutanan sosial pada 12-15 Mei 2020.

Bagi kami, ini menjadi sesuatu yang baru dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kami yang ada di pinggiran hutan bisa terlibat dalam proses pelatihan yang lain dari yang lain. Apalagi memakai teknologi yang baru kami kenal pertama kali.

Kami takut, ragu, bahkan khawatir apakah kami bisa mengikuti kegiatan ini sampai akhir dan mampu menyerap pengetahuan yang diajarkan? Tapi ada juga rasa bangga karena bisa mewakili masyarakat adat dari tanah Sriwijaya dalam pelatihan yang dilaksanakan serentak secara nasional.

Begitu kelas dimulai, persoalan langsung saja menyapa. Bagaimana cara kami mendaftarkan diri? Kami tercatat sebagai peserta pelatihan Gelombang III angkatan 5. Dengan motivasi dan kerja sama yang kompak dengan pendamping akhirnya pendaftaran bisa kami lakukan dengan sukses, meski sinyal minimal sehingga kami harus berpindah ke kampung tetangga, di kolong rumah warga, di pinggiran dusun atau harus berjalan dua kilometer ke puncak bukit untuk bisa dapat sinyal.

Walaupun tiap saat harus berpindah lokasi dan terkadang kehilangan materi akibat sinyal yang hilang, kelompok masyarakat adat tidak berputus asa. Karena pendamping terus membimbing serta memberikan informasi materi yang tak kami simak sepanjang mencari sinyal itu, mendiskusikan tugas, dan mengingatkan kembali materi pelajaran untuk bisa mengerjakan soal ujian. Sehingga waktu empat hari pelatihan dari tanggal 12-15 Mei 2020 pun berlalu tanpa terasa.

Kami salut dengan kemampuan narasumber dan para tutor dalam membangun keakraban hubungan emosional, membuat kami berani bercerita mengungkapkan masalah-masalah yang kami hadapi di lapangan. Kami menyampaikannya secara apa adanya sehingga tutor pun cepat memahaminya sehingga saran-saran penyelesaian masalah bisa segera diberikan.

Pada hari ketiga kami mendapatkan materi tata cara mengajukan usulan usaha ekonomi produktif, akses modal, dan akses pasar. Kami sedikit bingung ketika menerima materi berbagai sarana ekonomi produktif, akses modal dan akses pasar yang produknya dihasilkan dari dalam hutan. Kami takut hutan adat dimanfaatkan secara serampangan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang tidak akan pernah terpuaskan.

Namun, dengan diskusi dan dialog kami sendiri memahami bahwa yang cocok dikembangkan sesuai penyampaian narasumber adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Di hutan adat kami bisa dikembangkan durian, alpukat, kemiri, petai, jengkol, dan manggis. Juga jasa lingkungan seperti pengasuhan pohon, pendanaan karbon, dan wisata alam.

Potensi yang ada dalam hutan kami, khususnya kayu yang sangat besar-besar tidak akan ditebang. Justru akan ditambah untuk menanami hutan adat yang pernah dirambah masyarakat luar desa agar semakin lebat. Dalam aturan adat kami pengelolaan hutan tidak dengan menebang pohon. Karena selain kami cinta akan hutan adat, pohon-pohon itu juga menjadi sumber air untuk minum, sawah, dan perikanan. Hutan kami harta berharga yang kami punya yang nantinya bisa diwariskan pada generasi-generasi berikutnya.

Tak hanya sinyal yang hilang, mati lampu dan hujan lebat juga menjadi kendala selama belajar virtual. Kami saling memberikan semangat dengan sesama anggota kelompok yang ikut pelatihan. Kami bertekad walaupun masyarakat adat yang hidup jauh dari keramaian, kami merasa senang berbagi pengetahuan. Apalagi di angkatan ini ada tiga kelompok masyarakat pengelola hutan adat yang ikut, yaitu masyarakat adat dari Riau yang mengelola hutan adat Imbo Putui dan dari Jambi yang menjaga hutan adat Dusun Baru Pelepat.

Masyarakat adat dengan segala kemampuan dan kekuatannya tetap menjaga agar hutan tetap lestari sesuai dengan yang ditetapkan adat dan para leluhur, karena hutan adalah ibu serta sungai yang mengalir adalah ayah. Keduanya akan menjaga kami, memenuhi kebutuhan kami selagi kami melindunginya.

Hutan adat Tebat Benawa memberikan air yang mengalir jauh sampai ke muara Sungai Musi yang menghidupi sawah penduduk Sumatera Selatan. Juga pemenuhan protein dari ikan dan biota sungai. Selain itu hutan adat kami memberikan udara segar untuk seluruh umat manusia, menyediakan obat-obatan dari tumbuhan, keindahan pemandangan.

Di akhir pelatihan, kami mendapatkan pengetahuan baru terkait bagaimana membuat rencana pengelolaan hutan agar mendapatkan dukungan program pemerintah, pengembangan ekonomi, pasar produksi masyarakat adat dan bagaimana mempromosikan potensi yang ada di wilayah adat. Selama mengikuti pelatihan ini juga kami termotivasi oleh serangkaian keberhasilan saudara-saudara kami perhutanan sosial lainnya.

Salah satu hal dalam program kerja adalah lebih giat merimbunkan hutan adat supaya lebih banyak lagi menyerap emisi karbon di udara yang menjadi salah satu masalah bumi saat ini.

Catatan ringan ini saya tutup dengan guritan, nasihat berupa seni sastra tutur yang didendangkan, yang masih sering disenandungkan untuk mengingat kembali nasihat dan sejarah peradaban masyarakat adat Besemah, sekaligus sebagai penyambung lisan adat kepada generasi muda:

Pantun dicare ughang dusun
Minjam pahat minjam landasan
Minjam mate-pisau landap
Minjam adat dusun laman
Minjam care kandek berucap
Ilok nian mangkal pantunan
Lah ilok pule mangkal guritan

Pantun seumpama orang dusun,
Meminjam pahat meminjam landasan,
Meminjam mata parang yang tajam,
Memakai adat kebiasaan dusun laman,
Meminjam cara untuk bertutur,
Sungguh baik memulai pantun
dan sudah bagus pula memulai guritan

17 Mei 2020

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pengurus Kelompok Pengelola Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa, Sumatera Selatan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain