Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 30 Juli 2020

Menjaga Rimba Terakhir

Mardiyah Chamim dan KKI Warsi menerbitkan buku “Menjaga Rimba Terakhir”, tentang kearifan-kearifan masyarakat adat menjaga rimba yang jadi rumah mereka. Ia membagikan bab 1 dari 31 bab buku setebal 570 halaman ini.

Menjaga Rimba Terakhir oleh Mardiyah Chamim (2020).

TAHUN 2020, sebuah masa penuh gejolak yang akan kita kenang sebagai the great realisation. Momen penyadaran yang dahsyat.

Inilah tahun ketika seluruh dunia dipaksa menyetel ulang segala hal. Reboot. Reset. Mesin ekonomi dan segenap sekrupnya, roda perdagangan, produksi pangan, bahkan model silaturahmi—jungkir balik. Semua sedang mencari bentuk dan keseimbangan baru, menuju normal yang baru. Kehidupan berubah cepat. Tikungan tak terduga menanti di setiap lini. Sebuah revolusi telah datang.

Agen revolusi kali ini bukan manusia, bukan kelompok yang digerakkan ideologi apa pun. Tetapi justru karena itulah revolusi terjadi cepat, tak mempan suap, tak kenal kolusi, tak pandang kaya-miskin, juga tak kenal kompromi.

Virus Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) cov-2, pemicu penyakit menular covid-19, dialah sang agen revolusi. Saat bagian ini saya tulis, 8 Juni 2020, telah lebih dari 7 juta jiwa terinfeksi covid-19 dan lebih dari 400 ribu korban meninggal di seluruh dunia. Semua terjadi begitu cepat. Tak sampai lima bulan, sejak kasus pertama dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.

Virus adalah enigma. Teka-teki yang tak kunjung punya jawaban. Dia bukan makhluk hidup, juga bukan benda mati. Dia ada di garis antara keduanya. Virus tak punya inti sel dan perangkat sel lainnya, tetapi hanya jalinan materi genetik RNA (ribonucleat acid). Struktur yang sederhana inilah yang membuat virus mudah sekali bermutasi, berubah sifat, dan keganasan.

Makhluk ini hanya bisa hidup, memperbanyak sel—kode genetik RNA— sampai miliaran kali, ketika menumpang di tubuh makhluk hidup lain (host, inang). Tanpa inang, virus tak sanggup memperbanyak diri. Makhluk sederhana inilah sang agen pengirim pesan dari alam raya.

Sebuah pesan agar manusia memperbaiki secara radikal relasi dengan alam semesta. “Pola pembangunan yang kita gunakan selama ini terbukti membuat kita rentan terancam pandemi. Kita perlu mengubah kiblat, banting setir. Kita perlu pertobatan ekologi,” kata Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup, dalam diskusi Hari Bumi ke-50, 22 April 2020, yang juga sekaligus diskusi awal buku Menjaga Rimba Terakhir ini.

Virus SARS-cov-2, yang jauh lebih kecil dari sebutir debu, ini membuat semua negara gagap. Gentar. Dunia, yang selama ini melaju bergegas tanpa kenal kata “pelan-pelan”, mendadak menginjak pedal rem sekuat tenaga, setidaknya Maret-Mei 2020. Vatikan, Mekkah, Tembok Ratapan di Israel, kuil, masjid, dan gereja kesepian tanpa umat dan peziarah. Kota-kota senyap.

Di balik pintu rumah, orang-orang mengisolasi diri. Bersama was-was, sumpah serapah, juga harapan. Banyak juga yang terpaksa berada di jalanan, menjemput risiko tertular virus, demi mengais nafkah. Kabar kecemasan meruap dari berbagai penjuru. Di layar televisi, para pejabat melontarkan komentar yang saling bertentangan.

Dokter dan perawat berjibaku dengan taruhan nyawa. Sebagian mereka membuat surat wasiat, kalau-kalau tugas ini membawa mereka menemui akhir hidup. Ribuan pasien termenung sendiri di ruang isolasi, dalam napas pendek-pendek. Kabar duka datang seperti hujan mata panah. Kematian terasa makin dekat. Jenazah dimakamkan dengan cara menyedihkan, dalam bungkus plastik yang tak boleh bocor. Pelayat tak boleh mendekat. Doa-doa didaraskan dari kejauhan.

Pandemi dan Upaya Konservasi

Bumi sedang gering.

Benarkah bumi sedang sakit? Sepertinya tidak. Lebih tepat bila disebut bahwa peradaban umat manusialah yang sedang gering. Faktanya, bumi justru sedang sedikit bernapas lega dan menyembuhkan diri. Miliaran mobil berhenti menggeram dan menyembur asap polusi. Langit biru, jalanan lengang. Kanal di Venesia menjadi jernih karena tak ada gondola melintas dan mengaduk air. Burung-burung nyaman bermain di taman kota. Emisi karbon di Cina, menurut data Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) turun 25 persen selama Januari-Maret 2020. Sebuah berkah di tengah petaka.

Anda mungkin bertanya-tanya. Apa kaitan soal pandemi covid19 (corona virus disease 2019) dengan tema buku ini, yakni perjuangan menjaga rimba terakhir. Tentu saja ada. Bahkan, hubungan keduanya sangat kuat dan makin relevan. Upaya konservasi hutan dan lingkungan, seperti yang diuraikan dalam buku Menjaga Rimba Terakhir ini, menjadi kian penting seiring begitu agresifnya daya rusak pandemi Covid-19.

Yuval Noah Harari, sejarawan, dalam bukunya berjudul Homo Deus, A Brief History of Tomorrow, menyebutkan ada tiga musuh utama yang selalu menghantui umat manusia, yakni kelaparan, perang, dan wabah. Kelaparan, syukurlah, bisa diminimalisir dengan efisiensi teknologi pangan dan perbaikan ekonomi. Konflik dan peperangan masih ada, misalnya di Suriah, Yaman, dan juga Sudan. Menghapus perang sama sekali dari muka bumi tampaknya hal yang mustahil. Namun, praktis bumi relatif lebih damai dibanding abad-abad sebelumnya.

Harari, dengan kepercayaan diri yang agak berlebihan, meramalkan bahwa bioteknologi dan algoritma yang presisi akan membuat umat manusia bisa mengatasi semua masalah. Hormon, misalnya, bisa ditiru secara persis komposisinya, lalu disuntikkan untuk memperpanjang umur manusia sampai ratusan tahun. Harari yakin, bioteknologi dan kejeniusan algoritma bakal membuat manusia bisa naik tingkat dari homo sapiens (manusia yang bijaksana) menjadi homo deus (manusia dengan sifat ketuhanan).

Betul, pengetahuan dan teknologi telah memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Namun, saat manusia merasa bisa mencapai segalanya dengan peradaban dan teknologi, alam turun tangan. Perubahan iklim, melelehnya gletser di Antartika, salju turun di musim panas di Eropa Timur, badai topan yang belakangan sering muncul di Jawa, memastikan bahwa alam raya punya banyak kejutan dan tak mudah diprediksi.

Gebrakan virus corona datang seperti cemooh. Alam bekerja tak semata-mata mengikuti algoritma. Hidup bukan sekadar urusan menerjemahkan coding rangkaian DNA di ruang hampa. Karenanya, pernyataan Harari bahwa manusia bisa naik kelas menjadi homo deus masih jauh panggang dari api, entah berapa ratus tahun lagi tercapai, atau memang tak akan pernah tercapai. Jangankan menyandang sebutan homo deus, predikat sebagai manusia bijak atau homo sapiens pun masih sangat layak dipertanyakan.

Mari kita tengok sedikit riwayat pagebluk dalam perjalanan sejarah. Pada 1330, bumi gempar karena wabah yang disebut Black Death, Kematian Hitam. Sains ketika itu belum sanggup menjawab apa yang sesungguhnya terjadi, hingga perang melawan wabah dilakukan dengan pawai-pawai keagamaan. Diperkirakan 75-200 juta nyawa manusia melayang akibat wabah ini. Di Inggris, empat puluh persen penduduk tewas. Black Death, yang menyebar lewat ekspedisi penaklukan dan kolonialisme, benar-benar mengerikan.

Setelah Black Death, beberapa wabah besar terjadi dengan episentrum di Eropa. Yang luar biasa mencekam lagi mematikan adalah pandemi flu Spanyol pada 1918, seperti ditulis sejarawan John M. Barry dalam buku berjudul The Great Influenza. Sedikitnya 50-100  juta jiwa meninggal di seluruh dunia. Garis depan penyebaran flu Spanyol, menurut penelusuran John Barry, adalah Perang Dunia I yang menuntut mobilisasi prajurit secara masif di benua Eropa dan Amerika.

Wabah bermula di kota kecil, Haskell, Kansas, Amerika Serikat di awal 1918. Beberapa kasus pneumonia aneh muncul, lebih berat dari biasanya dan mematikan. Penyakit aneh ini kemudian menyebar di kota-kota kecil di sekitar Haskell. Belasan orang meninggal. Lalu, beberapa pemuda Haskell dikirim berlatih menjadi prajurit di sebuah kamp militer di Funston.

Rupanya, beberapa di antara mereka adalah pembawa (carrier) virus influenza. Hanya dalam beberapa hari, 237 prajurit di barak Funston sakit, 38 di antaranya meninggal. Tapi, peristiwa ini tak mengubah agenda. Prajurit yang sehat, juga yang baru sembuh dari sakit, segera dikirim ke palagan perang, di Prancis. Tak ada yang sadar, para prajurit mengusung senjata mematikan dalam tubuh mereka: virus influenza.

Tak butuh lama, virus merajalela. Ratusan ribu prajurit, dari berbagai negara yang berperang, jatuh bergelimpangan. Perang jalan terus. Begitu pula kapal-kapal perdagangan pengangkut logistik dari berbagai penjuru, turut menyebarkan virus influenza. Minyak dari kawasan Timur-Tengah, gandum dan ternak dari Argentina, karet dan kayu dari Hindia Belanda. Pandemi pun menyebar ke seluruh dunia, dari Madagaskar sampai Alaska. Di Hindia Belanda, korban setidaknya 1,5 juta jiwa.

Harga Mahal Eksploitasi Alam

Seratus tahun terakhir, sejak flu Spanyol, dunia berubah drastis. Populasi dunia meningkat, gedung pencakar langit, pemukiman tumbuh masif, juga eksploitasi alam kian agresif. Deforestasi alias pembukaan hutan besar-besaran, perkebunan monokultur begitu masif, dan pertambangan agresif. Bumi dikeruk, bukit padas dipangkas, dan entah berapa miliar pohon ditumbangkan. Keseimbangan alam menjadi oleng.

Perang Dunia memang tak ada di masa covid-19. Tapi, eksploitasi alam yang berjalan ugal-ugalan berdampak di berbagai bidang. Eksploitasi yang hari-hari ini kita tebus dengan harga yang sangat mahal. Setidaknya ada tiga dampak eksploitasi alam yang terkait dengan nasib manusia dan bumi.

Pertama, mutasi virus lebih mudah terjadi dengan lebih intens. Benar, virus yang berubah sifat (mutasi) terjadi sepanjang masa. Sebuah keniscayaan alam. Namun, eksploitasi alam yang agresif membuat mutasi berjalan lebih kuat. Tidak mengherankan bahwa episentrum awal covid-19 adalah Wuhan, salah satu kota industri yang padat dan paling bergegas di Cina.

Bagaimana persisnya ketidakseimbangan alam ini memicu mutasi virus yang mengganas belum sepenuhnya terpahami. Para ilmuwan sudah membahas kemunculan emerging infectious diseases (EID) atau penyakit infeksi baru sejak dua dekade terakhir. Pada 2008, Kate Jones, ilmuwan dari Institute of Zoology, London, dan sekelompok ilmuwan dari berbagai lembaga riset di Inggris, menerbitkan paper penting berjudul Global Trend in Emerging Infectious Diseases. Makalah yang diterbitkan jurnal Nature, 21 Februari 2008, ini meneliti 335 penyakit infeksi baru  yang bermunculan di rentang 1940 sampai 2004.

Hasil riset mencatat 60,3 persen dari 335 penyakit baru itu masuk kategori zoonosis, yakni penyakit yang ditularkan melalui hewan ke manusia. Sebagian besar di antaranya, 71,8 persen, berasal dari hewan yang tinggal di alam liar. Terganggunya habitat alam liar membuat virus-virus melompat dari hewan inang ke tubuh manusia. Tim peneliti, Kate Jones dkk, menyimpulkan ada korelasi kuat antara kemunculan 335 penyakit infeksi baru dan kondisi sosial ekonomi, lingkungan, serta terganggunya keseimbangan ekologi.

Sayangnya, tak banyak daya dan dana global dikerahkan untuk mendalami kaitan olengnya keseimbangan ekologi dengan kemunculan penyakit infeksi baru. Akibatnya, ketika wabah SARS, Ebola, MERS, dan kini covid-19 datang, dunia kelabakan. “Seperti Anda semua, kami juga berjuang memahami dunia baru ini. Selama berbilang dasawarsa, kami menerbitkan hasil riset dan berita tentang penyakit infeksi baru dan potensi bencana wabah. Kini, kita benar-benar mengalaminya,” demikian tulis editorial jurnal Nature, edisi 24 Maret 2020, dua belas tahun setelah paper Kate Jones dkk tentang berbagai penyakit infeksi terbit.

Nagari Indudur, Solok, Sumbar. Tahun 1990an, hutan tandus, mata air mengering. Wali Nagari Zofra Wandi membuat terobosan, setiap keluarga dan pengantin baru wajib menanam pohon minimal 0,5 hektare. Kalau tak ada lahan, nagari akan menyediakan. Kewajiban ini dipantau, tingkat survival pohon harus di atas 50%. Jika banyak pohon mati, maka kepala keluarga dipanggil dan diberi sanksi adat secara bertahap. Sekarang Indudur subur, hutan nagari lebat, dan daerah ini jadi penghasil petai, durian, dan kemiri. (Foto: Mardiyah Chamim)

Kedua, ketimpangan sosial-ekonomi yang teramat parah. Akses penguasaan sumber daya alam terpusat pada beberapa gelintir pemodal, yang berkoalisi dengan politikus, membentuk oligarki yang kuat mencengkeram hulu sampai hilir. Desa-desa di sekitar dan di dalam hutan, indigenous people, banyak yang menjadi kantong kemiskinan. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tak jarang hanya menjadi penonton saat pohon-pohon ditumbangkan dan bumi dikeruk, dibawa untuk kemakmuran para pemilik modal. Jurang ketimpangan semakin hari semakin lebar.

Situasi ketimpangan akses sumber daya alam ini berjalin berkelindan dengan birokrasi yang ruwet, tidak efektif, dan menguntungkan sekelompok orang. Sebagai contoh, sesuai data yang dikutip Yayasan Kehati, ada 3,4 juta hektare perkebunan sawit yang ada di dalam kawasan hutan. Banyak perizinan kebun sawit yang dikeluarkan bupati yang melanggar rencana tata ruang. “Penegakan hukum juga lemah,” kata Irfan Bachtiar, seperti dikutip Mongabay dalam artikel berjudul “Menyoal Jutaan Hektar Kebun Sawit di dalam Kawasan Hutan”.

Ketiga, manusia semakin rentan menghadapi pandemi plus dampak perubahan iklim. Virus corona secara brutal telah membuka, mengekspos ketidakberesan birokrasi, kerentanan jejaring pengaman sosial, rapuhnya kedaulatan pangan, juga lemahnya sistem kesehatan masyarakat.

Seperti efek domino, deretan kartu turut jatuh bertumbangan. Masyarakat miskin, negara di dunia ketiga, merasakan dampak yang paling parah akibat pandemi covid-19. Efek lebih parah terjadi di negara-negara miskin yang mengalami double burden, covid-19 dan perubahan iklim. Di Bangladesh dan India, misalnya, topan badai melanda daerah miskin yang juga sedang berjuang menahan laju Covid-19.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Harari  dalam esai di Time, 15 Maret 2020, menyebut bahwa kita perlu kepemimpinan global untuk membangun perbatasan yang kuat. Bukan tembok harafiah perbatasan antarwilayah negara, tapi tembok tebal yang membatasi umat manusia dan virus. Kerja sama riset antarnegara, perkuat sistem kesehatan di semua negara, pertukaran informasi untuk memutus rantai penularan saat terjadi wabah, adalah syarat yang harus ada pada tembok batas itu. Solidaritas nasional, yang dibangun oleh berbagai komunitas di tingkat tapak, juga menjadi kunci utama membangun ketahanan pangan, resiliensi sosial-ekonomi, di tengah pandemi. Begitulah tembok pertahanan umat manusia melawan virus yang diusulkan Harari.

Gagasan Harari sebetulnya tidak baru. Solidaritas global sudah lama diserukan untuk mengatasi malaria, pneumonia, HIV/AIDS, SARS, Ebola, Zika, dan flu burung. Namun, seruan solidaritas global seperti selalu membentur tembok. Vaksin untuk berbagai penyakit infeksi ini tak kunjung datang. Perusahaan farmasi besar kurang berminat pada pencarian vaksin dan apa pun yang bersifat preventif. Untung besar ada pada obat kuratif yang dikonsumsi saban hari. Sampai akhirnya, pagebluk covid-19 datang. Korban berjatuhan dengan cepat. Maka, barulah berbagai pihak kelabakan berburu vaksin. Di sinilah kita perlu kepemimpinan global, yang mengorkestrasi gerakan membangun tembok kokoh pembatas manusia dan virus ini.

Salah satu hal penting dalam membangun tembok pembatas itu adalah membenahi keseimbangan ekologi. Akses penguasaan sumber daya alam yang hanya memihak pemilik modal besar harus dibongkar. Keikutsertaan masyarakat seperti dalam model perhutanan sosial harus diberi ruang lebar. Revolusi yang digerakkan virus corona harus terus didorong mencapai wujud yang lebih nyata, yakni untuk membenahi keseimbangan ekologi dan akses pengelolaan sumber daya alam.

Anak-anak adat suku Batin Sembilan di Jambi sedang belajar membaca dan menulis (Foto: Asep Ayat)

Bukankah sudah terbukti bahwa penguasaan pada segelintir investor telah membuat dampak pandemi Covid-19 terasa lebih mengerikan? Dampak yang dipicu aksi virus bertemu dengan ketidakberesan birokrasi, jurang lebar akses kesehatan-pendidikan-sosial-ekonomi, dan ketimpangan akses sumber daya alam. Tak sedikit pemikir yang menyodorkan tawaran new left economy, ekonomi kiri baru, untuk membenahi dunia yang kian timpang setelah pandemi.

Hari-hari ini adalah waktu yang tepat untuk mencari jalan baru. Jika pandemi ini dianggap sebagai portal, pemisah dunia lama dan dunia yang akan datang, lantas seperti apa wajah dunia setelah pandemi? Ratusan ribu nyawa yang melayang hanya akan sia-sia jika kita meneruskan praktik business as usual, yang eksploitatif. Sebuah jalan baru, yang lebih respek pada alam raya, harus dirintis secara sungguh-sungguh.

Pandemi ini membuktikan bahwa menjaga rimba, merawat ekosistem, keberagaman hayati, bukan sekadar bagus dimiliki (nice to have) tetapi sebuah keharusan (must have). Tanpa pembenahan keseimbangan alam, mutasi yang lebih ganas, pandemi yang lebih gawat tinggal soal waktu. Pandemi ini adalah justifikasi kuat tentang makin pentingnya konservasi hutan bersama masyarakat.

Bukan hal yang mudah mendorong konservasi dan pembenahan akses sumber daya alam. Bukan mustahil para investor segera mengejar ketertinggalan investasi dengan kembali mengeruk sumber daya alam. Salah satu indikator kuat, Rencana Undang-Undang Pertambangan, Mineral, dan Batubara disahkan DPR RI pada 12 Mei 2020. Pembahasan berlangsung tertutup dan ngebut, hanya dalam tiga bulan, di tengah fokus masyarakat menghadapi pandemi covid-19. Isi undang-undang cenderung mengakomodasi kepentingan investor, misalnya pelonggaran ketentuan perizinan dan penghapusan ketentuan pidana bagi pelanggaran perizinan.

Beruntung, masih ada harapan di tengah situasi yang serba muram. Masyarakat makin sadar pentingnya menjaga lingkungan. Pada Februari 2020, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menerbitkan pencabutan aturan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) —sebuah sistem yang diterapkan pada 2003. Pencabutan ini sama saja dengan memberi lampu hijau pada kayu ilegal. Hujan kritik datang dari berbagai penjuru. Hingga akhirnya, pada 11 Mei 2020, Menteri Agus membatalkan pencabutan SVLK. Perkembangan ini menunjukkan, tarik-ulur agenda investasi dan ekologi akan terus menajam dan kita semua perlu mengawal ketat dan terus giat mendorong agenda ekologi.

Buku ini juga bagian dari upaya mendorong agenda ekologi di tengah oligarki yang dahaganya tak pernah terpuaskan. Kisah-kisah perjuangan indigenous people menjaga hutan, juga sepak terjang KKI Warsi meniti jalan konservasi bersama masyarakat, adalah pesan penting bagi dunia. Bergandeng tangan menjaga hutan, sebuah upaya yang kini menjadi kebutuhan krusial bagi daya survival manusia.

Solusi Kita Ada di Alam

“Saya tidak ingin Anda dipenuhi harapan. Saya tidak ingin Anda bersimpati. Saya ingin Anda semua panik seperti ketika rumah kita terbakar,” kata Greta Thunberg, pelajar dan aktivis lingkungan. Greta menyampaikan pidatonya yang menggugah pada Sidang Majelis Umum PBB, New York, setahun sebelum dunia dihentakkan pandemi.

Greta, si gadis belia, memulai gerakan climate strike yang disambut jutaan orang di berbagai kota di seluruh dunia. Dia mengingatkan kita semua bahwa bumi, rumah kita satu-satunya, sedang menghadapi krisis perubahan iklim—yang tak lain adalah muara dari ketidakseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Rumah kita sedang terbakar. Jika tak segera bertindak, bumi akan luluh lantak. Pandemi covid-19 mempertegas situasi krusial ini.

Hutan adalah elemen bumi yang paling lantang berteriak minta tolong. Deforestasi melaju cepat seiring derap permukiman, ekspansi perkebunan monokultur, pertambangan, juga kebakaran. Semuanya menggerus hutan dalam laju yang semakin mengkhawatirkan. Di Amazon, Ekuador, Bolivia, Papua, Kalimantan, Sumatera, hektare demi hektare terus terlindas. Kebakaran hutan dan lahan, di Amazon, juga di Sumatera dan Kalimantan, di tengah musim panas El Nino 2019, kian memperparah laju deforestasi.

Berbagai situasi itulah yang memicu saya memberi judul buku ini Menjaga Rimba Terakhir, yang terasa makin relevan di tengah pandemi covid-19. Judul ini adalah cermin kenyataan di lapangan, mungkin sedikit hiperbolik demi memunculkan sense of urgency. Hutan kita detik demi detik tergerus dengan berbagai alasan. Tanpa upaya pemulihan yang menyeluruh, “rimba terakhir” bukan mustahil akan benar-benar musnah.

Buku ini adalah sebuah kontribusi memenuhi seruan Greta Thunberg, idola baru saya. Memadamkan api di bumi yang terbakar krisis iklim adalah juga berusaha mendorong berbagai upaya konservasi dengan berbagai model. Tak ada satu rumusan seragam, tak ada panacea atau obat mujarab untuk menjaga dan menyembuhkan hutan yang terluka. Setiap hutan punya karakter spesifik terutama karena ada faktor manusia yang hidup di sekitar dan bahkan di dalam hutan.

Bumi kian panas. Waktu tak banyak. Kita berlomba dengan krisis iklim dan daya destruksi manusia. Best practices konservasi di seluruh dunia perlu dipelajari agar upaya menjaga lingkungan bisa menjadi optimal. Jejaring antarlembaga, antarwarga dunia, antarnegara, perlu diperkuat untuk meredam krisis iklim. Solusi kita ada di alam, tema Hari Keberagaman Hayati, 22 Mei 2020, tepat bagi suasana setelah pandemi.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, yang berpusat di Jambi, adalah salah satu lembaga yang turut menyingsingkan lengan, berupaya memadamkan api di bumi kita yang sedang terbakar. Saya merasa terhormat diberi kesempatan menuliskan kisah tiga dasawarsa perjalanan konservasi yang dilakukan KKI Warsi. Pengalaman Warsi, meniti jalan konservasi hutan berbasis masyarakat, tidak hanya berguna bagi internal lembaga tetapi juga bagi publik luas.

KKI Warsi, pada 27 Desember 2021, akan genap tiga puluh tahun. Usia yang tidak lagi muda. Usia yang matang, terlebih bagi sebuah organisasi daerah yang berfokus di bidang konservasi. Boleh jadi, untuk urusan konservasi hutan berbasis masyarakat, Warsi adalah satu-satunya organisasi yang telah menapak usia tiga dasawarsa di Indonesia.

Jeda. Refleksi adalah kebutuhan. Buku ini, sedikit banyak, adalah proses mewujudkan jeda itu. Seperti halnya deretan kalimat, makna akan kabur tanpa spasi yang memisahkan deretan kata. Perjalanan tiga dasawarsa KKI Warsi juga membutuhkan spasi. Memaknai tapak yang telah dicapai dan menguatkan langkah ke depan.

Gagasan menulis buku ini muncul tiga tahun lalu. Ketika itu, saya dan Yosep Suprayogi, rekan saya di Tempo, diundang teman-teman Warsi untuk berbagi pengalaman tentang knowledge management, mengawetkan pengetahuan. Saya diundang dalam kapasitas sebagai Direktur Tempo Institute, waktu itu.

Gagasan terus bergulir. Berbagai diskusi bolak-balik dilakukan, terutama tentang konsep buku, metode penggalian bahan, dan berbagai macam urusan teknis. Syukurlah, akhirnya gagasan ini benar-benar bisa diwujudkan.

Yohana Marpaung, fasilitator pendidikan KKI Warsi, bersama anak-anak rimba Sungai Terab, di tepian Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Anak-anak rimba belajar membaca, menulis, dan berhitung. (Foto: Rahmat Hidayat)

Proses penggalian bahan buku ini cukup bervariasi. Tahap pertama adalah penggalian pustaka. Di zaman Internet ini, puluhan dokumen masa lalu, di era 1980-an sampai 2000-an, dengan mudah bisa diakses. Sebuah laporan di tahun 1994, misalnya, yang menjadi awal bergulirnya rangkaian program di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) juga membantu menghadirkan konteks politik-ekonomi sosial-budaya Indonesia saat itu. Saya juga membongkar berbagai artikel di Kompas dan Tempo. Beruntung, Warsi banyak menjadi bahan berita sejak awal terbentuknya, sehingga referensi di majalah dan koran juga lumayan melimpah.

Tahap berikutnya adalah ekspedisi menyusuri lokasi konservasi yang didampingi Tim Warsi. Dalam tempo 22 hari, ditemani Tim Warsi, yakni Sukmareni Rizal, Rahmat Hidayat, Nabhan Aiqoni, Arda, dan Fadli, kami berkeliling bertemu warga desa dan staf Warsi di lapangan, di Jambi dan Sumatera Barat. Dalam ekspedisi ini, saya juga melihat langsung bagaimana situasi desa dan nagari yang didampingi Warsi mewujudkan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Perjalanan 22 hari itu kemudian diikuti dengan serial diskusi dengan berbagai kalangan, juga trip tambahan ke desa-desa di Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi.

Saya juga bertemu founding fathers Warsi, meski hanya sebagian, di sepanjang perjalanan. Saya melengkapi ekspedisi ini dengan mewawancarai beberapa tokoh Warsi di Jakarta. Tentu saja, mustahil bagi saya untuk menemui semua tokoh Warsi, juga sama mustahilnya bagi saya untuk mengunjungi seluruh rombong Orang Rimba, serta semua desa dan nagari yang didampingi Warsi. Untuk keterbatasan dan kekurangan itu, saya mohon maaf sedalam-dalamnya.

Kepada para narasumber, yang total mencapai 350 orang, saya bertanya tiga hal utama. Pertama, apa yang mereka kenang dari perjalanan menjaga hutan. Kedua, sudah sampai di mana posisi perjuangan itu saat ini. Pertanyaan ketiga, apa mimpi mereka ke depan?

Tiga pertanyaan utama ini adalah cara saya mengajak semua narasumber berefleksi; apa yang terjadi dulu kala, ada di mana kita saat ini, dan hendak ke mana langkah menuju. Tiga pertanyaan yang sepertinya mudah, tapi sering mendatangkan reaksi tak terduga. Mata yang berkaca-kaca, senyuman lebar, dan juga decak heran campur kagum, “Ajaib. Kok bisa, ya, dulu kita begitu.” Saya pun banyak senyum sendiri, tertawa, juga merinding terharu saat menulis buku ini, terutama pada Bagian II tentang “Orang Rimba yang Kehilangan Rimba”.

Pulang dari ekspedisi, saya membongkar puluhan buku dan berkas laporan para pendamping KKI Warsi, yang sebagian besar adalah catatan sangat terperinci khas antropolog. Laporan yang dibuat dengan observasi teliti dan pikiran yang terbuka. Puluhan laporan inilah yang memperkaya buku ini. Tak mungkin saya menuliskan buku ini dengan baik bila hanya berbekal beberapa kali trip di lapangan.

Sejak pertama kali Warsi dideklarasikan, lembaga ini telah mendampingi warga di 47 nagari, 70 desa, dan 11 kampung, di tujuh provinsi, yakni Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Papua Barat. Di Sumatera, Warsi mendampingi masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan TNKS, Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).

Dalam konteks pengelolaan hutan berbasis masyarakat, catatan KKI Warsi pun cukup membanggakan. Ada 168.439 hektare perhutanan sosial yang telah dilahirkan masyarakat yang didampingi Warsi, terdiri dari 3.004 hektare hutan adat (dalam 39 Surat Keputusan/SK), 144 hektare kemitraan kehutanan (1 SK), 160.187 hektare hutan desa (74 SK), 466 ha hutan tanaman rakyat (6 SK), dan 4.668 hektare hutan kemasyarakatan (36 SK). Sebuah prestasi yang layak mendapat acungan jempol.

Berbagai penghargaan juga singgah di desa-desa yang didampingi Warsi. Rantau Kermas, Kabupaten Merangin, Jambi, mendapat anugerah Kalpataru 2019, untuk kategori penyelamat lingkungan. Sebelumnya, Lubuk Beringin, Batu Kerbau, dan Guguk meraih penghargaan serupa.

KKI Warsi juga mencatat sejarah mengesankan, yakni menempatkan Orang Rimba, suku asli yang tinggal di pedalaman hutan Jambi, dalam perbincangan nasional dan internasional. Sebelum 1996, sebelum kedatangan Tim Warsi, Orang Rimba tak pernah jadi perbincangan. Keberadaannya tak pernah menjadi faktor yang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan, lokal, apalagi nasional.

Berangsur-angsur, bergandeng tangan bersama KKI Warsi, Orang Rimba leluasa hidup di Taman Nasional Bukit Duabelas. Tentu belum ideal sepenuhnya, karena masih banyak yang terlunta-lunta di hutan yang telah berubah menjadi perkebunan sawit dan ruas jalan Trans-Sumatera. Kini, sedikitnya ada 910 Orang Rimba yang menikmati pendidikan. Di tingkat SD ada 315 orang, SMP ada 20 orang, SMA ada 8 orang, dan satu di Universitas Jambi. Bahkan, ada dua orang Suku Orang Rimba yang menjadi tentara, yakni Budi Hartono dan Supri.

Tentu, perjalanan tiga dasawarsa tidak dicapai dengan mulus semata tanpa gejolak. Jatuh bangun, memar, berdarah mewarnai perjalanan KKI Warsi. Di tahun awal berdiri, Warsi pernah mengalami mismanajemen yang berbuah kurangnya kepercayaan donor. Kondisi ini  diperbaiki terus-menerus. Hasilnya, kini Warsi telah memenuhi standar auditor internasional. Saat ini Warsi telah memiliki sistem intranet yang menghubungkan semua staf secara online. Proposal, laporan periodik, pertanggungjawaban keuangan bisa diakses melalui intranet dan tak membutuhkan harus tatap muka secara langsung.

Buku ini terbagi dalam tiga bagian besar. Bagian pertama, adalah periode 1980-1990an awal, adalah situasi global dan nasional yang mendorong terbentuknya Warsi. Deforestasi, obral hak pengusahaan hutan (HPH), illegal logging, transmigrasi massal, menciptakan ketegangan di berbagai lini masyarakat. Anak-anak muda di Sumatera merapatkan barisan dan membentuk Warsi.

Bagian kedua, tentang perjumpaan dengan Orang Rimba dan bagaimana Tim Warsi mendampingi masyarakat asli Jambi ini menghadapi berbagai persoalan yang mendera rimba Bukit Duabelas. Bagian ketiga adalah tentang praktik pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) yang dilakukan Warsi bersama masyarakat di berbagai desa di Jambi dan nagari dan di Sumatera Barat.

Setelah melalui proses penulisan buku, tak bisa tidak, saya terkesan dan menghaturkan tabik pada Warsi. Dedikasi, kesungguhan, dan kontinuitas program yang mereka jalankan luar biasa. Kerja-kerja yang jauh dari lampu sorot media. Proses pendampingan, live in, bertahun-tahun di hutan, di desa, adalah sebuah kesetiaan meniti jalan konservasi bersama masyarakat yang layak diapresiasi. Pendekatan yang dilakukan Warsi ini menjelaskan mengapa kebijakan pemerintah lebih sering terasa jauh panggang dari api. Pemerintah, dengan segala keruwetan rantai birokrasinya, tak cukup luwes dan telaten menangkap dinamika di lapangan.

Tantangan yang dihadapi di lapangan memang luar biasa. Staf Warsi pernah disandera warga, lima jam situasi menegangkan, yang tak terima usaha penebangan kayunya diganggu. Dihadang parang oleh warga yang marah pun pernah. Tercatat pula dua staf Warsi meninggal dalam tugas, yakni almarhum Yusak Adrian Hutapea dan Priyo Uji Sukmawan —dua fasilitator yang sangat berdedikasi pada masyarakat yang didampingi. Berbagai rintangan, perjalanan mendaki dan menurun berliku, syukurlah, tak melemahkan komitmen dan konsistensi Warsi.

Masyarakat adat suku Batin Sembilan sedang mengambil rotan di Hutan Harapan Jambi (Foto: Asep Ayat)

Hampir semua staf lapangan Warsi pun sudah pernah “menikmati” penyakit endemik di hutan Sumatera, yakni malaria. “Dirawat di rumah sakit gara-gara malaria itu cerita biasa bagi kami,” kata Firdaus Djamal, yang pernah menjabat Direktur WARSI pada periode awal. Rudi Syaf, salah satu pendiri Warsi, bercerita pernah berbulan-bulan malaria membuatnya berhalusinasi. “Saya setiap malam mengigau, gemetar kedinginan sampai harus berselimut tebal. Tiap kali menggigil, istri saya menyediakan sendok untuk saya gigit, supaya lidah aman tidak tergigit,” kata Rudi.

Kini, staf Warsi berjumlah 107 orang. Mereka bekerja tersebar di empat provinsi, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Kalimantan Utara.

Satu hal penting yang saya catat, pendekatan Warsi yang bersifat antropologis, yakni memahami masyarakat, budaya, dan alamnya, cukup ampuh. Pendekatan ini menuntut kerja keras, pendampingan secara live in sambil terus bersama masyarakat memetakan persoalan dan mencari jalan keluar. Proses pendampingan inilah yang membuat program konservasi berjalan efektif. Tentu tak semuanya cerita sukses, ada juga kisah yang berakhir pilu saat masyarakat akhirnya tergoda ekspansi perkebunan sawit. Ya, mau bagaimana lagi. Pada akhirnya yang memegang kata “akhir” adalah masyarakat itu sendiri.

Warsi menempatkan diri sebagai fasilitator proses konservasi. Fungsi fasilitator, atau katalis dalam ilmu kimia, tidak memaksakan masyarakat harus menerima. Para fasilitator bekerja seperti yang diajarkan oleh Lao Tzu, filsuf Cina di abad ke-6 SM, yang sering dikutip para penggerak dan aktivis pemberdayaan masyarakat:

“Datangi mereka, tinggallah bersama mereka,
dan mulailah dari apa yang mereka punya.

Buatlah rencana lalu bangunlah rencana itu,
dari apa yang mereka punya dan ketahui.

Sampai akhirnya, ketika pekerjaan itu usai,
mereka akan berkata: kamilah yang mengerjakannya.”

Perjalanan Warsi dengan Orang Rimba, dengan masyarakat adat di Jambi dan Bengkulu, di Sumatera Barat, dengan masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Suku Punan di Kalimantan Utara, dan beberapa suku di Papua menguatkan perkataan Noam Chomsky: “We are facing potential environmental catastrophe and not in the distant future. All over the world, it’s the indigenous communities trying to hold us back: first nations in Canada, indigenous people in Bolivia, aborigines in Australia, tribal people in India. It’s phenomenal all over the world that those who we call ‘primitive’ are trying to save those of us who we call ‘enlightened’ from total disaster.” Dunia sedang menghadapi kehancuran lingkungan dan itu tidak dalam waktu yang lama. Satu-satunya komunitas yang melindungi umat manusia dari kehancuran itu adalah masyarakat adat di seluruh dunia.

Begitu penting peran masyarakat adat, indigenous people, dalam menjaga rimba dan keseimbangan ekologi. Masyarakat adat berhak hidup sejahtera saat meniti jalan menjaga keseimbangan alam, yang sering tak mudah. Namun, sayangnya, Rancangan UU Masyarakat Adat terus terkatung-katung. Sejak pertama kali dibahas dan masuk Senayan pada 2013, RUU Masyarakat Adat ini belum juga disahkan hingga kini. Situasi yang kontras dengan perjalanan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara yang masuk jalur cepat.

Pada akhirnya, kami sadar sepenuhnya bahwa buku ini tak mungkin mewakili seluruh titik perjalanan tiga dasawarsa Warsi, apalagi mewakili kompleksnya dunia konservasi di Indonesia. Untuk segala kekurangan dan keterbatasan itu, kami mohon maaf sembari berharap mudah-mudahan ada kesempatan membuat serial buku berikutnya. Karena Warsi adalah laboratorium dan sekolah bersama, sekolah tentang hutan, sekolah tentang hidup bersama masyarakat, yang ilmunya perlu didokumentasikan dengan baik.

Buku ini kami niatkan bukan hanya buat internal Warsi, tapi kepada khalayak luas. Hutan kita terlalu berharga jika hanya dipercayakan pada pemerintah, juga terlalu besar untuk hanya diserahkan pada beberapa LSM. Masyarakat adat, indigenous people, pun butuh keterlibatan kita semua untuk turut serta menjaga rimba. Konservasi adalah kerja besar kita semua, terlebih saat kita menghadapi tantangan yang semakin kompleks di tengah resesi ekonomi setelah pandemi.

Buku ini akan mengajak Anda bertamasya, menjumpai para Uda Ab Zulsafri, Uni El, Anduang Kartini, Tumenggung Tarib, Induk Hatijah, Menti Ngelambo, Tungganai Baseman, Gentar, Ejam, Pak Bakian, Pak Abu Sahar, Pak Buchtiar, dan banyak lagi sosok yang menjaga hutan sepenuh jiwa. Ada banyak harapan tersimpan dan bertunas di lebat daun, di tegakan pohon, di jernih mata air, juga di semilir angin segar.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Wartawan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain