KETIKA baru tiba sebagai mahasiswa baru di Kairo, Mesir, seorang senior memberi tebakan yang saya ingat sampai kini. Topiknya agak random, sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkuliahan, tapi mungkin karena itu sampai saat ini saya ingat.
“Apa beda antara Indonesia dan Mesir?” tanya dia.
Saya menjawab dengan serius, mulai soal sosiologi sampai sejarah. Dia tersenyum dan berkata. “Bukan soal itu. Saya bertanya soal alamnya.”
Senior itu kemudian menjawab sendiri pertanyaannya. “Di Indonesia, jika ada lahan yang dibiarkan tak dirawat, dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi hutan. Di Mesir, kalau ada lahan tidak dirawat, berapa saat kemudian akan menjadi padang pasir.”
Dibandingkan negara-negara Arab lainnya, Mesir lebih beruntung karena dialiri sungai Nil yang besar. Daerah-daerah sepanjang sungai menjadi subur dan hijau. Semakin jauh dari sungai akan semakin tandus. Meski memiliki lahan subur, seperti kata teman saya, kalau sengaja tidak ditanami dan dialiri air, lahan itu akan kembali gersang.
Dengan demikian, tidak banyak hutan di negara-negara Arab. Kalaupun ada, kerapatannya jauh dibanding dengan kerapatan hutan-hutan di Indonesia. Karena itu dalam Al-Quran kata “hutan” amat jarang disebut. Hutan hanya dua kali disebut dalam surat Yusuf saat Allah SWT menceritakan tentang Nabi Yusuf muda yang dibuang oleh kakak-kakaknya ke kedalaman hutan, karena mereka iri kepadanya.
Karena itu, selain vegetasi, di negara-negara Arab, hewan juga ada karena sengaja diternakkan, bukan berkembang biak dalam kehidupan alam liar. Hal itu juga yang membuat sebagian besar hewan yang disebutkan dalam Al-Quran adalah hewan-hewan yang diternakkan, seperti sapi dan unta. Bahkan ada satu surat khusus bernama Al-An’am yang berarti hewan ternak.
Karena itu hubungan antara manusia dan makhluk lain—hewan dan tanaman—dalam khazanah Islam lebih banyak seputar pemanfaatan. Hewan diternakkan untuk dijadikan kendaraan atau dikonsumsi sebagai makanan. Demikian juga dengan tanaman yang pembahasannya lebih banyak sebagai bahan makanan.
Meski ada sejumlah ayat Al-Quran yang memerintahkan kita mengamati alam, hubungan manusia dan alam tidak dikesankan sejajar dalam banyak tafsir. Manusia selalu digambarkan lebih tinggi.
Ini tentu berbeda dengan sejumlah keyakinan atau agama yang muncul di tempat yang alamnya begitu dominan. Posisi manusia dalam agama-agama itu selalu digambarkan sejajar, bagian dari kosmologi yang saling membutuhkan, memiliki ketergantungan tinggi. Penghormatan kepada alam begitu tinggi di dalam agama-agama seperti itu.
Munculnya pemahaman bahwa hubungan antara manusia dan alam sebatas pada manfaat ini lebih banyak mengacu pada tafsir-tafsir yang ditulis oleh ulama yang tinggal di negara-negara Timur Tengah. Tidak keliru, karena alam seperti itulah yang mereka lihat sehari-hari. Kita yang tinggal di alam yang jauh berbeda tentu bisa memiliki pemahaman yang sedikit berbeda.
Sejumlah ulama di Andalusia, seperti Ibn Garcia, mengembangkan sendiri fikih yang ingin menyejajarkan posisi sejumlah ras dalam masyarakat Islam. Artinya, perbedaan alam, kultur, dan masyarakat, menuntut perbedaan tafsir yang berbeda. Karenanya, tafsir yang lebih menyejajarkan posisi semua makhluk tampaknya perlu lebih diperhatikan di Indonesia.
Gambar oleh Thanapat Pirmphol dari Pixabay.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Topik :