Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 28 Juni 2020

Kearifan Lokal Tumpuan Menjaga Hutan

Kearifan lokal masyarakat adat Suku Dayak Bahau di Kalimantan Timur yang menjaga hutan kendati menerapkan sistem ladang berpindah.

Tari Hudoq Aban yang ditampilkan dalam acara Festival Budaya Dayak Kenyah pada 18-20 Juni 2018 di halaman Lamin Adat Pemung Tawai kelurahan Budaya Pampang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. (Foto: Ezagren via Wikimedia Common)

AKHIR-akhir ini kerusakan lingkungan makin parah saja. Dalam kerusakan lingkungan di bidang kehutanan, masyarakat adat selalu menjadi kambing hitam. Padahal mereka sudah ratusan tahun hidup di dalam atau di pinggir hutan. Hutan tidak rusak sebelum pengusaha masuk ke sana untuk mengeksploitasinya.

Sebab masyarakat di sana menjaga hutan di sekitarnya. Mereka sadar hutan adalah sumber kehidupan mereka. Jika hutan rusak, hidup mereka juga akan sulit.

Konstruksi Kayu

Ini salah satu kesimpulan hasil penelitian saya di sembilan provinsi di Indonesia pada tahun 1980-an. Saya meneliti karakteristik masyarakat adat dalam pola berladang berpindah di Luar Jawa. Seperti adat Lepu’un oleh suku Dayak Bahau di Long Bagun, Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Seperti umumnya masyarakat suku Dayak di Kalimantan, kegiatan berladang merupakan kegiatan rutin. Berladang terutama untuk menanam padi, selain sayur-sayuran dan tanaman tahunan seperti kopi dan coklat. Ada juga karet dan tanaman buah-buahan (durian, langsat, rambutan, lei, mangga, kuweni, dsb.).

Bekas ladang itu setelah ditinggalkan akan tumbuh menjadi hutan sekunder dengan didominasi pohon buah-buahan dan kayu pertukangan yang diperlukan masyarakat untuk keperluan bangunan. Bekas ladang yang telah menjadi hutan sekunder ini di suku Dayak Bahau disebut lepu’un atau lembo.

Bagi mereka menanam tanaman keras untuk menunjukkan status kepemilikan suatu keluarga terhadap sebidang lahan hingga diturunkan kepada anak dan cucu mereka. Dalam menggarap ladang, suku Dayak Bahau melakukannya dengan cara bekerja sama, saling membantu antar kelompok. Kerja sama antar kelompok tersebut dinamakan “paladoh”.

Mereka menggilir penggarapan sebuah lahan. Setiap kelompok terdiri dari sedikitnya 10 kepala keluarga (KK) dan paling banyak 20 KK, tergantung luas areal ladangnya. Setiap kepala keluarga mengerjakan ladang seluas 2 hektare.

Kelompok-kelompok tani suku Dayak Bahau ini disebut sebagai “dale”. Kepala adat atau kepala suku yang menjadi pemimpin adat menentukan lokasi berladang untuk setiap “dale”.

Siklus berladang suku Bahau sekitar 3-4 tahun, tergantung kesuburan lahan. Mereka juga menerapkan siklus tahunan dalam berladang. Saya jabarkan di bawah ini:

Bulan ke-4 dan ke-5. Mereka melakukan kegiatan menebas semak belukar di sekitar pohon besar sebagai persiapan menebang pohon tersebut.

Bulan ke-6. Penebasan belukar

Bulan ke-8 dan ke-9. Saat belukar dan ranting-ranting sudah kering, mereka membakarnya.

Bulan ke-9 sampai bulan ke-10. Saat mulai musim hujan mereka mulai menanam padi. Untuk menanam padi ini, masyarakat baru bisa menanam jika kepala adat sudah memulainya.

Akhir bulan ke-10 atau awal bulan ke-11. Apabila semua warga masyarakat adat selesai menanam padi, mereka akan menggelar upacara adat yang disebut upacara “hudoq” .

Pada upacara ini, masyarakat suku Dayak Bahau akan memakai topeng, yang pada umumnya menggambarkan bentuk binatang hama padi atau yang menguasai padi, seperti babi, burung, naga, dan dewa. Tujuan upacara ini untuk memanggil pengganggu tanaman padi. Lalu mereka memberi makan hama tersebut agar tidak mengganggu ladang dan agar ladang subur, serta panen melimpah. Upacara hudoq dilakukan pada sore dari jam 16.00 sampai jam 24.00, bertempat di “lamin” atau balai adat.

Saat bulir padi sudah berisi. Suku Bahau menggelar lagi upacara adat “laliata” atau membuat “amping”. Amping adalah makanan yang dibuat dari tepung padi muda yang dicampur dengan kelapa dan gula aren, disajikan kepada undangan dengan air teh dan kopi. Amping terbuat dari padi muda yang baru berisi. Bulir padi lalu disangrai dalam kuali. Setelah matang ditumbuk agar hancur menjadi tepung, kemudian ditampi untuk membuang dedaknya. Tepung dimasak seperti masak nasi dengan dicampur kelapa dan gula aren.

Setelah seluruh “dale” selesai panen. Suku Bahau menggelar pesta adat yang disebut “tebuko”. Pada pesta ini, setiap kepala keluarga membawa empat bungkus “dino”  atau “gegetas” dalam daun. Dino adalah makanan dari tepung yang dibuat menjadi kue goreng-gorengan. Dino dimakan bersama anggota “dale”. Acara ditutup dengan tarik rotan sepanjang ± 50 meter dengan tiap regu penarik sebanyak ± 20 orang. Tujuannya untuk mengungkapkan rasa terima kasih karena padi dil adang bisa dipanen.

Upacara berikutnya adalah ngayau (mengayau), yaitu potong kepala dari suku lain. Adat ngayau ini sekarang diganti dengan berburu kepala binatang, seperti babi, rusa, beruang, beruk atau kaliawat (uwa-uwa). Waktu mengayau selama tiga hari, di mana semua laki-laki dewasa (tidak termasuk orang yang sudah tua) diwajibkan mengayau ke dalam hutan. Hasil mengayau dibawa ke kampung sebagai kelengkapan pesta yang dilaksanakan selama tiga hari. Makanan untuk pesta adat ngayau disumbang oleh setiap “dale” dan dalam pesta adat ngayau ini disajikan tarian “kayau” (tarian perang).

Adat mengayau Suku Bahau masih dilakukan apabila hasil panen memadai dengan yang diharapkan. Apabila hasil kurang memadai, pesta mengayau ditunda 1-2 tahun atau lebih, sampai hasil panen “dale” memadai. Untuk keperluan pesta adat tersebut, masyarakat berburu atau mencari ikan di sungai. Apabila hasil buruan kurang (paling sedikit dua ekor), mereka menggantinya dengan hewan peliharaan (babi atau ayam).

Selama pesta adat mengayau, orang pendatang tidak diperbolehkan keluar kampung. 

Maka dengan kearifan lokal seperti itu masyarakat adat atau mereka yang tinggal di dalam dan pinggir hutan akan selalu menjaga hutan karena hutan menjadi bagian hidup mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok. Masyarakat adat tak akan merusak hutan yang mereka jaga dengan upacara dan tradisi yang kompleks serta turun temurun.

Foto: Tari Hudoq Aban yang ditampilkan dalam acara Festival Budaya Dayak Kenyah pada 18-20 Juni 2018 di halaman Lamin Adat Pemung Tawai kelurahan Budaya Pampang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. (Foto: Ezagren via Wikimedia Common)

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pensiunan pengajar Divisi Perencanaan Hutan di Fakultas Kehutanan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain