INDONESIA memiliki berbagai pilihan wisata alam. Model lokasi wisata yang jamak adalah kebun raya dan taman nasional. Kini ada model baru, yakni Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati).
Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) belum populer seperti dua jenis taman wisata alam yang sudah lama ada. Manajer Program Kehutanan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), Imanuddin Utoro mengakui ada beberapa kendala dalam pengelolaan taman ini.
“Problem utama adalah pengelolaan,” katanya. Klasik. “Sering kali pemerintah daerah tidak punya sumber daya cukup untuk mengelola kawasan ini.”
Taman Kehati berupa kawasan hutan alam minimal seluas 3 hektare atau tiga kali luas lapangan sepak bola. Karena jadi pilihan lokasi wisata jika pemiliknya membuka untuk umum, kawasan tersebut mesti dijaga kebersihannya, membuat instalasi, hingga infrastruktur untuk memudahkan pengunjung datang ke sana.
Apa bedanya dengan dua wisata alam yang lain? Utoro menjelaskan, sebetulnya fungsi utama Taman Kehati bukan untuk wisata. Fungsi utama taman ini adalah melestarikan alam, khususnya flora, di daerah tertent. Artinya, Taman Kehati dibuat cenderung untuk melindungi tumbuhan yang penyebarannya sangat bergantung pada satwa, seperti burung atau kelelawar.
Karena berfungsi sebagai perlindungan, Taman Kehati dibangun berdasarkan identifikasi tumbuhan lokal yang ada di wilayah tersebut. Pembuatannya mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2012 tentang Taman Keanekaragaman Hayati.
Dalam luas yang mini, Taman Kehati lebih mirip arboretum. Bedanya, selain lebih luas, Taman Kehati memiliki petunjuk teknis. Misalnya, flora yang ditanam harus tumbuhan lokal. Berapa spesies wajib ditanam dalam luasan tertentu. Sementara arboretum lebih fleksibel sesuai keinginan institusi yang membangunnya.
Jika taman nasional adalah kawasan asli hutan alam, Taman Kehati bisa dibangun di mana saja. Adapun kebun raya, pengembangan lebih rumit, karena ada syarat pembagian eco-region. Semua tumbuhan, terutama flora rangka, masuk ke kebun raya, yang ditanam berdasarkan sistem taksonominya.
Hal paling membedakan, kebun raya dikembangkan dan dikelola oleh Lembaga Ilmu dan Pengetahuan (LIPI). Sedangkan Taman Kehati bisa dibangun oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, swasta, bahkan individu atau perorangan.
Taman Kehati juga bisa dibangun di lahan tidak produktif. Yayasan Kehati, misalnya, sedang mentransformasi lahan bekas tambang di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Lahan tambang yang sudah tak dipakai karena dikeruk sejak zaman Belanda itu kemudian direklamasi seiring dengan keinginan pemerintah daerah setempat mengembangkan wisata terowongan bekas galian tambang dan pesona kota tua yang tumbuh di antara ngarai dan lembah Sumatera Barat yang permai.
Sejauh ini sudah ada lebih dari 80 Taman Kehati yang dibangun oleh pemerintah. Salah satunya Taman Kehati Belitung, di kawasan Bukit Peramon. Pengembangan taman ini hasil kerja sama Pemerintah Kabupaten Belitung, Perkumpulan Air Selumar, dan Yayasan Kehati.
Pembangunannya dimulai sejak 2012. Retribusi Taman Kehati ini dimanfaatkan kembali untuk keberlanjutan pemeliharaan fasilitas taman ini.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :