DUNIA memperingati Hari Harimau setiap 29 Juli. Ditetapkan pada 2010 di St. Petersburg, Rusia, dalam Tiger Summit, penetapan ini bertujuan mengingatkan kita agar lebih peduli pada keberadaan harimau yang makin terdesak oleh perburuan liar dan konversi hutan.
Sebelum pindah ke Kanada, bulan Juli sepanjang 2016-2018 adalah bulan yang penuh “harimau” buat saya. Penuh dalam artian harfiah, karena saya mengikuti berbagai kegiatan mempromosikan konservasi harimau. Keseharian saya juga penuh dengan berbagai aksesori terkait harimau, sebagai bagian dari cara untuk menggugah kesadaran kita akan pentingnya hewan ini.
Tas ransel bergambar harimau, pin harimau Sumatra, tempelan tas, gantungan kunci, hingga kaos yang bergambar dan pesan konservasi terkait harimau. Ketika sedang bersiap memulai perjalanan ke salah satu lanskap kunci harimau, keponakan saya berumur 14 tahun dengan saksama mengamati saya yang sedang memasang satu (lagi) tag bergambar harimau di koper, sementara ransel kanvas sudah penuh dengan pin bergambar kucing besar ini.
“Tante, kenapa bisa segitunya sama harimau?” Dalam percakapan orang Indonesia, kata “segitunya” menunjukkan sesuatu yang berlebihan. Saya terkesiap. Tak bisa segera menjawab. Taksi keburu datang. Tadinya, saya ingin menyadur jawaban anak saya bahwa “Tiger is cool.” Tapi jawaban ini membutuhkan penjelasan panjang. Jadi nanti saja menjawabnya ketika sudah lowong.
Dan waktu luang itu saya pakai untuk menulis artikel ini. Semoga ia membacanya.
Global Tiger Day tahun ini mengingatkan saya pada pertanyaan mengapa kita harus peduli pada harimau Sumatra. Lebih tepatnya, mengapa kita membutuhkan harimau sehingga harus peduli pada mereka. Memangnya, kenapa kalau harimau punah? Setidaknya ada dua jawaban atas pertanyaan itu:
Pertama, dari sudut pandang ekologi. Jika planet ini tak lagi memiliki harimau, keseimbangan ekosistem akan terganggu. Jika ekosistem terganggu hidup manusia menghadapi masalah besar.
Cara alam bekerja merupakan perwujudan dari keseimbangan yang sempurna. Sebagai predator tertinggi, karnivora besar ini menempati posisi puncak pada rantai makanan di alam. Hilangnya harimau akan menyebabkan trophic cascade, sebuah fenomena ekologi ketika jumlah satwa yang berada di bawah rantai makanan harimau akan melimpah.
Jika hewan herbivor yang menjadi makanan harimau banyak, mereka akan membutuhkan tumbuhan dalam jumlah banyak. Jika tumbuhan dimangsa oleh mereka, hutan tak akan tumbuh dan melakukan regenerasi dengan sempurna. Jika hutan tak tumbuh kita kehilangan produsen oksigen, yang kita butuhkan untuk bernapas.
Ledakan populasi herbivor juga membuat persaingan mendapat makanan dengan hewan ternak menjadi tinggi. Jika hewan ternak kehilangan pakan, hewan ternak akan punah. Kebutuhan protein manusia pun akan terganggu. Ada banyak lagi koneksi antara berbagai sub-simpul lain, yaitu antara berbagai satwa liar yang terdisrupsi, misalnya, antara medium karnivor dengan mangsa-mangsa kecilnya.
Seorang kawan pegiat konservasi pernah menggambarkan bahwa membiarkan harimau punah dari alam sama seperti kita mencabut satu balok kayu yang memegang posisi kunci/penentu dalam permainan jenga (balok susun). Balok susun akan roboh jika satu balok kita tarik. Demikianlah peran harimau dalam ekosistem kita.
Harimau kini menghadapi ancaman balok susun. Perburuan liar, kehilangan habitat akibat hutan yang menjadi rumah mereka diokupasi dan dikonversi untuk kebutuhan manusia, membuat mereka semakin terdesak. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan populasi harimau Sumatera saat ini tinggal 600 spesies.
Mereka masih ada, trophic cascade masih bisa dihindarkan. Tapi tanpa kesadaran melindungi mereka, tragedi itu akan segera terjadi.
Trophic cascade ini bukan sekadar teori belaka dan fenomenanya telah muncul di beberapa tempat di dunia. Dalam The Secret Wisdom of Nature, Peter Wohlleben menjelaskan dengan detail pengalaman pahit yang terjadi di taman nasional tertua di dunia, Yellowstone di Amerika Serikat.
Serigala, sebagai top predator di wilayah tersebut bertahan sampai akhir 1930. Warga sekitar yang khawatir ternak mereka musnah dimangsa serigala, memburu hewan ini. Tak lama setelah serigala menghilang, terjadi ledakan populasi sejenis rusa besar (elk) yang tadinya merupakan mangsa utama serigala. Rusa ini memakan rumput dan tumbuhan muda, sehingga tidak ada regenerasi pepohonan yang cukup di hutan.
Akibatnya berbagai burung dan berang-berang tidak memiliki sumber pangan yang cukup. Kalah bersaing pangan dengan rusa, beragam burung dan berang-berang pun turut hilang. Sungai pun terdampak, karena hilangnya vegetasi rumput membuat air tak punya penahan lagi. Banjir dan erosi tidak terhindarkan.
Kondisi menyedihkan ini terus terjadi sampai tahun 1995. Menyadari ketimpangan ekosistem itu, pemerintah Amerika melepaskanliarkan serigala dari Kanada di wilayah tersebut. Perlahan keseimbangan alam pulih kembali di Yellowstone. Tentu kita tidak ingin ini peristiwa serupa terjadi di Indonesia. Dari mana kita mengimpor harimau Sumatra?
Dalam buku Aum: Atlas Harimau Nusantara, ketidakharmonisan hubungan antara manusia dengan alam membuat dua sub-spesies harimau, yaitu harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris baliae), punah. Maka harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) kini menjadi satu-satunya sub-spesies harimau yang masih tersisa di Indonesia.
Selain alasan ekologi di atas, alasan kedua mengapa kita membutuhkan harimau adalah perspektif antroposentris. Harimau ada dalam diri manusia. Harimau ada dan sudah menjadi bagian dari kultur dan kehidupan spiritual masyarakat sekitar hutan sejak dahulu.
Harimau mendapat sebutan kehormatan: simbah, kyai, datuk, inyiak, sahabat, beliau—semua bernuansa hormat dan gentar. Bahkan ketika harimau Jawa sudah punah, TNI Divisi Jawa Barat memakainya sebagai simbol kewibawaan dan keberanian para prajurit.
Harimau juga menjadi inspirasi etika sosial masyarakat di pedalaman Jawa dan Sumatera. Tempat-tempat yang dihuni harimau biasanya menjadi hutan larangan dan dianggap keramat. Bahkan konflik manusia-satwa liar sejak dulu disikapi dengan nilai-nilai kultural melalui tradisi ngagah di wilayah Kerinci, Jambi—sebuah tradisi menyantuni dan menghormati harimau yang mati.
Harimau juga ada dalam diri manusia yang bermukim jauh dari hutan. Dalam beberapa kegiatan sekolah anak saya di Kanada, khususnya yang terkait dengan aktivitas olahraga, para guru sering memakai gambar atau metafora harimau untuk merepresentasikan semangat, kecepatan, dan kekuatan. Walaupun negara ini adalah negara beruang grizzly, tidak memiliki habitat harimau, imajinasi terhadap hewan besar ini hadir dalam berbagai bentuk.
Selain perspektif positif terkait hubungan harimau dengan manusia yang dibangun dari sudut pandang konservasi, ada pula perspektif konflik manusia dan satwa liar. Jalais, dalam Unmasking the Cosmopolitan Tiger. Nature and Culture, mengulas perbedaan cara pandang terhadap harimau, yang ia sebut dengan istilah “cosmopolitan tiger”. Bagi orang kota harimau adalah representasi kekuatan dan pengaruh. Sementara masyarakat yang tinggal di desa yang bersinggungan dengan habitat harimau Bengal di hutan India, hanya memandang hewan besar ini sebagai “pemakan manusia”.
Dua cara pandang ini bermanfaat untuk ditelaah dari sudut pandang antroposentris. Kita harus berangkat dari paradigma ini untuk menjadikannya motivasi kuat membuat perlindungan dan pelestarian alam, dan menjadi bagian integral dari strategi konservasi harimau.
Memastikan bahwa harimau harus tetap ada karena kita membutuhkannya tak hanya menjadi tugas salah satu pihak saja. Demi masa depan spesies kita, demi kelestarian planet ini, kita tak boleh mewariskan harimau hanya dengan cerita “konon” dan gambarnya saja kepada anak-cucu kita kelak.
Jadi, begitulah, Haris, jawaban Tante atas pertanyaanmu tempo hari. Peluk dari jauh...
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :