Kabar Baru| 08 Juli 2020
Risiko Hibah Norwegia dalam Mencegah Pemanasan Global
SETELAH sepuluh tahun menjalin kerja sama, pemerintah Norwegia mengumumkan akan segera membayar janji mereka atas penurunan emisi yang dilakukan Indonesia selama 2016-2017. Nilai yang akan dibayarkan pada musim gugur, September-November, sebesar 530 juta krona atau US$ 56 juta dolar yang setara Rp 813 miliar.
“Indonesia telah memulai perjalanan yang luar biasa, dengan reformasi pemanfaatan hutan dan lahan lewat hasil yang mengesankan,” kata Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Sveinung Rotevatn dalam rilis yang dipublikasikan situs resmi pemerintahan Norwegia, Regjeringen.no. pada 3 Juli 2020.
Menurut Rotevatn, jumlah penurunan emisi yang berhasil diturunkan Indonesia pada tahun tersebut sebanyak 11,2 juta ton setara CO2. Jumlah ini sudah diverifikasi sejak diumumkan pada tahun lalu oleh pihak ketiga yang independen. Pemerintah Norwegia menghargai tiap ton CO2 yang bisa dikurangi Indonesia sebesar US$ 5.
BACA: Apa Itu Pemanasan Global?
Seperti disebut Rotevatn, penurunan emisi berasal dari perlindungan hutan dari kebakaran dan kerusakan hutan alam akibat degradasi dan pembalakan liar. Pemerintah Norwegia menilai Indonesia bisa mengendalikan kebakaran hutan dan lahan setelah kebakaran hebat yang melanda rawa gambut Indonesia pada 2015.
Pemerintah Norwegia juga secara khusus menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo yang menerbitkan moratorium izin baru perkebunan di rawa gambut. Moratorium ini memungkinkan perlindungan gambut yang mudah terbakar lebih terkendali.
Sebab, dengan luasnya yang 14,2 juta hektare—jika menghitung gambut di atas 50 sentimeter—Indonesia memiliki penyerap emisi terbesar kedua setelah Brazil. Gambut adalah penyerap karbon terbaik dibanding tegakan lain.
Dalam kerja sama menurunkan emisi antara kedua negara, kini memasuki fase ketiga atau fase pembayaran berbasis hasil setelah dua fase sebelum yang meliputi tahap persiapan (2011-2016), fase transformasi dalam meningkatkan mitigasi penurunan emisi (2016-2020). Menurut Rotevatn, pemerintahnya segera mentransfer dana penurunan emisi 2016-2017 setelah perjanjian hibah ditandatangani pada September 2020.
Dana tersebut akan ditransfer ke Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Setelah itu kedua negara akan membuat adendum perjanjian lanjutan. Total hibah yang disediakan Norwegia untuk mitigasi penuruan emisi dalam rangka mencegah pemanasan global sebesar 6 miliar krona atau Rp 1,53 triliun.
Jumlah pengurangan emisi atas bantuan Norwegia ini kira-kira 1,54% dari target Indonesia menurunkan emisi pada 2020 sebesar 26%. Sesuai proposal Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim 2015 di Paris, Indonesia berjanji mengurangi emisi sebanyak 41% dengan bantuan luar negeri dari prediksi jumlah emisi pada 2030 sebanyak 2,8 Gigaton setara CO2.
Sementara penurunan emisi dengan usaha sendiri sebesar 29% pada 2030. Angka ini naik dari target 26% yang diajukan pada 2011—1% lebih tinggi dibanding proposal Jepang. Dari target tersebut sebanyak 17,2% berasal dari penurunan emisi berbasis lahan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jadi, 11,2 juta ton penurunan emisi 2016-2017 itu setara 2,32% penurunan emisi yang menjadi tugas KLHK.
Maka, dengan bantuan Norwegia tersebut Indonesia menempuh satu risiko karena target penurunan emisi itu resmi sebesar 41% pada 2030 karena memakai bantuan pihak lain. Hibah luar negeri seperti dari Norwegia akan membantu mengurangi emisi selama 10 tahun ke depan sebanyak 12%. Menurut Menteri Lingkungan Hidup KLHK, hingga tahun ini Indonesia bisa menurunkan emisi sebanyak 24,6%.
Ada lima sektor yang menjadi target mitigasi penurunan emisi: berbasis lahan dan hutan, energi, industri, pertanian, dan limbah. Sektor lain relatif mudah dalam mitigasi penurunan emisi, kecuali mitigasi yang berbasis lahan dan hutan karena terkait deforestasi, degradasi, konversi lahan, hingga perhitungan yang presisi dalam menghitung penyerapan karbon per pohon.
Satu mekanisme yang masih belum diputuskan adalah soal perdagangan karbon. Indonesia masih gamang menentukan skema pasar karbon yang di negara lain sudah menjadi satu cara menurunkan emisi dalam mitigasi pemanasan global.
Padahal, dengan hutannya yang tropis, rawa gambutnya kedua terluas di dunia, Indonesia bisa menjadi pasar karbon yang gurih yang bisa mendatangkan keuntungan secara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan dalam menghadapi suhu bumi yang sedang menghangat. Beberapa inisiatif sukarela dari daerah yang mengelola hutan komunitas sudah berhasil melakukan perdagangan karbon.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :