Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 Juli 2020

Cetak Sawah di Rawa Gambut. Untuk Apa?

Menanam tanaman pangan di rawa gambut selain tak cocok juga berbahaya bagi lingkungan. Perlu ditimbang ulang.

Petugas memadamkan api di lahan gambut areal konsesi PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah, Juli 2019.

RENCANA pemerintahan Presiden Joko Widodo mencetak sawah di lahan rawa gambut bukan ide yang pertama. Presiden Soeharto menjadi pionir kebijakan ini dengan ambisi Indonesia bisa swasembada beras pada 1984.

Pada 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Nomor 82/1995 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare di Kalimantan Tengah. Kini kita tahu proyek itu mangkrak. Rosyid M, Staf Ahli Menteri Percepatan Pembangunan Indonesia Timur, pada 2003 menjelaskan kegagalan proyek tersebut sudah dimulai sejak perencanaan dan pencanangan.

Kesalahan terletak pada analisis mengenai dampak terhadap lingkungan, keterbatasan data dasar yang menyandarkan pada asumsi yang ternyata tidak benar, dan membelah kubah gambut yang mengakibatkan fungsinya hilang atau berkurang.

Pasca proyek 1 juta sawah di rawa gambut, banyak peneliti untuk mencari tahu akar masalahnya lebih presisi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) kemudian membuat kriteria kesesuaian lahan gambut untuk tanaman pangan.

Tanaman pangan (padi dan palawija) tumbuh dalam gambut dengan tingkat kematangan saprik dan hemik yang tebalnya kurang dari 100 sentimeter. Artinya, tak semua wilayah gambut bisa dipakai untuk menanam padi dan palawija.

Saprik adalah tingkat kematangan gambut yang sudah lapuk dan hemik merupakan tingkat kematangan gambut setengah lapuk. Gambut yang sudah matang dicirikan berwarna kelabu gelap hingga hitam sedangkan gambut yang belum matang masih berwarna kemerah-merahan atau warna asli endapan organik. Butuh survei lapangan dan analisis spasial untuk mendapatkan hasil luasan dan lokasi aktual dari ketersediaan lahan gambut yang sesuai dengan kriteria lahan pangan tersebut.

Tanah gambut bersifat asam karena hasil degradasi lignin dan unsur hara. Di dalamnya ada asam fenolat yang bersifat toksik dan mematikan bagi tanaman pangan. Hal ini yang mengakibatkan produktivitas sawah gambut lebih rendah dibandingkan sawah mineral.

Dua hal yang diperlukan untuk mengatasinya dengan menemukan varietas padi yang toleran terhadap asam fenolat dan memberikan perlakuan terhadap tanah gambut sebelum tanam untuk peningkatan produksi dan tingkat keberhasilan tanaman pangan.

Pengujian varietas padi yang toleran terhadap asam tersebut telah dilakukan oleh Widodo Haryoko dkk dari Universitas Tamansiswa Padang, yaitu varietas sunting bungo durian, randah kuning, mundam, lampung, sunting ameh, cibogo, ciherang, cisokan kuning, dan anak daro. Jenis-jenis tersebut dinyatakan toleran terhadap cekaman rawa gambut.

Untuk memperbaiki sifat kimia gambut itu sendiri beberapa peneliti memberikan perlakuan dengan menambahkan amelioran. Sumbernya bisa berasal dari limbah baja (steel slag) yang masuk kategori limbah berbahaya dan beracun. Amerika dan Jepang sudah menggunakannya untuk menambah unsur hara. Penelitian Setiko PH dari IPB menemukan bahwa pemberian steel slag pada tanah gambut meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi.

Namun, menjadikan rawa gambut menjadi sawah sama saja mengubah ekosistemnya. Tingkat keragaman spesies rawa gambut akan berkurang atau hilang. Akibatnya, gambut tak akan lagi menjadi ekosistem sebagai penyerap karbon terbaik. Padahal Presiden Jokowi punya target menurunkan emisi 26% pada 2020 ini dan 29% pada 2030.

Kemarau menambah kerentanan rawa gambut karena akan kering dan mudah terbakar. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sipongi.menlhk.go.id pada 2019 luas kebakaran hutan dan lahan sebesar 1.649.258 hektare, kedua terluas setelah 2015 (2.611.411,44 hektare. Salah satunya karena dipicu oleh kebakaran di lahan gambut.

Maka, meningkatkan ketahanan pangan di tengah pandemi dengan mencetak sawah di rawa gambut bukan solusi yang arif. Dan mengesankan sebagai kebijakan yang frustrasi karena terdesak oleh kemandekan ekonomi akibat pandemi. Presiden Joko Widodo mesti belajar dari sejarah mencetak sawah di areal gambut yang membahayakan lingkungan puluhan tahun kemudian.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan IPB, pengamat flora dan fauna

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain