Kabar Baru| 22 Mei 2020
Puasa Meningkatkan Kekebalan Tubuh

PUASA seperti mengurangi beban pada pesawat yang kelebihan muatan. Gambaran efektif yang diberikan Valter Longo, peneliti di USC Longevity Institute, tentang fungsi puasa bagi tubuh manusia. Ia meneliti efek puasa bagi pasien kemoterapi dan menerbitkannya dalam Cell Stem Cell, jurnal tinjauan sejawat (peer review).
Ini memang penelitian lama. Terbit pada 2014. Tapi temuan Longo layak dibaca kembali di tengah Ramadan yang berbarengan dengan pandemi virus corona karena penelitian tersebut dilakukan bertahun-tahun sebelum dirilis dalam jurnal ilmiah.
Bagi banyak orang, puasa tahun ini menjadi berbeda karena aktivitas kita menjadi terbatas akibat kebijakan pembatasan interaksi sosial untuk mencegah penyebaran virus corona, virus pneumonia yang sejak Desember 2019 telah menginfeksi lebih dari 5 juta orang dan membunuh 329.762 orang di seluruh dunia. Meski begitu, jumlah pasien sembuh lebih banyak, yakni 2.026.150 per 21 Mei 2020.
Ada juga orang tanpa gejala. Mereka terinfeksi virus tapi tak merasakan empat gejala: meriang, nyeri sendi, batuk kering, dan matinya indra perasa serta penciuman. Orang tanpa gejala masih bisa menularkan virus kepada orag lain. Semetara mereka yang sembuh terutama karena kekebalan tubuhnya bisa melawan dan mematikan infeksi virus.
Manusia memiliki sistem kekebalan tubuh secara alamiah yang bisa melawan virus, bakteri, atau kuman. Olah raga teratur, tidur cukup, berpikir positif adalah cara-cara meningkatkan aktivitas sel kekebalan tubuh. Valter Longo menemukan cara lain yang jauh lebih efektif: berpuasa.
Ilustrasi bahwa puasa seperti membuang beban pada pesawat memberi gambaran bahwa beban berlebih yang tak sesuai daya tampung tubuh akan membuat loyo, terlalu banyak energi terpakai sia-sia, akibatnya mikroorganisme akan lebih leluasa menyerang pertahanan tubuh kita.
Longo meneliti aktivitas sel imunitas pada manusia dan tikus. Sel manusia yang ia teliti adalah sel pasien kemoterapi. Kemoterapi memakai sinar laser akan melemahkan banyak sel jahat, tapi sekaligus menyapu sel penting bagi tubuh kita. Akibatnya sel kanker mati tapi tubuh juga menjadi lemah. Namun, pada pasien yang berpuasa 72 jam sebelum penelitian, Longo menemukan jumlah sel darah putihnya terpecah.
Pada tikus, puasa membalik “saklar regeneratif” dengan mengubah jalur sinyal pada sel induk hematopoietik—sel yang bertanggung jawab dalam pembentukan darah dan sistem kekebalan tubuh. Menurut Longo, puasa 2-4 hari dalam kurun enam bulan bisa membunuh sel-sel kekebalan tubuh yang sudah tak aktif dan membangkitkan sel kekebalan baru.
Karena itu, puasa sangat berguna bagi mereka yang punya masalah dengan autoimun, yang secara genetika memiliki kekurangan sel kekebalan tubuh.
Bagaimana puasa bisa menghidupkan sel kekebalan? Longo merumuskannya dalam kalimat ini, seperti dikutip web Universitas Southern California, tempatnya mengajar biologi:
"Ketika Anda kelaparan, sistem tubuh mencoba menghemat energi,” katanya. “Salah satu caranya dengan mendaur ulang banyak sel kekebalan yang tidak diperlukan, terutama yang rusak."
Saat puasa, kata Longo, tubuh kita akan memakai simpanan glukosa, lemak, dan keton (senyawa organik karbon yang mengikat senyawa karbon lain) untuk memecah sebagian besar sel darah putih. Kita tahu sel darah putih diproduksi oleh sel punca di sumsum tulang belakang yang berperan dalam melawan infeksi. Dengan terpecah, sel memicu sel lain tumbuh sehingga kekebalan menjadi naik.
Secara khusus, puasa memicu enzim Protein Kinase A (PKA), enzim yang bertanggung jawab dalam metabolisme sel. Singkatnya, ketika sedang berpuasa, tubuh kita membutuhkan gula. Dalam keadaan seperti ini pankreas lalu merilis glukagon dan kelenjar adrenal memproduksi epinefrin. PKA akan mendorong perubahan glikogen menjadi glukosa. Ketika ia bekerja, protein fosfat yang meningkatkan gula di hati beristirahat.
Longo bahkan menghubungkan aktivitas PKA ini dengan usia yang panjang karena mendorong pembaruan sel induk menjadi bayak sel. Tak hanya itu, Longo bahkan mengaitkan puasa dengan hormon pertumbuhan yang berhubungan dengan penuaan, perkembangan tumor, dan risiko kanker. “Selama puasa, tubuh menyingkirkan bagian-bagian dari sistem yang rusak atau tak efisien,” kata Longo.
Maka pada pasien kemoterapi yang tubuhnya telah rusak akibat aktivitas pembunuhan sel kanker, puasa bisa meremajakan sel tersebut dengan kekuatan yang baru. “Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa puasa dapat mengurangi beberapa efek berbahaya dari kemoterapi,” kata Tanya Dorff, asisten profesor kedokteran klinis di USC Norris Comprehensive Cancer Center.
Longo hendak melanjutkan penelitian soal puasa ini terhadap sistem lain dan organ lain selain imunitas. Meski begitu, studi Longo sudah dikonfirmasi peneliti lain yang menerbitkannya dalam The New England Journal of Medicine pada Desember 2019.
Sama seperti temuan Longo, penelitian ini juga menggarisbawahi bahwa puasa selama 18 jam sehari bisa menaikkan imunitas, mencegah penuaan, menurunkan risiko terkena kanker, bahkan mencegah obesitas dan mengurangi stres.
Gambar oleh Pexels dari Pixabay.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Redaksi
Topik :