MENCINTAI mahluk hidup adalah dengan menyediakan rumah perlindungan untuk mereka. Rumah untuk satwa dan tumbuhan adalah alam liar. Maka yang perlu kita lakukan adalah menjaga rumah itu agar menjadi habitat yang terlindungi agar hidup mereka tak terancam.
Pesan para konservasionis ini agaknya belum terlalu dipahami oleh banyak orang. Banyak di antara kita yang berpikir bahwa melindungi hewan liar dengan menyediakan kandang di habitat manusia.
Seperti dua orangutan dewasa yang dievakuasi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah dan BKSDA Kalimantan Barat serta Yayasan IAR Indonesia—lembaga konservasi satwa di Kalimantan yang sudah berkiprah 10 tahun—pada 6 Agustus 2020. Dua individu orang utan (Pongo pygmaeus ) jantan diambil dari sebuah lembaga konservasi ilegal di objek wisata Jurang Kencono, Kendal, dan dari rumah penduduk.
Para petugas telah memantau keberadaan orangutan yang diperkirakan berusia 20 tahun itu sejak Oktober 2019. Menurut Kepala BKSDA Jawa Tengah Darmanto, dalam keterangan tertulis, kedua orangutan itu bernama Samson dari Kendal dan Boboy dari Semarang.
Setelah diambil dari dua lokasi itu, selama 26-31 Juli 2020, kedua satwa endemik Kalimantan itu dikarantina di Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang. Karantina untuk memastikan keduanya tidak membawa penyakit rabies dan TBC.
Temia, dokter hewan dari Yayasan IAR Indonesia, yang memeriksa kesehatannya mengatakan bahwa kedua orangutan itu terindikasi mengalami malnutirisi sehingga pertumbuhan keduanya terganggu.
“Kondisi keduanya memprihatinkan karena selama ini mereka terkurung di dalam kandang sempit dan tidak memenuhi syarat,” kata Temia. “Aspek kesejahteraan mereka juga tidak terpenuhi.”
Kedua orangutan itu dievakuasi pada 6 Agustus 2020 menuju Pusat Penyelamatan IAR Indonesia di Sei Awan Kiri, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka diangkut memakai kapal dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Di Sei keduanya harus kembali menjalani karantina selama dua bulan untuk mendapatkan penanganan medis, observasi, serta perawatan rehabilitasi.
Dengan temuan ini, menurut Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat Sadtata Noor Adirahmanta kampanye terhadap konservasi hewan perlu dibuat lebih menarik agar masyarakat paham keberadaan hewan, cara melindungi mereka, dan fungsi mereka terhadap hidup manusia.
Direktur Program IAR Indonesia Karmele L. Shanchez mengamininya. “Kami berharap, masyarakat turut berperan dan berpartisipasi dalam menjaga kelestarian orangutan dan habitatnya,” kata dia. “Indonesia harus bangga menjadi satu-satunya negara yang memiliki tiga spesies orangutan.”
Tiga spesies orangutan itu adalah orangutan Kalimantan, orangutan Sumatera (Pongo abelii), dan orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang baru diidentifikasi tahun 2007. Orangutan Tapanuli menghuni ekosistem hutan Batangtoru di Sumatera Utara. Para ahli menilai morfologi keduanya berbeda dengan kedua jenis orangutan yang lebih dulu ditemukan.
Ketiga jenis orangutan Indonesia itu kini berstatus terancam punah. Konversi lahan untuk perkebunan, pertanian, dan penyediaan energi membuat keberadaannya terancam. Juga perburuan dan kurangnya pemahaman pada konservasi hewan liar di Indonesia.
Meski tak ada data pasti, orangutan di Kalimantan kini diperkirakan 55.000 individu. Mereka hidup di dataran di atas ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Sementara orangutan Sumatera yang hidup di bagian utara tinggal beberapa ratus ekor. Orangutan Tapanuli diperkirakan berjumlah 700 individu.
Di alam bebas, predator utama orangutan adalah macan tutul dan ular piton. Tapi posisi mereka kini tergantikan oleh manusia, yang memburu dan membabat hutan lalu mengubahnya menjadi kebun. Setelah kebun jadi, mereka juga berkonflik dengan manusia yang menganggap orangutan sebagai hama.
Manusia memerlukan orangutan karena mereka menambah sumber keragaman hayati di hutan tropis Indonesia yang kaya. Sebagai pemakan buah, musnahnya orangutan akan mengganggu keseimbangan ekosistem sebuah hutan. Buah yang melimpah karena tak ada yang memakannya akan mencederai pertumbuhan hutan dengan tajuk yang beragam.
Menurut Karmele, satwa liar seperti orangutan seharusnya hidup di alam bebas, bukan dikurung sebagai hewan peliharaan. Apalagi diburu untuk hiburan dan makanan. Orangutan yang secara alamiah hidup di alam liar tapi sejak lahir dikurung, akan membutuhkan waktu panjang untuk penyesuaiannya ketika dilepas kembali ke alam. “Mereka tidak pernah belajar hidup di alam bebas,” katanya.
Foto: Ilustrasi pelepasliaran orangutan di Kalimantan Tengah.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :