Kabar Baru| 21 Juli 2020
Pemanasan Global Kemungkinan Datang Lebih Cepat
SELAMA ini hampir semua negara di dunia berusaha memenuhi komitmen mereka dalam proposal Pertemuan Paris 2015 untuk bersama-sama menekan suhu bumi naik 1,50 Celsius dibanding suhu pra-industri 1850-1900. Tiap-tiap negara mengajukan proposal menekan suhu sebagai batas yang disebut pemanasan global.
Cara-cara yang umum dan sudah diketahui khalayak untuk mencegah bumi memanas adalah membuat rasio menekan emisi gas rumah kaca yang sudah disetujui panel antar pemerintah di Perserikatan Bangsa-Bangsa (IPCC), yang akan diukur pada 2030. Indonesia, misalnya, berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca 29% dengan usaha sendiri pada tahun tersebut.
Angka tersebut naik 3% dibanding proposal pada 2011. Acuannya adalah prediksi jumlah emisi yang dilepaskan seluruh sektor di Indonesia sebanyak 2,88 Giga ton setara karbon dioksida (CO2). Prediksi ini datang dari lima sektor utama: energi, industri dan transportasi, kehutanan, limbah, dan pertanian. Sehingga pada 2030 Indonesia mesti menekan produksi emisinya sebanyak 854 juta ton setara CO2, dengan usaha sendiri.
Masalahnya, klausul usaha sendiri itu sudah terlewatkan karena pemerintah Norwegia hendak membayar penurunan karbon Indonesia sebanyak 11,2 juta ton setara CO2 pada 2016-2017 sebesar Rp 831 miliar pada September atau November tahun ini. Dengan pembayaran tersebut, Indonesia terikat menurunkan emisi sebesar 41% karena memasukkan unsur bantuan pihak lain.
Akan tercapaikan target tersebut? Para ahli di Badan Meteorologi Dunia pesimistis. Dalam prediksi terbaru mereka, suhu bumi bertambah 1,50 Celsius datang lebih cepat, yakni pada 2025. Menurut Profesor Richard Betts dari Universitas Exeter, Inggris, yang menjadi anggota badan tersebut, batas suhu PBB itu mengacu pada pemanasan bumi akibat ulah manusia, bukan perubahan secara alamiah.
Sebab, kata Betts, pada dasarnya iklim tak bisa diprediksi karena ada begitu banyak variabel yang mempengaruhi perubahannya. Namun, prediksi Badan Meteorologi ini yang menghitung faktor alamiah sekali pun menemukan pemanasan bumi datang lebih cepat. “Model itu menunjukkan bahwa kita sangat dekat melanggar batas tersebut,” katanya dalam artikel di Carbon Brief.
Perubahan suhu acap dipengaruhi oleh faktor-faktor alam, termasuk manusia. Jumlah penduduk yang meningkat membuat kebutuhan bertahan hidup juga meningkat. Kini jumlah penduduk bumi sebanyak 7,5 miliar.
Pertambahan manusia membuat hutan diokupasi dan dikonversi menjadi permukiman. Hutan juga dibabat untuk dikeruk cadangan kekayaannya yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan dan memacu ekonomi. Proses produksi untuk memenuhi kebutuhan itu membuat jumlah emisi yang mengotori atmosfer bertambah terus.
Akibatnya atmosfer tak sanggup lagi menyerap panas dari matahari dan bumi. Ia kembali ke bumi menaikkan suhu. Selama ribuan tahun konsentrasi gas CO2 di atmosfer bertahan 280 part per million. Artinya, jika kita mengupas 1 juta molekul di dalamnya terdapat 280 CO2. Kini konsentrasi karbon dioksida di atmosfer tembus 450 ppm.
Karbon dioksida bukan pemicu utama efek gas rumah kaca, meski jumlahnya paling banyak dibanding lima gas lain. Berdasarkan faktor pengali pemanasan global, gas utama pemicu efek rumah kaca adalah belerang sulfur heksafluorida (SF6). Potensinya mencapai 23.900 kali CO2, lalu hidrofluorida, perfluorokarbon, dan nitrat oksida.
Dalam perkiraan Badan Meteorologi, suhu dalam lima tahun ke depan kemungkinan naik 0,91-1,510 Celsius. Dari kenaikan suhu ini, menurut Betts, aktivitas manusia menyumbang 0,1-0,30 Celsius. Prediksi ini tak jauh beda dengan perhitungan-perhitungan lembaga lain. NASA, misalnya, menghitung kenaikan suhu sebanyak 0,80 Celsius dalam 40 tahun terakhir.
Batas kenaikan suhu yang bisa ditoleransi ini selalu didasarkan pada data tahun 1850-1900 atau 100 tahun setelah Revolusi Industri. Patokan ini dibuat karena data suhu bumi tak tersedia sebelum 1850. Karena itu sebetulnya agak kurang akurat karena pembakaran bahan bakar fosil dimulai sejak pertama kali manusia menemukan mesin uap pada 1750.
Copernicus Climate Service menghitung lebih gawat lagi. Dibanding suhu bumi pra-industri, dalam 12 bulan terakhir suhu planet ini naik 1,3-1,40 Celsius. Karena itu para ahli ragu bahwa seluruh negara bisa bahu-membahu mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius.
Meski dampak perubahan iklim tak langsung terasa saat itu juga, dalam jangka panjang perubahan suhu akan memicu pelbagai bencana dan cuaca ekstrem yang tak bisa ditanggungkan manusia. Menurut Betts, ketika suhu bumi naik di atas 1,5C, tak sekonyong-konyong es langsung mencair dan air laut naik.
Butuh puluhan tahun agar proses mencairnya es itu menambah tinggi muka air laut. Atau karang yang memutih dan air laut menjadi asam berlangsung bertahun-tahun begitu suhu menyentuh batas itu. Betts juga mengkritik proses pemantauan suhu yang belum sempurna. Suhu muka air laut yang acap jadi patokan kenaikan suhu, misalnya, didapatkan datanya dari ketinggian 1,5 meter.
Meski begitu kecepatan suhu naik tak terbendung, oleh atau tanpa aktivitas manusia. Itu berarti, jika manusia memacu lebih banyak produksi emisi ia akan menambah kecepatan kenaikan suhu bumi di masa depan.
Gambar oleh digifly840 dari Pixabay.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :