Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Agustus 2020

Padi: Tanaman Surga Bagi Orang Dayak Meratus

Masyarakat Dayak Meratus percaya padi dibawa dari surga oleh Adam dan Hawa. Mereka memuliakannya sehingga padi yang tersimpan di lumbung bisa tahan selama lima tahun

Padi dan Dayak Meratus.

MENURUT Jared Diamond, kebudayaan bercocok tanam di Asia Tenggara dan Asia Pasifik dibawa para penutur Austronesia. Bukti-bukti kedatangan mereka, terutama di pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, bisa ditelusuri dari kajian-kajian antropologi yang menempatkan padi dalam pusat kehidupan orang Dayak Meratus.

Penggalian situs arkeologi perihal padi pada masa neolitik tertua di Kalimantan terdapat di gua Niah di Serawak, berupa tembikar yang berasal dari masa tahun 4000 Sebelum Masehi.

Konstruksi Kayu

Secara umum, orang Dayak tinggal di kawasan pedalaman dengan beberapa rumpun besar seperti Maanyan, Ngaju, Iban, Ot Danum, Kenyah, Bahau, Tunjung, Kanayan. Sementara Dayak Meratus terbagi dalam sub Dayak Ngaju dan Dayak Maanyan.

Suku Dayak terbagi ke dalam suku kurang lebih 405 sub grup. Mereka umumnya peladang berpindah dan memperlakukan ladang dengan baik dan terpelihara.

Kegiatan ladang berpindah terutama berupa penanaman padi gunung dan beberapa tanaman palawija. Perladangan mereka tergantung pada musim dan hidup di lahan tadah hujan. Bakumpai adalah perladangan sawah tadah hujan yang memanfaatkan air pasang surut. Ini sejalan dengan tempat tinggal mereka umumnya adalah di tepi sungai.

Persebaran Bakumpai ada di Long Iram Kalimantan Timur, Tumbang Samba Kalimantan Tengah dan Bakumpai (Basahab, Ulu Benteng, Lepasan, Baliuk, Simpang Arja dan Kampung Bentok) di Kalimantan Selatan.

Ada banyak salah paham dengan kata “berpindah” dalam perladangan. Dalam perspektif orang Dayak kata “berpindah” bukan berarti meninggalkan lahan begitu saja, tapi ada waktunya kembali dan menggarap semula ladang yang mereka tinggalkan.

Orang Dayak di Long Pujungan di Kalimantan Timur membuka hutan primer maupun sekunder untuk dijadikan ladang. Lokasi ladang hanya dipergunakan sekali saja, atau maksimal dua musim tanam berturut-turut. Ladang yang telah dipakai dibiarkan menghutan kembali selama 3-25 tahun

Karena itu di Long Pujungan ada klasifikasi-klasifikasi hutan, sebagai berikut:

1) Bekan: bekas ladang tahun lalu;

2) Jekau cengalem: bekas ladang yang sudah dibiarkan menghutan selama 2-6 tahun;

3) Jekau lawan: bekas ladang yang sudah dibiarkan menghutan 7-15 tahun. Pohon yang tumbuh biasanya sudah mencapai diameter 15 sentimeter sampai 50 sentimeter;

4) Jekau lempan: bekas ladang yang sudah sulit ditaksir berapa tahun dibiarkan menghutan; karena ukuran pohon biasanya berdiameter lebih dari 50 sentimeter;

5) Mba atau Mpa, hutan rimba.

Dayak Bakumpai di sungai Barito Kalimantan Tengah dan Selatan, dalam pembukaan lahan juga mengenal klasifikasi: 1) Bahu, 2) Labehu, 3) Padang, 4) Himba 5) Kaleka 6) Petak Jujung 7) Petak Tagah 8) Petak Gahung 9) Petak Alas 10) Petak Bahua dan 11) Petak Simpuk atau Manyimpuk.

Sementara Dayak Meratus memiliki sistem peladangan padi yang unik. Mereka mengenal perladangan dengan beberapa istilah membuka lahan (manabas), manabang, membakar lahan (manyalukut), membersihkan ladang sesudah dibakar (mambarasih), memasukkan padi ke dalam lubang (manugal) membersihkan rumput (marumput) panen (mangatam), menyimpan padi (mangindai).

Karena padi ditempatkan dalam kedudukan tinggi, ada banyak upacara yang diselenggarakan dalam konteks budaya/religi, terkait dengan kegiatan berladang. Berladang pun menjadi semacam ritual dengan melewati tujuh tahap:  

(1) tahap mencari lahan garapan,

(2) tahap membuka lahan,

(3) tahap membersihkan lahan,

(4) tahap menanam bibit,

(5) tahap memelihara,

(6) tahap memanen, hingga upacara dalam rangka,

(7) menyucikan hasil panen agar siap dikonsumsi.

Selain ritual yang berkaitan dengan kegiatan berladang, terdapat juga upacara adat lain yang tidak berkaitan langsung. Adapun upacara yang umum menyangkut hal bertani padi ialah; (1) basambu, merupakan ritual masyarakat Dayak di sekitar pegunungan Meratus untuk menyambut padi yang sudah berbuah (bunting) untuk meminta pertolongan pada leluhur agar padi tumbuh baik dan dihindarkan dari gagal panen.

Jenis padi yang ditanam petani Dayak pegunungan Meratus adalah padi gogo, yaitu padi ketan, dan padi taman (padi biasa). Sebagian merupakan varietas yang berumur genjah (banih ringan) dan sebagian lagi berumur lebih panjang (banih halin). Kedua jenis padi gogo ini ditanam secara bersamaan dengan cara ditugal (manugal).

Dengan perkembangannya yang berabad-abad, petani Dayak Meratus mengembangkan pelbagai jenis padi dari dua varietas tersebut. Ketika saya meneliti di sana, kini setidaknya ada 101 varietas lokal padi gogo yang pernah ditanam petani Dayak Meratus dan 45 varietas padi ketan. Pada setiap komuniti (permukiman) setidaknya mereka menanam 15-48 varietas padi gogo.

Di antara 101 varietas padi gogo itu, ada 38 varietas yang ditemukan pada lebih dari satu permukiman. Sisanya sebanyak 63 varietas hanya ditemukan pada satu komuniti. Di antara varietas padi tanam yang ditemukan pada hampir seluruh komuniti adalah Buyung Putih dan Buyung Kuning, Siam Unus serta Nakit, Tampiku, Kelapa, Badagai Putih, Carnik dan Radin.

Dari 45 varietas padi ketan, setidaknya ada 18 varietas ditanam di lebih dari satu permukiman, berkisar antara 2-8 komuniti. Di Balai Adat Macatur di Desa Haruyan Dayak Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai terlihat gejala penurunan keragaman variteas padi yang sangat tinggi. Sebanyak 20 dari 43 varietas yang pernah ditanam (46,51%) sudah tidak ditanam lagi oleh petani di pemukiman ini dalam dua tahun terakhir.

Bagi masyarakat adat di pegunungan Meratus, menanam padi merupakan salah satu strategi memelihara keragaman varietas padi gogo. Mereka menanam padi sebagai bagian dari kepercayaan terhadap asal-usul. Mereka percaya bahwa padi merupakan tanaman yang dibawa dari surga, ketika nenek moyang manusia Adam dan Tihawa turun ke bumi.

Pemuliaan pada padi ini membuat padi orang Dayak Meratus sangat tahan lama. Padi yang dipanen lima tahun lalu masih tersimpan dengan baik di kindai (lumbung) di sekitar rumah tetua adat.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Etnografer di Universitas Lambung Mangkurat. Penulis "Rethinking Dayak Identity" (Komojoyo Press, Yogyakarta, 2020)

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain