Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 06 Agustus 2020

Wanamina untuk Konservasi Pantai dan Perbaikan Ekonomi

Wanamina atau silvofishery yang memadukan konservasi tanaman laut dan perikanan bisa menjadi model rehabilitasi ekosistem mangrove. Konservasi sekaligus menghidupkan ekonomi masyarakat pesisir.

Wanamina di hutan kemasyarakat (HKm) Gempa 01 Bangka Belitung. (Dok. HKm Gempa 01)

LUAS hutan mangrove Indonesia pada 2019 mencapai 3,31 juta hektare. Menurut Peta Mangrove Nasional sebanyak 81% hutan mangrove terpelihara dengan baik. Sementara 19% dalam keadaan kritis dan perlu segera direhabilitasi.

Ekosistem mangrove berada di muara sungai hingga tepi laut. Perannya penting sebagai peredam angin dan gelombang laut, serta pelindung abrasi di pantai. Masalahnya, mangrove terancam justru oleh ulah manusia dalam mencukupi kebutuhan hidup.

Tambak udang kini jadi pemicu utama konversi lahan mangrove. Investasi tambak udang untuk mendongkrak nilai ekonomi laut berupa ekspor perikanan membuat mangrove diubah menjadi tambak udang raksasa.

Cara "investor driven" ini memang menghidupkan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Namun, cara seperti ini membuat tragedy of enclosure atau penguasaan sumber daya oleh industri dan pemerintah yang membuat akses masyarakat lokal terhadap sumber daya yang sama menjadi terputus.

Alih-alih menghidupkan ekonomi, biaya eksternalitas dari investasi yang tak mengindahkan lingkungan akan semakin tinggi. Pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan lapangan kerja dan nilai ekspor akan menuntut biaya tak sedikit dalam perbaikan lingkungan yang rusak.

Dalam pembangunan ekonomi hijau, kini sudah ada cara yang sementara menjadi jalan tengah investasi dan memberi keleluasaan masyarakat berperan dengan peluang yang sama dalam akses kepada sumber daya alam. Di beberapa tempat, investasi besar hanya diizinkan mengeksploitasi sumber laut dalam yang secara alamiah tak terjangkau oleh teknologi tradisional masyarakat umum.

Sementara di pesisir, masyarakat menjadi aktor utama dalam pemberdayaan ekosistem pantai. Salah satunya melalui praktik wanamina atau silvofishery. Wana (hutan), mina (bahari), adalah memadukan sistem pengelolaan laut dan hutan memakai teknologi tradisional dan kearifan lokal.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mensinyalir model ini tidak mengancam ekologi mangrove sebab tidak perlu mengonversi hutan mangrove, justru melindunginya untuk tumbuh-kembang biota laut untuk keperluan ekonomi.

“Hutan mangrove ekosistemnya menjadi kaya, karena ada berbagai jenis ikan, burung, kerang, dan kepiting yang menghasilkan nilai ekonomi tinggi,” kata Tenaga Ahli Menteri Bidang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Yuliarto Joko Putranto dalam rilis pada 4 Agustus 2020.

Dengan cara itu, wanamina akan sejalan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pemulihan ekosistem mangrove. Seperti wanamina yang dikembangkan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Gempa 01 di Desa Kurau Barat, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Gempa kependekan dari Generasi Muda Pencinta Alam.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki mangrove seluas 80.758 hektare. Pengembangan wanamina di provinsi ini berada di bawah tanggung jawab Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Baturusa Cerucuk.

Kepala BPDASHL Baturusa Cerucuk Tekstianto mengatakan sepanjang 2020 kantornya mendapatkan alokasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) mangrove seluas 75 hektare, yang tersebar di dua pulau yaitu Pulau Bangka seluas 65 hektare dan Pulau Belitung 10 hektare.

Bbit mangrove untuk rehabilitasi ekosustem pantai. (Dok. HKm Gempa 01 Bangka Belitung)

Yasir, Ketua HKm Gempa 01, mengatakan manfaat ekonomi wanamina telah dirasakan oleh nelayan tradisional. “Dulu mereka mendapat tangkapan kepiting 1-5 ekor per hari dengan hasil maksimal 1 kilogram per hari,” katanya. “Setelah rehabilitasi lahan mangrove, tiap nelayan menghasilkan kepiting 1-5 kilogram per hari.”

Menurut Yasir kegiatan utama HKm Gempa 01 adalah konservasi, rehabilitasi, dan jasa lingkungan sejak 2015. Dua tahun kemudian, kawasan muara yang berhasil direhabilitasi seluas 20 hektare, meningkat dua kali lipat pada tahun ketiga.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain