TULISAN saya di pagina ini pada 2 Agustus 2020, Pohon Sebagai Identitas Nasional, menarik pengelola Forest Digest meneruskannya dengan webinar. Ada tiga ahli pohon yang diundang sebagai pembicara untuk menentukan pohon apa yang paling cocok dijadikan identitas nasional.
Saya diminta jadi pemantik untuk diskusi pada 15 Agustus 2020 pukul 19.30 WIB itu. Diskusi berlangsung seru. Selain melalui Zoom, diskusi juga ditayangkan secara langsung di akun YouTube Forest Digest.
Diskusi berpusat pada tiga pertanyaan utama, yaitu: 1) Apakah pohon perlu menjadi identitas nasional? 2) Kriteria apa yang perlu dipertimbangkan untuk memilih pohon nasional? dan 3) Jenis pohon apa saja yang layak dipertimbangkan menjadi pohon nasional?
Profesor Tukirin Partomihardjo, Ketua Forum Pelestari Pohon Langka Indonesia yang pensiun sebagai peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, membuka paparannya dengan menjabarkan peran vital pohon untuk kehidupan manusia dalam berbagai aspek. Ketika pohon sudah mati sekali pun, mereka tetap berperan menyediakan kehidupan bagi berbagai organisme dan menyimpan karbon.
Selain menjaga siklus ekosistem bumi—dengan menyerap CO2 dan memproduksi oksigen—pohon juga mahluk paling efektif menjaga kelembaban dan suhu udara. Pohon juga yang menentukan perubahan iklim, menyimpan air, makanan, obat-obatan, hingga resin yang berguna bagi terapi psikologi. Dengan fungsi yang banyak itu, pohon layak jadi identitas nasional.
Profesor Tukirin menyarankan delapan kriteria jika pohon hendak dijadikan identitas nasional: potensi, manfaat, konservasi, lingkungan, biologi, estetika, keunikan, dan aspek budaya. Dengan kriteria itu, ada 12 pohon yang ia ajukan menjadi pohon nasional:
Prioritas 1: Kritis. Pelahlar (Dipterocarpus littoralis), meranti (Dipterocarpus cinerus), kokoleceran (Vatica bantamensis), dan resak brebas atau pelahlar laki (Vatica javanica spp javanica).
Prioritas 2: Mendesak. Kapur (Dryobalanops aromatica), dan damar mata kucing (Shorea javanica).
Prioritas 3: Perlu konservasi. Ulin atau bulian (Eusideroxylon zwageri), meranti (Shorea pinanga), saninten atau rambutan hutan (Castanopsis argentea), kerantungan (Durio oxleyanus), trako atau durian berdaging merah (Durio graveolens), dan mersawa atau Ki Tenjo (Anisoptera costata).
Alasan Prof. Tukirin mengajukan pelbagai pohon langka itu karena ketika dijadikan pohon nasional, maka akan ada kebijakan dalam melindunginya. “Ulin itu sulit sekali sekarang kita temukan,” katanya. Masalahnya, melalui P.108/2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mengeluarkan pohon endemik Kalimantan ini sebagai pohon yang tak lagi dilindungi alias bisa dieksploitasi.
Iwan Hilwan, dosen dendrologi Fakultas Kehutanan IPB, menambahkan bahwa dari 125 juta hektare hutan Indonesia terdapat 4.000 jenis pohon dan 10% di antaranya memiliki kayu bernilai penting. “Pohon punya kriteria tertentu, seperti berkayu, sehingga tak bisa dipertukarkan dengan semata tanaman,” katanya.
Secara umum, kriteria dan definisi pohon adalah tumbuhan berkayu yang mempunyai sebuah batang utama dilengkapi dengan dahan juga ranting yang berada jauh dari permukaan tanah. Badan Standarisasi Nasional lebih jelas, yakni tumbuhan berkayu yang batang utamanya berdiameter lebih dari 20 sentimeter.
Menurut Iwan, Indonesia tidak memiliki pohon nasional yang ditetapkan secara resmi. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48/1989 hanya mengatur jenis-jenis pohon untuk tingkat provinsi. Misalnya, pohon kepel atau burahol (Stelechocarpus burahol) untuk Yogyakarta, biti atau gofasa (Vitex cofassus) untuk Gorontalo, cendana (Santalum album) Nusa Tenggara Timur, dan Matoa (Pometia pinnata) untuk Papua Barat.
Para pembicara sepakat tak mengambil pohon provinsi sebagai pohon nasional karena, selain akan tumpang tindih aturan penetapan, juga akan bias provinsi.
Pohon beringin yang tersemat di dada lambang negara burung Garuda dan simbol sila ketiga Pancasila, tak menjadi pohon nasional secara resmi. Pohon ini sudah menjadi pohon nasional India sejak 1950. Memakai beringin sebagai lambang sila ketiga, kata Iwan, juga tak memiliki banyak referensi, selain bahwa pohon ini jadi pohon penanda alun-alun di daerah-daerah Jawa.
Iwan mengajukan tiga kriteria sebuah pohon bisa menjadi pohon nasional: sosial budaya, manfaat ekonomi, status konservasi atau kondisinya di alam. Pohon nasional, menurut Iwan, mesti melambangkan jati diri, kepribadian, karakter masyarakat Indonesia yang unggul dan ideal.
Dengan kriteria-kriteria itu, dari sembilan pohon yang ia ajukan, Iwan memerasnya lagi menjadi tiga jenis yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah, dan timur:
Ulin (Eusideroxylon zwageri), mewakili wilayah barat yang kayunya awet sehingga melambangkan karakter tahan banting, ulet, suka tantangan, inovatif, dan optimistis.
Eboni (Diospyrus celebica), mewakili wilayah tengah yang ciri-ciri kayunya indah sehingga melambangkan keramahan, sopan santun, saling menghormati dan menyayangi.
Merbau (Intsia palembanica), mewakili wilayah timur yang kayunya kuat sehingga melambangkan keberanian, kekuatan, sehat jasmani dan rohani.
Sementara Titiek Setyawati, peneliti dari Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tak memakai kriteria kelangkaan dan konservasi. “Kriteria yang saya ajukan lebih pragmatis, yakni dari segi manfaatnya bagi manusia dan alam,” katanya.
Ia mengajukan sembilan kriteria pohon nasional: asli Indonesia, ditemukan di hampir seluruh pulau, mudah tumbuh, sumber ketahanan pangan dan obat-obatan, semua bagiannya bisa dimanfaatkan, meningkatkan pendapatan masyarakat, bisa dimakan hewan (tidak beracun), tidak mengandung alelopati (racun bagi tanaman lain), dan berbuah sepanjang tahun.
Maka ia mengajukan lima jenis pohon: gayam (Inocarpus fagifer), kepel atau burahol (Stelechocarpus burahol), sentul atau kecapi (Sandoricum koetjape), durian (Durio zibethinus), dan pala (Myristica fragrans). Ia merujuk pada pohon mapel di Kanada yang daunnya jadi lambang bendera karena semua orang Kanada memakai mapel untuk banyak keperluan.
Irisan dari ketiganya adalah setuju bahwa kriteria pertama mesti pohon endemik Indonesia. Karena itu, meski jati dan mahoni menggiurkan, ia tak masuk kriteria karena ia spesies asli Burma atau Myanmar dan Amerika Selatan.
Tidak hanya para ahli saja yang berbicara di diskusi ini, peserta juga antusias ngobrol di kamar obrolan dan memberikan masukan serta pendapat mereka. Misalnya ada yang menyoal pentingnya pohon nasional yang punya peran sebagai penyangga satwa liar. Sebab pohon menjadi penyangga hidup hewan lain hingga mikroorganisme. Status dan kondisi pohon akan mencerminkan kesehatan satwa liar di sekitarnya.
Para ahli itu berpendapat, penentuan pohon nasional juga akan memaksa masyarakat lebih mengapresiasi dan mencintai pohon tersebut. Perlindungan dan konservasinya juga akan terbentuk sehingga konservasi habitat dan hidupan liar lain juga akan dilakukan secara menyeluruh. Butz dalam National Symbols as Agents of Psychological and Social Change (2009) menulis bahwa familiaritas dengan sebuah simbol berpotensi membuat orang menjadi lebih peduli dan menimbulkan rasa memiliki, yang kemudian mendorong pada keinginan melindunginya.
Dirgahayu Indonesia ke-75!
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :