JIKA kita membaca sejarah bumi, kita akan tahu kerusakan alam baru terjadi dalam beberapa ratus tahun terakhir. Dalam bukunya yang terkenal, Sapiens, Yuval Noah Harari memaparkan bagaimana selama jutaan tahun kehidupan di bumi berjalan secara natural.
Tentu saja ada kerusakan-kerusakan kecil, tapi semua itu bisa kembali sembuh karena tidak ada satu makhluk pun yang super dominan. Bahkan di masa dinosaurus, ketika makhluk-makhluk raksasa bertebaran di muka bumi.
Keadaan berubah ketika manusia pelan-pelan menjadi penguasa bumi. Kita tidak hanya hidup dengan memanfaatkannya, juga mengeksploitasinya habis-habisan untuk keinginan yang kadang tidak begitu diperlukan.
Manusia merasa “berhak” mengeksploitasi bumi karena menganggap kita adalah makhluk paling mulia. Jika kita perhatikan, hampir semua agama menyediakan dalil yang dapat dipakai untuk menyatakan bahwa manusia adalah makhluk paling baik dan karenanya berhak melakukan apa pun pada makhluk-makhluk lain.
Hal yang sama terjadi dalam Islam. Ada sejumlah ayat Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW yang kita pakai untuk mendukung superioritas manusia. Padahal, konteks kemuliaan manusia dalam sejumlah ayat itu tidak berarti bahwa manusia lebih tinggi dari makhluk-makhluk lain.
Semua ayat tentang kemuliaan manusia dalam Al-Quran selalu bersyarat. Kemuliaan hanya akan ada kalau kita melakukan kebaikan dan kerendahan hati.
Islam mengecam perasaan lebih unggul. Dalam surat Al-A’raf Allah SWT menceritakan sebab diusirnya iblis dari surga. Hal ini terkait perasaan lebih unggulnya. “Ana khairun minhu… Aku lebih baik dari dia (manusia).”
Perasaan lebih unggul ini akan menimbulkan kesombongan dan dari kesombongan ini muncul keinginan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi biasanya dilakukan tanpa empati pada makhluk lain.
Beberapa saat sebelumnya, saat hendak menciptakan manusia, sebenarnya para malaikat sempat khawatir makhluk baru ini nanti akan merusak bumi. Hal ini diceritakan di surat Al-Baqarah.
Kekhawatiran ini muncul karena manusia yang akan diciptakan nanti diberi kewenangan menjadi wakil Tuhan (khalifah) di bumi. Meski menjadi wakil Tuhan itu artinya manusia punya misi memakmurkan dan mengasihi bumi, tapi kewenangannya yang besar berpotensi dipakainya untuk mengeksploitasi makhluk lain.
Kisah itu—seperti kisah-kisah lain dalam Al-Quran—diceritakan untuk diambil hikmah atau pelajaran. Pelajaran terpenting dari kisah penciptaan manusia adalah kita bisa mengemban misi untuk memakmurkan bumi (seperti yang diinginkan oleh Allah SWT saat menciptakan kita) jika kita tidak mampu menyisihkan rasa superioritas pada makhluk lain.
Yuval Harari menyimpulkan sepanjang sejarah rebutan sumber daya alam, manusia praktis unggul dibanding mahluk lain. Kita telah menang. Lalu apa? Kini kita menghadapi ancaman paling serius planet bumi, yakni pemanasan global, akibat tindakan kita berlebihan mengeksploitnya.
Maka, ketika kita merasa setara dan sama-sama menjadi makhluk Allah, bukan superior, kita akan berupaya mengasihi mereka, menjadi kasih bagi seluruh dunia. Itulah mengapa kita diminta untuk selalu tawadhu’ (rendah hati) yang dilatih dalam kekhusyukan salat setiap hari.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Topik :