Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 26 Mei 2020

Bisakah Pandemi Corona Mencegah Pemanasan Global?

Pandemi virus corona membuat emisi karbon turun. Tapi kita butuh penurunan emisi lebih banyak untuk mencegah pemanasan global.

Polusi energi tak terbarukan (Pixource/Pixabay)

INFEKSI virus corona covid-19 membuat dunia menghadapi dilema. Di satu sisi virus yang membuat pandemi global ini memicu pengurangan emisi akibat kebijakan karantina wilayah di banyak negara untuk mencegah penyebarannya, di sisi lai membuat ekonomi mandek. Sejumlah negara kini sedang bersiap melonggarkan karantina dan bersiap menghadapi kebiasaan baru setelah pandemi.

Sejarah telah membuktikan, tiap kali dunia lepas dari krisis, produksi emisi kembali melonjak akibat ekonomi dipacu dua kali lipat untuk mengejar penurunan semasa krisis. Sejak pandemi flu Spanyol 1918-1919 hingga flu Timur Tengah (MERS) pada 2012, jumlah emisi selalu melonjak di tahun-tahun berikutnya. Infeksi virus pun selama abad 20 terjadi lebih sering dibanding abad-abad sebelumnya.

Konstruksi Kayu

Kenaikan emisi menjadi pemicu utama kehadiran virus yang menginfeksi manusia. Virus kehilangan inang akibat satwa-satwa yang menjadi rumah alamiahnya punah—akibat kenaikan suhu bumi maupun diburu manusia—sehingga virus terus bermutasi dan mencari inang baru di tubuh manusia. Kepunahan satwa liar adalah indikator penting dalam pemanasan global.

Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah sepakat membuat kebijakan mencegah bumi bertambah panas 1,5-3,20 Celsius pada 2050 dibanding sebelum Revolusi Industri 200 tahun lalu. Caranya dengan mengurangi emisi melalui pengalihan teknologi menjadi ramah lingkungan, mengubah energi fosil menjadi terbarukan, menghentikan deforestasi dan lebih cermat memakai lahan.

Berapa pengurangan emisi agar bumi tak memanas hingga 1,50 Celsius? Menurut perhitungan para ahli yang berkumpul dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)—sebuah badan PBB yang menghimpun para ahli perubahan iklim—seluruh negara harus bisa menurunkan emisi tahunan minimal 7,6% pada 2020-2030 atau 4,2 miliar (Giga) ton per tahun setara CO2—Indonesia rata-rata memproduksi emisi di 1 Giga ton per tahun.

Angka sebesar itu tak pernah tercapai. Pada 2019, misalnya, akumulasi emisi dari produksi pabrik, individu, transportasi, berkurangnya hutan dan degradasi serta konversi lahan, mencapai 55,3 Giga ton—tertinggi dalam sejarah. Produksi emisi sejak 1900 terus naik akibat pemakaian teknologi dan energi yang tak ramah lingkungan.

Produksi emisi dan munculnya pandemi.

Mengapa kita harus mengurangi emisi? Untuk mencegah ozon bolong dan efek gas rumah kaca. Akibat ozon bolong, konsentrasi CO2 di atmosfer akan tinggi. Akibatnya radiasi sinar ultraviolet ke bumi meningkat. Sejak 800.000 tahun terakhir, konsentrasi CO2 di atmosfer bumi bertahan 228 part per million. Sejak 2018, jumlahnya naik menjadi 400 ppm. Suhu bumi akan bertambah 3,50 Celsius jika jumlah konsentrasi karbon mencapai 500 ppm.

Kenaikan sinar ultraviolet telah memicu kenaikan suhu air laut yang membuat terumbu karang mati sehingga ikan dan tiram merana. Tiram yang merana mengakibatkan burung laut kehilangan pakan dan sakit. Burung yang sakit akan memudahkan penularan virus karena mereka bermigrasi ketika berkembang biak atau mencari pakan. Burung juga akan berinteraksi dengan kelelawar—hewan yang memiliki kemampuan sebagai sarang virus paling banyak dibanding hewan lain.

Berapa emisi yang berhasil dikurangi selama masa pandemi virus corona? Menurut International Energi Agency (IEA) penurunan emisi selama kuartal pertama 2020 akibat karantina wilayah sebesar 8% atau 2,6 Giga ton. Jika pandemi berakhir Juni atau Juli dan dunia berpacu ke kecepatan semula, IEA memperkirakan penurunan emisi 2020 hanya 4% saja atau 1,3 Giga ton.

Sebuah angka yang jauh dari target menurunkan emisi karbon. Sementara dunia memerlukan penurunan 7,6% emisi secara konstan selama satu dekade ke depan.

Apa yang harus dilakukan? Jika virus corona mendorong kita membuat aktivitas normal baru, seharusnya begitu juga untuk semua aspek. Kita tidak bisa mengulang terus sejarah tiap kali selesai pandemi. Kita butuh kebijakan negara yang serempak menurunkan emisi dengan cara beralih ke energi ramah lingkungan. Sejarah telah berkali-kali menunjukkan kita mamalia bandel yang terus mengulang kesalahan-kesalahan dan tak kunjung sadar akibat keserakahan.

Dari negara-negara kaya anggota G-20 saja, hanya lima yang berkomitmen menurunkan emisi hingga 0 pada 2050. Padahal negara-negara tersebut memproduksi 78% total emisi seluruh dunia. Meski begitu ada kabar baik pekan lalu. Sebanyak 100 perusahaan besar telah menandatangani kesepakatan menurunkan emisi dalam program mereka setelah pandemi usai.

Pandemi seharusnya mengubah cara pandang kita kepada dunia dengan mengubah banyak hal agar emisi terus bisa dikurangi secara signifikan, demi masa depan spesies kita. Tanpa perubahan radikal dalam kebijakan dan gaya hidup, pandemi akan menjadi siklus 10 tahunan, bahkan lebih cepat lagi.

Gambar oleh Pixource dari Pixabay.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain