BEBERAPA negara atau negara bagian, provinsi, sejumlah organisasi, yayasan, dan gerakan keagamaan, memakai pohon atau bagian-bagiannya menjadi identitas yang disimbolkan dalam bendera. Kanada, Libya, Swedia, Lebanon, memakai daun, ranting, bahkan pohon utuh dalam bendera mereka. Palem, oak, pinus adalah pohon yang paling banyak dijadikan simbol negara.
Di Kanada, pohon mapel menjadi bagian penting kebudayaan dan keseharian. Daun merahnya menjadi bendera negara ini sejak 1965. Lambang ini terpilih menjadi bendera Kanada dalam sebuah sayembara setahun sebelumnya sebagai bagian dari sejarah Kanada ketika mendirikan pemerintahan baru. Gambar daun mapel merah dengan dasar putih dan diapit dua garis vertikal merah itu yang terpilih menjadi simbol Kanada.
Jauh sebelum tahun 1965, daun mapel telah dipakai orang Kanada sebagai simbol identitas mereka, baik dalam literatur budaya, buku, maupun dicetak pada koin. Selembar daun mapel akan diukirkan di nisan para prajurit yang gugur di medan perang. Bagi orang Kanada, daun mapel menjadi simbol kebanggaan, keberanian, dan kesetiaan. Hingga pada 1996, Kanada menetapkan mapel sebagai pohon nasional.
Pohon nasional itu berjenis Sugar Maple, yang terkenal sebagai spesies penghasil sirop yang menjadi campuran pelbagai makanan untuk menambah cita rasa yang wajib ada bagi orang Kanada. Di era modern sekarang, Kanada memakai mapel sebagai alat pemerintah Kanada mempromosikan posisi mereka sebagai pengelola hutan yang berkelanjutan.
Sewaktu sekolah di Austria, kami akan segera tahu presentasi mahasiswa dari Kanada tanpa melihat judulnya karena mereka dari negara itu meletakan daun mapel di slide mereka. Saya tak bisa melakukan itu. Mahasiswa lain baru tahu saya dari Indonesia setelah membaca judul presentasi yang menyelipkan kata “Indonesia”. Tak ada pohon atau daun yang khas yang segera terasosiasi dengan simbol negara Indonesia.
Saya merasa tertampar ketika itu terjadi. Kanada yang alamnya tak sekaya Indonesia bisa menentukan simbol negara mereka dengan pohon, dengan sesuatu yang menjadi bagian dari alam. Sementara Indonesia yang tropis dengan beragam jenis flora dan fauna tak punya satwa atau pohon yang menjadi identitas nasional.
Lambang negara kita burung Garuda. Apakah kita pernah bertemu dengan burung ini? Para pendiri bangsa Indonesia juga menempatkan pohon beringin sebagai simbol dalam sila ketiga. Apakah dengan begitu, beringin menjadi pohon nasional kita? Sejak 1950, India sudah menetapkan pohon beringin sebagai pohon nasional mereka karena latar belakang religiositas dan keagamaan.
Dalam Google Indonesia, pencarian dengan kata kunci “pohon nasional Indonesia” tak membuahkan hasil yang memuaskan. Pencarian dalam Bahasa Inggris memunculkan hasil bahwa pohon nasional Indonesia adalah “pohon jati”, tapi informasinya tidak memiliki sumber data pendukung yang tervalidasi. Setelah mencari literatur ke sana-sini, pemerintah Indonesia memang belum secara resmi menentukan pohon mana yang menjadi pohon nasional kita.
Penelitian untuk disertasi saya berkaitan dengan pohon jati. Jadi, saya acap memasang foto-foto yang menggambarkan foto jati dengan harapan orang lain penasaran sehingga memberi kesempatan saya bisa menjelaskan lebih jauh. Ketika saya menempelkan foto seorang nenek tanpa alas kaki sedang membawa daun jati di hutan Blora, teman-teman saya dari negara lain menanyakannya.
Dari sekian banyak kekayaan pohon Indonesia, saya pikir pohon jati layak dipertimbangkan sebagai salah satu pohon nasional Indonesia, setidaknya karena ia memiliki beberapa aspek penting secara ekonomi, ekologi, historis, sosio-kultural, dan kekuatan simbolismenya.
Secara fisik, menurut Global Teak Study (2017), Indonesia merupakan negara kedua dengan tutupan hutan jati terluas di dunia setelah India, yang secara moderat diperkirakan seluas 1,4 juta hektare. Dan kabar baiknya, India yang menjadi negara pertama dengan hutan jati terluas, tidak memakainya sebagai pohon nasional.
Indonesia memang bukan habitat alami bagi pohon jati, seperti di India, Myanmar, Laos dan Thailand. Pohon jati diperkenalkan dan naturalisasikan di pulau Jawa melalui proses berabad-abad.
Pengelolaan hutan jati di Indonesia memiliki sejarah panjang sejak zaman kolonial Belanda, sejak 1596 yang awalnya untuk kebutuhan membuat kapal perang. Sebelum itu, secara de jure hutan jati berada di bawah kekuasaan kesultanan, walaupun de facto warga desa bisa mengaksesnya karena terbatasnya kontrol otoritas kerajaan di lapangan.
Dengan rentang historis yang demikian panjang, dinamika politis, sosial dan ekonomi pengelolaan hutan jati, menjadi ladang subur berbagai penelitian dan studi sejak zaman dahulu. Buku Rich Forest Poor People yang ditulis Nancy Peluso mengupas secara detail sejarah dan dinamika pengelolaan hutan jati di Indonesia, dan sering menjadi acuan bagi berbagai studi terkait hutan jati sampai saat ini yang sangat layak dibaca.
Nilai penting secara ekonomi pohon jati terkait pemanfaatannya untuk kayu, pangan, energi dari kayu dan hasil hutan non kayu. Pohon jati telah menopang hidup masyarakat di sekitarnya, yang tidak memiliki banyak pilihan untuk penghidupannya, yaitu melalui pengumpulan hasil hutan bukan kayu maupun ikut terlibat dalam kegiatan perhutanan sosial dalam wilayah yang dikelola Perum Perhutani.
Terkait kepentingan pelestarian sumber daya genetik, FAO (2014) dalam State of the World’s Forest Genetic Resources menyebutkan bahwa pohon jati menempati ranking teratas pada lebih dari 20 negara sebagai pohon yang diprioritaskan untuk konservasi sumber daya genetik.
Sebagai simbol, karakter properti kayu jati yang dominan dan menjadikannya punya reputasi tinggi di dunia perkayuan global—seperti densitas kayu yang tinggi, ketahanan, stabilitas dan nilai dekoratif yang bagus—saya pikir layak dipakai sebagai analogi untuk nilai-nilai karakter bangsa Indonesia yang solid, kuat, kokoh. Jati yang bisa hidup di tanah berkapur dengan perawatan minim menunjukkan karakter yang liat dalam medan yang menantang.
Di Randublatung, Jawa Tengah, koneksi antara manusia dan pohon jati begitu kental. Mata kita akan langsung bersirobok dengan hamparan pohon jati begitu memasuki kota kecil ini. Kehidupan masyarakat juga lekat dengan unsur-unsur pohon jati. Kuatnya “intensitas” masyarakat dengan jati di Jepara terdokumentasikan cukup lengkap dalam Pelangi di Tanah Kartini, sebuah publikasi CIFOR tahun 2012. Diceritakan di buku itu mengukir jati seperti menjadi panggilan jiwa dan tradisi serta media untuk eksistensi dan pemberdayaan perempuan.
Masalahnya, menempatkan jati sebagai pohon nasional akan mudah dituduh sebagai “bias Jawa”. Sebab daerah lain dan pulau lain juga punya pohon yang khas sendiri-sendiri. Kalimantan, misalnya, punya kayu ulin. Papua punya merbau. Di Sulawesi ada pohon biti (Vitex cofassus) yang berabad-abad dijadikan bahan baku rangka kapal Pinisi. Memakai satu pohon untuk simbol persatuan dalam keragaman akan mengecilkan makna persatuan itu sendiri.
Pertanyaan lain, jika akan menjadi pohon nasional, bagian apa yang akan dipakai sebagai simbol? Dengan keragaman pohon, keragaman penduduk, bahasa, budaya yang kaya akan simbol-simbol di dalamnya, menentukan identitas dan lambang nasional tak akan mudah.
Merah-putih sebagai bendera nasional telah melekat ke dalam sanubari tiap orang Indonesia, berikut sejarah perjuangan yang melahirkannya. Kita hanya perlu menularkan nilai-nilai di belakangnya sebagai kebanggaan dan identitas nasional.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :