Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 31 Juli 2020

Kembalinya Satwa Endemik Indonesia

Pemerintah Filipina mengembalikan 91 satwa endemik Indonesia yang disita dari hasil selundupan perdagangan liar. Repatriasi satwa membutuhkan proses panjang.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasioa Ridho Sani saat menerima satwa endemik Indonesia dari Filiipina di Bitung, Sulawesi Utara, 30 Juli 2020 (Foto: KLHK)

TAK mudah mengembalikan barang yang hilang, kata sebuah pepatah. Maka menjaganya lebih baik dibanding mencarinya.

Pemerintah Indonesia butuh lebih dari satu tahun mengembalikan satwa endemik selundupan dari Filipina. Baru pada 30 Juli 2020, sebanyak 91 hewan yang diselundupkan ke negara itu bisa dikembalikan melalui Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara.

Konstruksi Kayu

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani yang menerima satwa-satwa tersebut. Ia didampingi Wali Kota Bitung Maximiliaan J. Lomban dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara Noel Layuk Allo.

Informasi hewan selundupan dari Indonesia datang ke Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Indra Exploitasia dari Management Authority (MA) CITES Indonesia bahwa MA CITES Filipina menyita satwa berupa reptil, mamalia, dan burung pada 8 April 2019. Komunikasi kedua pihak berlangsung intens hingga muncul kesepakatan untuk mengembalikannya ke Indonesia.

Repatriasi satwa ini merupakan tindak lanjut putusan pengadilan Matic City pada tanggal 14 Oktober 2019. Hakim memerintahkan pemerintah Filipina mengembalikan 134 satwa yang diselundupkan dari perdagangan ilegal yang masih hidup kepada pemerintah Indonesia.

Sayangnya tidak semua satwa berhasil dikembalikan ke Indonesia. Mereka sakit atau mati ketika proses pengembalian. Tingkat kematian tinggi terutama pada jenis-jenis burung.

Menurut Sani, dalam keterangan tertulis, repatriasi satwa kali ini merupakan pengembalian satwa selundupan dalam jumlah terbesar. Dalam catatan Sani, beberapa tahun terakhir lebih dari 300 kasus kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa berhasil ditindak KLHK. Ia mengakui tak mudah dalam proses pengembalian tersebut.

“Kejahatan perdagangan satwa ilegal ini merupakan kejahatan transnasional melibatkan aktor lintas negara," kata dia. "Untuk itu berbagai kerja sama Internasional kita lakukan, termasuk terkait dengan pemulangan satwa ini."

Keberhasilan repatriasi ini atas kerja sama banyak pihak seperti Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan di Jenewa, Manila, Davao, serta Direktorat Asia Tenggara, Kementerian Keuangan, Badan Karantina Hewan dan Direktorat Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Pemerintah Kota Bitung, dan Yayasan Masarang (PPS Tasikoki).

Satwa endemik hasil repatriasi ini berasal dari wilayah timur Indonesia, antara lain walabi, kasuari, dan julang Papua. Usai tiba di tanah air, satwa-satwa tersebut akan diobservasi di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki di Bitung, sebelum dilepasliarkan kembali ke alam.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain