KEBAKARAN hutan dan lahan selalu jadi momok dalam manajemen sumber daya alam. Tak hanya di musim kemarau, kebakaran juga terjadi sepanjang tahun karena api mendekam di jenis-jenis lahan basah, seperti rawa gambut.
Untuk mencegahnya, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan, terutama pasal 20 ayat 1, menyatakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan akibat kebakaran adalah dengan cara mengendalikannya. Pengendalian meliputi pencegahan, pemadaman, penanganan setelah kebakaran.
Pencegahan sejatinya dilakukan sebelum kebakaran, pemadaman ketika kebakaran berlangsung, dan penanganan setelah kebakaran meliputi dua hal pokok: penegakan hukum terhadap pelaku pembakar, baik disengaja atau lalai, dan rehabilitasi lahan bekas terbakar.
BACA: Penyebab Utama Kebakaran Hutan: Manusia
Karena itu, mencegah kebakaran merupakan garda terdepan dalam pengendalian api. Caranya macam-macam. Edukasi atau teknik (engineering) peringatan dini dengan membangun sistem peringkat bahaya kebakaran.
Bila pencegahan belum berhasil, tindakan selanjutnya adalah pemadaman. Hanya saja, meski pemadaman berhasil, sesungguhnya itu keberhasilan semu. Sebab biaya memadamkan api cukup besar.
Tak hanya biaya penggantian terhadap lahan yang terbakar, juga ada biaya membangun kembali lahan tersebut, bahkan bila tersangkut masalah hukum, pelakunya harus mengganti biaya kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, hingga pemulihannya.
Secara logika sederhana, pencegahan adalah tindakan paling murah. Sehingga langkah ini mesti menjadi prioritas. Tak hanya saat penyuluhan dan pelatihan, tapi benar-benar dilakukan secara nyata.
Dalam realisasinya, pemadaman dan penggunaan alat-alat berat masih dianggap sebagai solusi terbaik mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Pemadaman masih jadi idola tindakan, meski biayanya acap lebih banyak dibanding mencegah. Dana siapa pakai Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2019 sebanyak Rp 6,7 triliun, lebih dari separuhnya terpakai untuk pengendalian kebakaran.
BACA: Mencegah Kebakaran di Masa Pandemi
Tahun lalu, kebakaran hutan dan lahan naik tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Naiknya luas kebakaran otomatis meningkatkan emisi gas rumah kaca. Seperti dilaporkan Copernicus Atmosphere Monitoring Service/ECMWF, jumlah karbon dioksida, yang jadi patokan menghitung emisi, tahun lalu mendekati jumlah emisi dalam kebakaran besar tahun 2015 yang selalu jadi patokan mengendalikan emisi.
Tidak ada yang salah memakai alat berat untuk memadamkan api. Namun pemakaian alat berat punya dampak lain, salah satunya membuat masyarakat enggan memadamkan kebakaran sesegera mungkin. Masyarakat cenderung berharap helikopter akan datang membawa air untuk memadamkan kebakaran di lahan mereka. Padahal mereka sendiri tak tahu jadwal kedatangan helikopter itu, sementara areal terbakar makin luas karena tak segera dipadamkan.
Implikasi negatif seperti ini seharusnya dikurangi agar mereka kembali ke kehidupan gotong royong seperti sebelumnya. Gotong royong memadamkan api juga bisa mempererat hubungan emosional antar penduduk sehingga mereka bisa bersama-sama mencegah kebakaran lahan berulang.
Cara lain mencegah kebakaran adalah dengan memberikan nilai tambah dari usaha-usaha itu. Misalnya, dengan memberikan nilai lain seperti ketahanan pangan. Dengan begitu, teknik manajemen lahan tanpa bakar akan jadi pilihan utama bagi masyarakat. Bukan pula sebagai hukuman atas kebakaran lahan yang terjadi sebelumnya.
BACA: Niklamatnya Kopi Lahan Gambut Tanpa Bakar
Teknik mengelola lahan tanpa bakar sudah dipraktikkan masyarakat. Salah satunya oleh Kelompok Tani Maju Bersama di Dusun Lingga, Desa Lingga Jaya, Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Saya mengunjungi mereka pertengahan Agustus ini.
Menurut penjelasan Pak Taniya, ketua kelompok, beragam tanaman mereka siapkan untuk mendukung teknik tanpa bakar itu. Mulai tanaman yang bisa dipanen dalam waktu singkat, bertahap, atau sesuai musim. Saya melihat beberapa tanaman yang ada di pekarangan rumah adalah sahang (lada/merica), kopi, karet, pinang, durian, petai, terong, cabai, nanas, pohon medang. Ada pula sistim agroforestri yang sedang mereka kembangkan saat ini.
Masing-masing tanaman dipanen berdasarkan kondisi harga pasar. Cara ini membuat petani tak menebang tanaman yang punya nilai ekonomi rendah.
Hanya saja karena mereka belum menggarap tanaman tertentu, tak ada tanaman yang mereka kelola secara khusus. Pak Taniya mengatakan mungkin mereka akan mengubah cara mengelola tanaman karena ingin fokus menjadikan wilayah mereka sebagai sentra kopi. Mereka mendapat pendampingan dari petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kubu Raya untuk mewujudkan cita-cita itu.
Cara serupa juga terjadi di Desa Teluk Bakung. Kepala desanya bergelar master. Luas desa ini 60.000 hektare, yang terdiri dari lahan gambut dan tanah mineral, yang ditanami kelapa sawit dan hutan tanaman. Ada beberapa lahan kosong yang rawan memicu api. Kepala Desa meminta masyarakat mengelola lahan itu untuk mencegah kebakaran.
BACA: Pemanasan Global Kemungkinan Datang Lebih Cepat
Ada dua produk andalan pengelolaan lahan di Teluk Bakung. Saat ini masyarakat tengah mengembangkan ubi talas di lahan gambut. Menurut Pak Kades, dalam waktu tujuh bulan, talas ungu ini sudah panen dengan rata-rata per rumpun sekitar 1,3 kilogram. Jika disetarakan uang, 1 hektare talas ungu menghasilkan Rp 100 juta dengan harga Rp 7.000 per kilogram. Ini harga yang jauh di bawah pasar karena harga sebenarnya Rp 16.000.
Dengan demikian, selama satu bulan, penghasilan petani minimal Rp 15 juta. Penghasilan itu dua kali lipat jika mereka bisa negosiasi harga sesuai harga pasar. Menurut Pak Kades, produksi talas ungu masih bisa dinaikkan jika pemeliharaannya lebih intensif. Tahun depan ia berencana membuka lahan 10 hektare lagi untuk menaikkan produksi.
KPH Kubu Raya perlu berperan untuk mendampingi rencana ini. Sebab, mengolah lahan seperti ini selain menjadi ketahanan pangan, meningkatkan ekonomi, sekaligus akan mencegah kebakaran karena mengolah lahan tanpa memakai api.
Tanaman kedua yang menjadi andalan masyarakat Teluk Bakung adalah singkong untuk bahan baku tapioka. Meskipun harganya rendah, Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram, namun lebih menguntungkan ketimbang membiarkan jadi lahan kosong. Berkali-kali Pak Kades meminta penduduk untuk menanami lahan kosong yang menambah penghasilan serta mencegah kebakaran.
Masyarakat Desa Gunung Sembilan, juga punya usaha mencegah kebakaran seraya menjadi sumber pendapatan yang menarik. Desa di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, ini menjaga lahan mereka agar tetap lembap dengan menanam padi di lahan yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung.
Padi yang selalu membutuhkan air menjadi solusi lahan tak memercikkan api. Peran masyarakat itu menjadi penting dalam konteks mencegah kebakaran karena personel Balai Taman Nasional masih terbatas. KPH Kayong Utara perlu menyokong usaha masyarakat ini untuk mencegah api meletik yang mengancam hutan taman nasional.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Perlindungan Hutan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB University
Topik :