Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 05 Juli 2020

Solusi Mencegah Siklus Pandemi: Memuliakan Kehati

Jika memeluk manusia kini bisa menularkan penyakit, memeluk pohon justru menghilangkan penyakit. Pentingnya memuliakan kehati (keragaman hayati) untuk mencegah siklus pandemi.

Danau Tremblant di Kanada.

JIKA virus corona covid-19 muncul karena kerusakan alam akibat aktivitas manusia, maka mencegahnya harus kembali ke alam dengan cara memuliakannya.

Tanpa memuliakan alam dan memulihkannya, kita akan selalu kembali mengulang siklus pandemi yang berlangsung dua abad terakhir, dengan waktu yang kian cepat: flu Spanyol, flu Hong Kong, flu Asia, flu burung, flu babi, SARS, MERS, nipah, ebola, zika, hingga virus corona.

Konstruksi Kayu

Setiap pandemi selalu melahirkan kecemasan. Informasi soal wabah—yang positif maupun negatif—selalu berpengaruh pada kesehatan mental manusia. Apalagi di zaman Internet yang membuat informasi tersebar begitu mudah dan cepat. Kita cemas, tapi ingin tahu. Kita khawatir tapi ingin memahami apa yang sedang terjadi.

Di Google bahasa Indonesia, kata kunci “dampak covid-19 terhadap kesehatan mental” menghasilkan 2 juta lema. Jika kita persempit pencarian kita hanya untuk artikel ilmiah (scholarly article) muncul 273 halaman. Jumlahnya akan lebih banyak lagi jika kita membuat pencarian dengan kosa kata bahasa Inggris.

Covid-19 salah satu jenis zoonosis, penyakit yang ditularkan/dibawa oleh binatang kepada manusia. Artinya, penularan terjadi akibat alam dan ekosistem tak seimbang. Kate Jones dkk menulis di jurnal Nature bahwa pada 1940-2004 terdapat 335 jenis virus baru yang 72% di antarnya berasal dari satwa liar.

BACA: Mengapa Kelelawar Menjadi Sumber Virus Mematikan?

Okupasi lahan, perdagangan satwa, hingga konsumsinya membuat virus yang bersarang di tubuh satwa liar itu berpindah kepada manusia karena kita mendekat ke habitat mereka. Maka, untuk mencegah kebangkitan virus-virus itu cara terbaik adalah menjauh dari satwa liar.

Konsep memuliakan alam bukan soal baru. Kita sudah lama sadar perlu menjaga dan melestarikannya. Istilah umumnya kita kenal dengan nama nature-based solutions (NBS). Lembaga Pembangunan Internasional UNDP, misalnya, gencar mempromosikan NBS, khususnya yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Riset soal ini sudah banyak. NBS dikaitkan dengan banyak hal: manfaat kesehatan, jasa ekosistem, mitigasi perubahan iklim dan bencana alam.

International Union for Conservancy of Nature (IUCN) mendefinisikan NBS sebagai “actions to protect, sustainably manage, and restore natural or modified ecosystems, that address societal challenges effectively and adaptively, simultaneously providing human well-being and biodiversity benefits”. Dengan kata lain, NBS mendorong keselarasan perlindungan ekosistem dengan berbagai problem masyarakat, agar kesejahteraan manusia dan manfaat keanekaragaman hayati berjalan seiring.

Jika kita sederhanakan, definisi NBS menyangkut dua hal: masalah yang dihadapi manusia dan solusinya yang disediakan alam. Walaupun IUCN mensyaratkan NBS diterapkan pada skala lanskap, penting juga kita memahami dan menerapkannya secara individual. Memikirkan konsep NBS untuk perubahan iklim, mungkin terlalu luas. Kita bisa membumikannya dengan cara sederhana dalam kehidupan sehari-hari: kenali tantangan dan identifikasi solusinya dari alam. Covid-19 adalah contoh paling dekat.

Setelah berjam-jam terkurung di dalam rumah atau kantor, menghirup udara segar di alam yang hijau akan membuat tubuh dan pikiran kita bugar. Karena itu orang Jepang punya konsep shinrin yoku atau forest bathing atau mandi-hutan. Di Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat, kadar stres para peserta Forest Camp berkurang setelah berjalan 2 kilometer. Zat-zat alamiah yang dimiliki hijau daun, dahan, dan suara hutan membuat dopamin dalam otak naik sehingga muncul rasa senang dan damai.

Tonton videonya:

Dalam jurnal Psychological Science, Berman dkk menulis hasil penelitian dalam artikel The Cognitive Benefits of Interacting with Nature (2008) menemukan bahwa mengunjungi taman nasional berdampak positif pada kesehatan mental manusia, di antaranya: meningkatkan konsentrasi, daya kognisi, kualitas tidur, dan mendorong pemulihan stres.

Kakek saya seorang mantri kesehatan di Madiun. Alih-alih menyuntik atau memberi obat atau menyarankan konsultasi ke dokter jika ada anggota keluarga yang sakit ringan karena kelelahan, ia menganjurkan kami untuk menengok halaman belakang rumah yang rimbun oleh bunga dan pepohonan. Ia mengatakan obat paling manjur ada dalam kerimbunan itu.

Fungsi hutan kota.

Studi Morita dkk mengonfirmasinya bahwa hutan juga bisa memulihkan tubuh yang membuat kita tak bisa tidur. Berjalan selama dua jam di alam ternyata bisa meningkatkan kualitas tidur dan membantu masalah kesulitan tidur. Sering berada di alam bahkan mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain. Studi oleh Weinstein dkk (2009) menunjukkan orang yang sering berada di alam akan lebih peduli kepada orang lain.

Maka, dengan pelbagai macam fungsi hutan dan alam itu, baru-baru ini Otoritas Kehutanan Islandia meminta masyarakat pergi ke hutan dan memeluk pohon (“hug tree if you can’t hug human”)—jika memeluk manusia kini bisa menularkan penyakit, memeluk pohon justru menghilangkan penyakit. Energi positif pohon yang akan mengurangi stres akibat kebijakan isolasi mencegah wabah corona.

Ada banyak studi yang sudah mengkonfirmasi manfaat alam terhadap kesehatan manusia, baik fisik maupun mental dan perilaku. Bahkan berkebun di rumah sudah diakui sebagai cara mengurangi stres dan membuat seisi rumah lebih bahagia. Maka deforestasi dan degradasi yang menyebabkan kerusakan alam akan berpengaruh langsung pada masa depan manusia.

Pandemi virus corona covid-19 seharusnya memberi kesadaran kepada kita bahwa alam adalah solusi utama mencegah siklus wabah, yang berulang akibat ulah manusia mengeksploitasi bumi.

Memuliakan alam dengan menjaga dan merawatnya—tidak menguras hutan terlalu luas, stop berburu hewan, stop membuang sampah yang akan merusak ekosistem—tak hanya akan menyehatkan manusia, juga menyediakan rumah bagi virus-virus ganas agar tak menyerang kita.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain