Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 19 Juli 2020

Anthropause: Saat Manusia Jeda Menginvasi Alam

Pandemi virus corona covid-19 mendorong anthropause: manusia jeda menginvasi alam. Jeda yang harus dibuat rutin agar ekosistem punya waktu memulihkan diri.

Burung jaga jarak di Kanada (Foto: Wiene Andriyana)

INOVASI biasanya muncul karena suatu pemicu. Bisa berupa tekanan situasi kurang menyenangkan yang memaksa manusia berpikir dan menciptakan sesuatu untuk mengatasinya. Demikianlah hukum alam bekerja.

Pohon maple harus berada di bawah tekanan perubahan suhu yang drastis, dari minus 5° Celsius pada malam dan naik menjadi 5° pada pagi, untuk memicu sirop yang enak. Beberapa jenis pohon di Australia, seperti Banksia—bunga liar dari keluarga Proteaceae, butuh tekanan suhu sangat tinggi untuk bisa membuka cangkang keras tempat menyimpan bijinya agar bisa bereproduksi. Atau sebaliknya, cangkang keras dan tekanan suhu itu yang membuat mereka beradaptasi dengan proses hidup seperti itu.

Konstruksi Kayu

Tekanan akibat pandemi yang membuat hidup kita jadi sulit juga akan mendorong kita menciptakan inovasi, setidaknya adaptasi baru dengan alam. Atau kini saatnya kita memuliakan alam karena virus muncul akibat ekosistem tak seimbang. Maka, kita mesti mendefinisikan ulang hubungan dengannya, terutama dengan satwa liar dan keragaman hayati.

Hubungan manusia dan alam sangat kompleks. Seymour (2016) dalam The Human–Nature Relationship and Its Impact on Health: A Critical Review, Frontiers in Public Health mengeksplorasi beberapa konsep ilmu pengetahuan untuk memahami hubungan manusia dengan alam, yaitu: biologi evolusioner, sosial ekonomi, psikologi evolusioner dan ilmu-ilmu terkait lingkungan hidup.

Dalam psikologi umum ada cara memahami hubungan manusia ketika muncul tanda-tanda ketidakharmonisan. Psikolog akan menyarankan kedua pihak melakukan ‘self-distanced’ atau ‘third person’. Perspektif ini akan membantu kita menjadi lebih objektif dalam memandang ‘peran dan kontribusi’ dalam hubungan tersebut.

Penelitian Finkel dkk pada 2013 menemukan jika para pihak dalam sebuah hubungan tak harmonis bersedia melihat ke dalam diri, menengok ke belakang, risiko konflik bisa dihindari bahkan bisa menguatkan hubungan tersebut. Menurut saya, hubungan kita dengan alam juga seperti itu.

Pandemi virus corona covid-19 memaksa manusia membatasi berbagai kegiatan, termasuk taking a step back dari kehidupan liar, lalu mengambil sisi positif untuk mendorong semakin banyak studi agar kita semakin memahami fenomena global ini (Bates dkk 2020; Saraswat & Saraswat 2020). Dalam sebuah tulisan baru-baru ini di Nature Ecology & Evolution, para peneliti menyebutnya anthropause—dari anthropo (manusia): jeda dari aktivitas kehidupan modern.

Sejak pembatasan interaksi sosial untuk mencegah wabah meluas, banyak dilaporkan hewan liar masuk ke permukiman. Puma muncul di Chile, lumba-lumba menari di selat Bosphorus, Turki, ubur-ubur terlihat berenang di sungai Venice, Italia, ketika tak ada manusia yang mengayuh gondola. Anjing hutan berkeliaran di taman kota Tel Aviv, Israel.

Di Kanada, sejak April kota lebih sepi. Di media sosial banyak penduduk melaporkan “invasi” hewan liar ke wilayah permukiman. Ketika manusia terpaksa jeda, hewan liar punya ruang lebih lapang untuk beraktivitas. Portal inaturalist.ca mencatat ada 15.000 pengamatan dibanding hanya 9.500 rekaman satwa liar tahun lalu.

Meski berita-berita tersebut menggembirakan karena hewan liar jadi bebas berkeliaran, di beberapa tempat jeda aktivitas patroli justru dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilegal, seperti perburuan liar, penambangan ilegal, penebangan liar. Berkurangnya patroli akibat pandemi, diikuti naiknya harga emas, membuat penambangan ilegal di kawasan hutan menjadi naik.

Berbagi pengalaman antara pelaku ekoturisme masyarakat dan pemerintah menunjukkan problem itu juga dihadapi Indonesia, tak hanya di Namibia seperti penelitian ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengalokasikan anggaran Rp 1,01 triliun untuk bantuan sosial bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan yang terdampak pandemi, agar jeda itu tak berimbas kepada ekonomi maupun perlindungan keragaman hayati.

Anthropause telah mengajarkan bahwa manusia dan alam perlu jeda dalam berhubungan. Kita perlu sejenak membiarkan alam berinteraksi sendiri tanpa tekanan manusia untuk memulihkan diri setelah kita invasi ruang-ruang hidupnya. Jika manusia punya tradisi puasa untuk menyucikan diri dari makanan dan nafsu, alam juga memerlukan penyucian diri dari segala kegiatan manusia yang mengotorinya.

Tidak hanya saat pandemi, atau tidak harus menunggu virus mengingatkan kita agar jeda, tapi kita mesti membuat jadwal agar pemulihan ekosistem berlangsung secara rutin.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain