Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Juni 2020

Mesin Cuci Sumber Mikroplastik di Laut

Mesin cuci adalah sumber utama mikroplastik di lautan. Mengganggu satwa laut hingga mengancam manusia dengan pelbagai penyakit.

Plastik

SUDAH lama kita tahu bahwa gaya hidup modern yang memakan banyak karbon merusak lingkungan. Penelitian Universitas Newcastle Inggris menemukan fakta mengejutkan betapa banyak mesin cuci di rumah-rumah kita mengirim mikroplastik ke lautan. Setidaknya ada 800.000 mikroplastik yang dilepas tiap kali kita mencuci pakaian memakai mesin.

Max Kelly, mahasiswa doktoral bioteknologi kelautan, yang membuat penelitian ini di laut tenggara Inggris menemukan mikroplastik tersebut juga berada di perut ikan dan mahluk lain. Satwa laut itu menyangka mikroplastik berdiameter 5 milimeter itu adalah mikroogranisme yang menjadi makanan mereka.

Kelly dan para peneliti dalam proyek yang bekerja sama dengan Proctor & Gamble—perusahaan penyedia kebutuhan rumah tangga—cemas bahwa mikroplastik pada akhirnya akan berakhir di perut manusia karena memakan ikan untuk mencukupi kebutuhan protein. Padahal mikropalastik tersebut diproduksi oleh setiap rumah ketika mencuci pakaian.

BACA: Tepatkah Cukai Plastik untuk Menyelamatkan Lingkungan?

Satu mesin cuci dengan volume penuh akan melepaskan 800.000 mikroplastik dan 1,4 juta unit serat halus dari pakaian berbahan nilon, poliester, dan akrilik. Tiga bahan utama pakaian itu kini paling banyak dijadikan bahan pakaian, terutama untuk pakaian luar ruangan, seperti pakaian olahraga karena cepat kering, ringan, dan mudah dicuci.

Industri tekstil memproduksi 40 juta ton baju sintetis setiap tahun. Naiknya tren berolahraga, berkembangnya kesadaran akan kesehatan, dan tingginya aktivitas di luar ruangan, membuat kebutuhan pakaian yang ringan dan menyerap keringat meningkat. Padahal, pakaian mikroplastik dari jenis ini gampang terlepas ketika dicuci.

Dengan kamera berkecapatan tinggi, Kelly memindai pelepasan mikroplastik dan serat halus tersebut ketika air menyiram pakaian dan mesin cuci memilinnya. Perpaduan air dan putaran mesin membuat mikroplastik terlepas dan lolos dari saringan mesin cuci lalu meluncur ke selokan, ke sungai, dan berakhir di lautan.

Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Science and Technology pada September 2019 itu ditemukan bahwa mikroplastik makin banyak terlepas seiring volume pakaian yang dicuci. Jumlah mikroplastik makin banyak jika putaran drum mesin cuci semakin cepat.

Maka selain menyarankan agar kita memakai kecepatan sedang ketika mencuci, Kelly juga menganjurkan kita untuk menghemat baju. Semakin sering kita membeli pakaian sintetis akan semakin banyak mikroplastik yang terbuang ke laut yang membahayakan lingkungan dan pada akhirnya membahayakan manusia.

Ikan-ikan yang diperiksa dalam penelitian tersebut juga mengalami gangguan pertumbuhan. Meski belum ditemukan korelasi mikroplastik dengan gangguan tersebut, Kelly menduga penyebabnya adalah makanan di laut yang terkontaminasi bahan kimia seperti mikroplastik. Ikan pun menjadi sakit dan mengancam kehidupan alam serta manusia.

BACA: Menangani Sampah Plastik, Dari Mana Mulainya?

Virus flu Spanyol pada 1918 diduga muncul karena tiram dan populasi laut merana akibat kenaikan suhu air laut Polandia naik akibat naiknya radiasi sinar ultraviolet akibat kenaikan konsentrasi karbon di atmosfer. Jumlah karbon meningkat dipicu oleh pemakaian bahan bakar tak terbarukan selama 100 tahun setelah Revolusi Industri.

Tiram yang sakit itu melahirkan virus yang menulari burung. Burung-burung ini menulari hewan lain saat bermigrasi ketika musim kawin dan mencari makan. Siklus kelahiran virus corona covid-19 yang kini jadi pandemi juga diduga mirip karena sumber virus ditemukan di pasar hewan laut di Huanan sebelum menyebar ke Wuhan di Tiongkok.

Maka mencuci pakaian memberikan faktor ganda penyebab kerusakan lingkungan. Energi listrik yang dibutuhkan untuk memutar drum berasal dari energi tak terbarukan yang menghasilkan karbon sehingga tak terserap di atmosfer. Saat mencuci juga melepaskan mikroplastik yang di makan oleh hewan laut. Akibatnya kerusakan laut dipicu dari atas dan bawah.

Belum lagi bahan kimia yang berasal dari sabun, pewangi, dan penghilang kotoran yang menyatu dengan mikroplastik dan mengalir menuju laut. Zat-zat kimia itu akan membuat laut dan penghuninya semakin rentan.

Kembali ke alam, kembali mencuci pakaian dengan tangan, memakai sabun ramah lingkungan, dan tak terlalu sering membeli celana dan baju serta menghemat pemakaiannya adalah cara lain menyelamatkan bumi.

Siklus mikroplastik: dari manusia ke manusia.

Masalahnya, tak ada kebutuhan manusia yang terbebas dari plastik. Belum ada bahan apa pun yang memakai bahan organik sepenuhnya. Memadukan bahan organik dengan plastik (seperti pada gelas minum kertas dari singkong) justru akan makin mempercepat penguraian mikroplastik yang akan tercampur dengan bahan lain yang akan dikonsumsi mahluk hidup.

Kebijakan politik yang menekan industri agar beralih sepenuhnya memakai energi ramah lingkungan untuk menciptakan teknologi dan inovasi, bisa menjadi satu jalan kita terhindar dari bencana plastik. Sebab, selain mikroplastik yang tak terlihat sampah plastik di Indonesia, yang berjumlah 64 juta ton setahun, sebanyak 37% berada di lautan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain