Kabar Baru| 08 Juli 2020
Benarkah Menanam Pohon Tak Mencegah Pemanasan Global?
KITA sudah lama tahu kehilangan pohon akibat kerusakan hutan melalui deforestasi, degradasi lahan, atau okupasi dan ekspansi perkebunan menjadi pemicu pemanasan global. Ketiadaan hutan membuat bumi tak punya penyerap karbon hasil pembakaran energi dan aktivitas manusia.
Karbon pun dengan leluasa terlepas ke udara hingga atmosfer yang menambah konsentrasi gas rumah kaca di sana. Selama 100.000 tahun konsentrasi karbon dioksida (CO2) stabil 280 part per million. Dalam 200 tahun sejak Revolusi Industri 1750, konsentrasi CO2 melonjak menjadi 350 ppm. Akibatnya suhu bumi naik 0,80 Celsius.
Kita kini sedang berjuang agar konsentrasi gas rumah kaca, terutama CO2, tak makin banyak dan menjaganya tak melewati 450 ppm. Sebab jika itu terjadi, suhu bumi akan naik melebihi 20 Celsius. Sehingga bumi akan sepanas neraka. Mitigasi itu akan ditentukan pada 2030, tahun ketika komitmen semua negara akan janji mereka menurunkan emisi yang diajukan dalam Pertemuan Paris 2015 diukur.
Dari enam jenis gas yang mempengaruhi pengertian pemanasan global, CO2 sebenarnya gas yang menyebabkan perubahan suhu paling kecil—meskipun jumlahnya paling banyak di atmosfer. Gas yang paling banyak menyebabkan pemanasan global adalah sulfur heksafluorida (SF6). Perbandingannya 1:23.900. Artinya, 1 ton SF6 memiliki potensi 23.900 kali memicu pemanasan global dibanding 1 ton CO2.
Gas lainnya penyebab pemanasan global adalah hidrofluorokarbon (HFCs sebanyak 140-11.700 kali), nitrat oksida (N2O sebanyak 310), dan metana (CH2 sebanyak 21). SF6 dihasilkan dari pembakaran transmisi listrik, manufaktur, dan industri semen atau pengecoran. Diperkirakan setiap tahun ada 10.000 ton belerang tanpa bau ini yang diproduksi di dunia.
Maka untuk mencegah kenaikan suhu bumi itu, cara termudah adalah menanam sebanyak mungkin pohon. Agar gas rumah kaca yang dilepas oleh pembakaran energi untuk transportasi, pabrik, dan aktivitas manusia lain bisa diserap oleh pepohonan.
Masalahnya, tesis ini dipatahkan oleh peneliti yang mempublikasikan studi mereka di jurnal Nature Sustainability. Mereka mengukur dampak penanaman pohon di Chile pada 1984-2011. Hasilnya, menanam pohon tak berarti banyak dalam mencegah pemanasan global. Waduh!
Penelitian mereka pun menjadi bahan kritik bagi inisiatif-inisiatif penanaman pohon yang memakai dana publik melalui donasi atau yayasan. Selama ini menanam pohon ternyata tak mencegah suhu bumi memanas.
Tunggu dulu. Rupanya pohon yang mereka teliti adalah pohon yang berada di luasan tertentu yang ditanam manusia. Dengan kata lain, hutan yang tak berguna dalam mencegah pemanasan global adalah hutan yang ditanam secara monokultur atau satu jenis. Hutan di Chile yang diteliti tersebut memang perkebunan alias hutan tanaman industri.
Hutan monokultur justru cenderung menggerus karbon yang tersimpan di dalam tanah. Sehingga jika tanah yang kaya cadangan karbon, seperti rawa gambut, ditanami dengan hutan monokultur, karbon di sana akan diserap oleh pohon sehingga jumlahnya berkurang.
Tesis ini sebetulnya sudah lama dipahami oleh para rimbawan. Karena itu banyak kritik terhadap konversi hutan menjadi perkebunan yang monokultur. Perkebunan sawit yang masif, atau peternakan, menjadi sumber pemanasan global karena tak menyerap karbon lebih banyak dibanding hutan alam.
Maka teknik yang benar adalah multikultur. Secara alamiah, ekosistem hutan berisi beragam tumbuhan sehingga mereka akan saling mengisi dan bertukar penyimpanan karbon. Persaingan alamiah pohon dalam mendapat karbon dari udara membuat hutan alam banyak menyimpan karbon. Sehingga hutan dengan pohon yang beragam akan menyelamatkan bumi dari bahaya pemanasan global.
Untuk hutan yang sudah diberikan izin diolah, pada Mei lalu pemerintah menerapkan skema multiusaha. Sehingga hutan tak melulu diisi oleh satu jenis pohon, melainkan kombinasi dengan pohon lain, semacam buah-buahan, bahkan sawit bisa menjadi anggota multikultur sebuah hutan.
BACA ARTIKEL MULTIUSAHA:
- Saatnya Multiusaha di Hutan Produksi
- Agar Hutan Berseri Kembali
- Multiusaha Sebagai Solusi Konflik di Kawasan Hutan
Kebijakan multiusaha mendorong industri menanam pohon lain yang menghasilkan secara ekonomi di luar kayu, seperti madu, buah, minyak atsiri atau getah. Sehingga pohonnya masih selamat untuk menahan laju pemanasan global. Secara ekonomi, nilai hutan yang memakai multiusaha juga jauh lebih tinggi.
“Kami berharap kita memahami praktik penghijauan bukan satu hal tunggal (dalam mencegah pemanasan global),” kata Dr Anping Chen, dari Colorado State University dan penulis utama studi di Chile itu kepada BBC.
“Jika kebijakan memberi insentif pada perkebunan pohon dirancang dengan buruk atau tidak ditegakkan dengan baik, ada risiko tinggi tidak hanya membuang-buang uang publik tetapi juga melepaskan lebih banyak karbon dan bumi akan makin kehilangan keanekaragaman hayati,” kata tandem-penulis Prof Eric Lambin, dari Stanford University.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :