BENCANA kelaparan bukan mitos. Seorang ahli perubahan iklim Indonesia, Dr. Amanda Katili, mengutip data Food and Agriculture Organization (FAO) yang menunjukkan dalam lima tahun terakhir 60 juta penduduk dunia menderita kelaparan. Badai pandemi corona covid-19 kian menggoyahkan produksi pangan dan pola distribusinya.
Pandemi diprediksi menaikkan angka kelaparan di dunia menjadi 132 juta orang. Amanda menunjukkan sekitar 2 miliar penduduk dunia kini tidak memiliki akses terhadap makanan sehat. Amanda mengutip data-data itu dan memaparkannya dalam diskusi Pojok Iklim bertema “Merawat Gastronomi Lokal dalam Krisis Global” pada 15 Juli 2020.
Untuk mencegah krisis pangan, Amanda menyarankan pengembangan dan memperkuat pangan yang murah, variatif, mudah ditanam, dan bisa diakses semua. Fokusnya ada pada pangan nabati, terutama nabati lokal, yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Kenapa nabati? Memproduksi nabati lebih aman dari segi lingkungan. Emisi gas rumah kaca dan kerusakan lingkungan tidak sebesar yang dihasilkan peternakan atau pertanian skala besar yang memerlukan pupuk kimia, pestisida, dan bahan beracun lainnya. Amanda mengatakan, jika makanan nabati lebih banyak dikonsumsi penduduk dunia, sekitar 41-74%emisi gas rumah kaca akan bisa dikurangi.
Indonesia kaya dengan potensi tumbuhan nabati yang bisa menjadi sumber pangan nabati. Namun karena kebiasaan konsumsi yang terjadi puluhan tahun terakhir, dengan beras sebagai komoditas utama, banyak pangan pokok lokal terpinggirkan. Sebut saja sagu, sorgum, jagung, ketela, dan berbagai jenis umbi-umbian lokal lainnya.
Selain itu, ada cara pandang atau gengsi yang memandang makanan lokal “tidak keren”. Ini juga kerap menyebabkan kecenderungan orang Indonesia, termasuk generasi muda perkotaan, tidak menoleh ke pangan lokal. Bahkan mungkin ada yang tidak kenal sama sekali.
Masa gelap pandemi sedikit banyak mengubah ini semua. FAO mewanti-wanti semua negara mewaspadai krisis pangan akibat pandemi. Negara-negara yang selama ini mengandalkan impor pangan harus pasang jurus lain.
Negara pengekspor memilih mengamankan pangan sendiri. Hasilnya untuk disimpan sendiri, sebagai mengantisipasi krisis pangan di negaranya. Jalur distribusi juga ikut terhambat karena kebijakan pembatasan interaksi sosial untuk memutus penyebaran wabah.
Maka, ketahanan dan kedaulatan pangan menjadi hal yang paling utama sekarang di banyak negara, di samping prioritas pergulatan melawan wabah global. Kebijakan menyangga pangan, mengembalikan produksi dalam negeri dan memastikan tercukupinya pangan negeri sendiri menjadi keniscayaan. Bukan lagi pilihan.
Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir dengan kemampuan ketahanan pangan. Kita punya modal dan kekuatan, meski ada yang sempat terlupakan. Sepanjang yang saya ikuti, berbagai forum dan webinar menyajikan kembali isu kekayaan aktual maupun potensial pangan lokal kita, terutama keragaman nabati.
Beras tidak hanya beras putih. Kita punya beras merah, coklat, hitam dan pulut dengan segala variasi lokalnya. Beras hitam dari Buton Utara, Sulawesi Tenggara, misalnya, tidak ditemukan di daerah lain.
Belum lagi tumbuhan lain. Sorgum memiliki sekitar 30 spesies. Ada belasan jenis umbi-umbian. Buah, sayur, obat-obatan, palma. Pengetahuan kita mungkin tak menjangkau semua kekayaan itu.
Di Nusa Tenggara Timur ada Mama Aleta Baun yang aktif mengembalikan sorgum agar kembali dilirik sebagai makanan pokok. Atau Oday Kadariah, perempuan paruh baya yang mendapatkan Kalpataru 2018. Perempuan dari Ciwidey ini konsisten hingga kini mengampanyekan tanaman obat dan bumbu-bumbu lokal, yang banyak bermanfaat untuk daya tahan tubuh.
Atau Nissa Wargadipura dari Garut yang mendorong revitalisasi berbagai jenis tumbuhan lokal di pesantrennya. Ia menamakannya sebagai Gerakan Pesantren Ekologi. Bagi Nissa, tanaman lokal itu kuat dan sehat, mudah dipelihara sera tahan banting.
Helianti Hilman, pengusaha pangan nabati lokal, dengan optimistis menceritakan kewirausahaannya menggali kekayaan dan keragaman pangan lokal. Ia bertutur, garam di Indonesia bisa disarikan dari tumbuhan, bahkan tumbuhan bukan pantai, yaitu nipah. Pelepah nipah bisa diolah menjadi garam. Gula ternyata bukan hanya bisa dari tebu. Tapi bisa dari aren, kelapa, nipah dan lontar. Bumbu penyedap tidak hanya dari tetes tebu, tapi juga bisa dari nipah.
Kini, pandemi semakin menumbuhkan kesadaran masyarakat kita tentang pentingnya untuk paham, cinta dan pendayagunaan pangan nabati lokal. Dari berbagai kalangan datangnya, dari beragam latar. Tidak lagi ada sekat desa atau kota, tua atau muda, petani atau bukan, berpengalaman atau amatir.
Di kota semakin banyak orang yang melakukan urban farming. Mereka memanfaatkan pekarangan sempit dan sudut rumah. Baik untuk penggunaan tanam media tanah maupun hidroponik. Mereka saling berbagi pengetahuan, berbagi hasil dan berbagi bibit.
Untuk kalangan usia muda, beberapa petani milenial sukses menanam sayur mayur. Ada juga buah-buahan khas lokal Indonesia.
Semua contoh di atas menunjukkan bergeliatnya kecintaan kepada pangan lokal. Menanam tak hanya oleh petani. Pandemi harus menyadarkan kita agar menengok kembali tanaman lokal yang kaya dan beragam sebagai cara menciptakan ketahanan pangan.
Gambar oleh silviarita dari Pixabay.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.
Topik :