Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 28 Juli 2020

Mangrove: Antara Tambak Udang dan Kelestarian

Luas hutan mangrove kian menyusut. Tambak udang yang masif dan skala besar yang menguntungkan secara ekonomi menjadi ancaman utama.

Bekantan di hutan mangrove Tarakan, Kalimantan Utara (Foto: Reherlangga)

DALAM Peta Mangrove Nasional 2019, luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,31 juta hektare, dengan 2,7 juta hektare dalam kondisi bagus dan 637.624 ribu hektare memiliki kerapatan jarang. Secara keseluruhan, mangrove Indonesia memiliki 3,14 miliar ton karbon atau sepertiga stok karbon pesisir global.

Selain menyimpan karbon, hutan mangrove juga menyimpan keanekaragaman hayati. Dengan akarnya yang menjuntai di bawah dan atas permukaan tanah, mangrove akan menahan pantai dari abrasi dan menahan air kembali ke laut. Akibatnya, mangrove menjadi habitat hewan air dan udara karena burung bersarang di atasnya.

Konstruksi Kayu

Rumah keragaman hayati itu membuat hutan mangrove kini dikembangkan menjadi areal ekowisata yang menjanjikan. Tapi, kekayaan itu mendapat ancaman justru dari aktivitas manusia. Para petambak yang tak ramah lingkungan masuk ke areal hutan mangrove dengan menjadikannya tambak udang yang menggerus keragaman hayati tersebut.

Di Teluk Tomini, misalnya, luas mangrove menyusut dari 27.672 hektare pada 1988 menjadi 10.321 hektare pada 2020, seperti dicatat Perkumpulan Japesda Gorontalo yang mengamati dan mencermati hutan mangrove di teluk yang masuk wilayah Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah, dalam 22 tahun terakhir. Pengurangan luas hutan mangrove secara nasional selama kurun itu mencapai 1,1 juta hektare.

Pada peringatan Hari Mangrove Sedunia, 26 Juli 2020, Menteri Kelautan Perikanan Edhy Prabowo berjanji akan melindungi mangrove dari kegiatan budidaya tambak perikanan. “Saya jamin ke depan tidak ada lagi hutan mangrove untuk tambak budidaya,” kata Menteri Edhy dalam video di Instagram. “Kami akan menanami pesisir dengan mangrove demi menjaga keberlanjutan.”

Dalam rilis Kementerian, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Aryo Hanggono mengatakan bahwa KKP menargetkan rehabilitasi mangrove seluas 200 hektare tahun ini di 12 lokasi. Rehabilitasi ini bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 seluas 1.800 hektare.

Menurut Aryo, 52% atau 1,82 juta hektare mangrove Indonesia dalam kondisi rusak akibat pelbagai sebab. Aktivitas petambak udang salah satunya. Berbeda dengan data Peta Mangrove, data KKP menunjukkan luas hutan mangrove Indonesia 3,49 juta hektare.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018, laju kerusakan hutan mangrove seluas 58 ribu hektare per tahun. Angka ini merupakan lajur kerusakan tercepat di dunia. Data KLHK menyebut faktor utama kerusakan mangrove adalah alih fungsi menjadi lahan pertanian, tambak udang, dan pembangunan infrastruktur.

Sejak 2016, melalui Peraturan Menteri Kalautan dan Perikanan Nomor 75/2016, pemerintah telah melarang petani membuka tambak baru di hutan mangrove dan di zona inti kawasan konservasi. Alternatifnya, petani bisa mengembangkan tambak udang dengan teknologi sederhana melalui teknik wanamina (silvofishery).

Di sisi lain, larangan pemerintah itu kurang kongruen dengan kebijakan menggenjot ekspor udang 2020-2024 yang naik 250%. Volume ekspor udang olahan pada 2018 sebesar 145.226 ton, pada 2024 menjadi 363.067 ton. Sementara produksi udang untuk bahan baku ekspor naik dari 197.433 ton pada 2018, menjadi 578.579 ton pada 2024.

Nilai ekonomi yang besar ini akan mendorong konversi hutan mangrove terus terjadi. Para pengusaha hutan yang di dalam kawasan konsesinya terdapat hutan mangrove akan tergiur mendapatkan keuntungan lain dengan cara mengeksploitasinya. Apalagi, kini sudah terbit peraturan tentang multiusaha yang mendorong pemilik konsesi tak hanya mendapatkan nilai ekonomi dari menebang kayu.

Karena itu pelbagai kebijakan eksploitasi hutan, terutama di wilayah mangrove, perlu didorong agar lestari dengan memakai teknologi madya dan memakai sistem agroforestri yang ramah terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan dalam jangka panjang akan menimbulkan biaya eksternalitas yang akan menjadi beban pengusaha di masa mendatang, setelah mendapat keuntungan jangka pendek dengan membuat tambak di kawasan hutan ini.

Sebab mangrove yang telah rusak tak bisa dipulihkan. Butuh 200 tahun untuk memulihkan sebuah kawasan hutan mangrove yang rusak seperti semula, di tengah isu pemanasan global akibat kian menipisnya luas hutan penyerap emisi dan karbon yang dilepas oleh aktivitas manusia.

Ekonomi atau kelestarian lingkungan bukan dilema. Ia harus seiring dan sejalan agar tak menimbulkan kerusakan yang akan menghambat laju ekonomi ketika lingkungannya telah rusak.

Kelompok Kerja Peningkatan Ekspor Udang yang dibentuk Kementerian Kelautan Maret 2020 perlu memasukkan aspek kelestarian sebagai pertimbangan utama dalam ekstensifikasi tambak udang untuk mendukung target besar ekspor udang itu. Kini luas tambak udang di Indonesia mencapai 600.000 hektare, dari yang ditargetkan seluas 2,96 juta hektare.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain