ORANG Indonesia terkenal berhati-hati soal kehalalan makanan. Jangankan makanan, vaksin atau obat yang diduga mengandung babi bisa ramai dibahas di media sosial dan grup WhatsApp. Apalagi kalau dibumbui masalah politik, pembahasan bisa melebar ke mana-mana.
Tentu saja sikap kehati-hatian ini baik, karena setidaknya ada empat ayat yang berbicara tentang keharaman babi dan makanan lainnya.
Masalahnya, kita terlalu fokus pada keharaman babi dan cenderung mengabaikan hal lainnya. Dalam Islam, kehalalan bukan hanya dilihat dari kandungan bendanya (li dzatihi) tapi juga dari cara mendapatkannya (li ghairihi). Daging sapi yang halal bisa menjadi haram kalau didapatnya dengan korupsi. Tapi, soal korupsi biasanya tidak terlalu kita persoalkan. Bahkan kita cenderung mengabaikannya.
Saat bicara soal makanan, Al-Quran kerap menggandengkan kehalalan dengan kebaikan (thayyiba). Keduanya kerap disandingkan karena Allah SWT menganggap keduanya sama penting. Tapi, seberapa banyak yang peduli soal kebaikan makanan? Tidak banyak yang peduli daging domba, misalnya, yang punya kandungan kolesterol sangat tinggi dan tentu saja tidak baik (ghair thayyib) untuk orang yang punya masalah kesehatan.
Kebaikan makanan diukur dari tiga hal.
Pertama, dari sisi pemakannya. Apakah makanan yang kita makan baik untuk kesehatan kita?
Kedua, dari kebaikan hewan atau tumbuhan yang dimakan. Misalnya, apakah kita sudah menyembelihnya dengan baik dan tidak menyiksa?
Ketiga, adalah kebaikan untuk makhluk lainnya. Misalnya, berapa banyak di antara kita yang mempermasalahkan peternakan sapi yang menghasilkan gas buang yang demikian tinggi hingga membuat pemanasan global? Siapa juga yang peduli soal peternakan yang menghancurkan lingkungan, seperti penghancuran hutan hujan di Amazon karena tergerus lahan peternakan? Atau, siapa yang peduli pada minyak goreng yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit di Kalimantan atau Sumatera yang dihasilkan dari menghancurkan hutan dan membakarnya?
Mungkin kita kurang peduli karena kita menganggap hal itu bukan masalah agama. Padahal, kebaikan (thayyiba) makanan sangat erat dengan masalah agama. Bahkan, dalam surat Al-Mu’minun ayat 51 Allah memerintahkan semua rasul-Nya (bukan hanya Nabi Muhammad SAW, tapi semua rasul) untuk melakukan dua hal: memakan makanan yang baik dan berbuat baik. Ini artinya, seluruh agama samawi diturunkan oleh Allah SWT dengan prioritas untuk membuat manusia melakukan dua hal itu.
Di luar soal kehalalan dan kebaikan makanan, Islam juga sangat peduli pada kecukupan. Dalam surat Thaha ayat 81 Allah berfirman:
“Makanlah dari kebaikan (thayyibat) yang telah aku karuniakan kepada kalian, dan jangan berlebihan pada makanan, karena (berlebihan pada makanan) akan menghalalkan kemarahan-Ku. Barangsiapa yang mendapat kemarahanku, musnahlah dia.”
Berlebihan dalam makanan adalah hal yang sangat serius. Ancaman yang disampaikan dalam ayat itu lebih besar dari ancaman yang diungkapkan untuk orang yang makan makanan tidak halal. Dan inilah yang menjadi masalah dunia saat ini.
Berlebihan soal makanan ini menimbulkan kelebihan makanan yang terbuang (food waste). Organisasi Pangan Dunia (FAO) mencatat setiap tahun makanan yang terbuang senilai US$ 2,6 triliun. Uang yang sama bisa memberi makan 815 juta orang di seluruh dunia yang kelaparan.
Itu baru dari soal keadilan sosial. Belum kalau kita bicara soal akibatnya pada lingkungan. Produksi makanan yang berlebihan menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar. Penggunaan air berlebihan, pemakaian lahan yang tidak seharusnya, bahan bakar yang terbuang untuk proses bertani, proses pembuatan makanan, dan pengangkutannya.
Misalnya, untuk memproduksi satu buah apel dibutuhkan 125 liter air. Artinya, membuang satu buah apel sama dengan membuang 125 liter air. FAO menghitung, CO2 yang dihasilkan dari membuat makanan terbuang itu jumlahnya 3,3 miliar ton. Jumlah yang besar.
Itulah kenapa Tuhan sangat marah saat kita berlebihan dalam makanan.
Gambar oleh Konevi dari Pixabay.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Topik :