DUNIA sedang menghadapi perubahan iklim, akibat pemanasan global, tersebab polusi dan emisi yang membuat atmosfer kita tak bisa menyerap panas matahari dan bumi akibat aktivitas kita. Maka, meski ada kata global di sana, dampak dan penyebabnya bisa kita rasakan—atau akibat dari—keseharian kita. Secangkir kopi bisa merekam bagaimana dampak pemanasan global begitu nyata.
Pemanasan global dipicu oleh meningkatnya konsentrasi enam gas rumah kaca. Disebut rumah kaca karena bumi seperti berada dalam rumah kaca raksasa dan kita terjebak di dalamnya. Panas yang berasal dari bumi itu membumbung ke atmosfer dan tak bisa diserap di sana karena lapisannya tertutup gas-gas buangan tadi.
Panas matahari menambah beban selubung bumi itu dan memantul kembali ke sini. Sementara di bumi, pohon-pohon yang bertugas menyerap panas itu kian berkurang atau jadi monokultur akibat lahannya yang diokupasi untuk industri dan permukiman.
Karbon dioksida (CO2) adalah salah satu gas yang terperangkap di atmosfer. Meski jumlahnya paling banyak, sehingga menjadi satuan yang dipakai untuk menghitung emisi, ia bukan gas pokok penyebab pemanasan global. Pemicu utama pemanasan global adalah belerang sulfur heksafluorida (SF6), yang dihasilkan pabrik semen, yang daya panasnya 23.900 kali CO2.
Naiknya suhu bumi itu berlangsung dalam jangka panjang. Data suhu bumi yang tersedia hanya bisa dilacak hingga tahun 1800. Sesungguhnya, pemanasan bumi dimulai sejak 1750, ketika pertama kali orang menemukan mesin uap dan dimulainya Revolusi Industri.
Akibatnya terjadi variabilitas iklim, seperti kekeringan yang panjang dan tidak terduga, di saat sama hujan yang berlebihan di tempat-tempat yang berbeda, yang memicu banjir dan tanah longsor. Produksi pertanian dan komoditas perkebunan pun, yang memerlukan kondisi pertumbuhan tertentu, menjadi terancam keberlanjutannya. Termasuk kopi.
Sebagai salah satu minuman paling populer yang dikonsumsi sepertiga penduduk dunia, kopi menjadi salah satu komoditas pertanian yang paling banyak diperdagangkan secara global. Perdagangan kopi dunia 70% berupa jenis kopi arabika dan 30% robusta. Jenis lain seperti kopi liberika, belum banyak diperdagangkan di pasar global.
Dari segi produsen, diperkirakan sekitar 25 juta keluarga petani kopi dunia yang menanam komoditas ini, sebagian besar merupakan petani kecil dan keluarga. Pada 2017, Badan Pusat Statistik mencatat pengembangan kopi secara nasional berdampak terhadap peningkatan perekonomian masyarakat karena melibatkan sekitar 1,96 juta rumah tangga.
Kopi sensitif pada suhu. Karena itu pemanasan global jadi ancaman serius komoditas ini. Studi de Sousa pada 2019 memperkirakan pada 2050 sekitar 60% lahan yang sekarang dipakai untuk budi daya kopi akan menjadi tidak layak tanam lagi.
Di Indonesia, kekeringan ekstrem akibat El Niño membuat produksi kopi turun 10%. Sementara musim hujan panjang akibat La Niña menurunkan produksi kopi hingga 80% (Syakir dan Surmaini, 2017).
Musim yang ekstrem juga memicu hama yang membuat kopi arabika kian rentan. Penelitian baru-baru ini oleh Kath dkk (2020) juga menemukan kopi robusta yang sebelumnya lebih tahan hama juga terganggu pertumbuhannya akibat iklim yang berubah.
Dalam beberapa dekade terakhir, kopi di Amerika Selatan dan Tengah dilanda wabah rust daun kopi, sejenis jamur yang membuat daun hijau kopi menjadi kuning kecokelatan. Hama juga menyebar dengan cepat.
Di wilayah penghasil kopi di Ethiopia dan Kenya, penggerek biji, sejenis serangga kecil yang bersembunyi di dalam biji kopi, juga mengancam keberlanjutan tanaman ini. Di Indonesia, hama penggerek dan penyakit karat daun juga makin sering terlihat dan menurunkan produksi hingga 50% (Syakir dan Surmaini, 2017).
Seperti disampaikan dalam Analisis Pasar Global Kopi USDA bulan Juni 2020, produksi kopi robusta Indonesia di pasar global menurun sebanyak 400 ribu kantong kopi (1 kantong = 60 kilogram). Tertundanya hujan di bagian Selatan Sumatera dan pulau Jawa yang merupakan 75% wilayah penghasil kopi, membuat produksi kopi kian merosot. Vietnam, Honduras, Nikaragua, dan Kosta Rika, yang menjadi produsen kopi utama juga mengalami hal serupa.
Tidak hanya berpengaruh pada kuantitas, perubahan iklim juga berpengaruh pada kualitas dan cita rasa kopi. Petani kopi di Tana Toraja, Simalungun, dan Flores merasakan produksi kopi mereka turun sejak 2010. Petani kopi di Simalungun menceritakan pada 1990-an sebatang tanaman kopi menghasilkan 3-5 kilogram biji, kini hanya 1 kilogram.
Salah satu bentuk adaptasi petani atas makin panasnya suhu adalah memindahkan tanaman ke lahan dengan elevasi yang lebih tinggi. Pilihan ini tentu saja berdampak pada perubahan tata guna lahan dan berisiko pada lebih banyak lagi penyusutan hutan karena pembukaan lahan. Di luar soal biaya pengelolaan yang naik.
Jika dampak negatif perubahan iklim terhadap produksi kopi semakin parah, di masa depan akan terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan kopi global. Penghidupan petani kopi pun terancam. Kelak, barangkali, menyesap kopi di pagi hari menjadi sebuah kemewahan.
Kabar baiknya, perubahan iklim global ini mendorong inovasi baru dalam manajemen kopi yang lestari. Seperti diulas oleh Verburg dkk (2019), salah satunya dengan sistem pengelolaan hama terintegrasi dan sistem tree windbreak, wanatani dan diversifikasi tanaman, pemilihan varietas kopi baru dan teknik konservasi tanah dan air yang tepat.
Alih-alih hanya sekedar membeli biji kopi, sejumlah bisnis kafe ternama dunia juga mulai bekerja langsung dengan para petani kopi berskala kecil di Kosta Rika, Indonesia, dan Ethiopia agar mereka bisa beradaptasi dengan perubahan. Dampak iklim telah memberikan perhatian global yang lebih besar terhadap para petani kopi.
Lalu apa yang bisa dilakukan para penikmat kopi? Setidaknya kita bisa lebih menghargai setiap sesapan dalam secangkir kopi yang masih bisa kita nikmati dengan mudah saat ini. Di balik secangkir kopi ada cerita panjang manajemen lahan yang menyimpan cara adaptasi terhadap perubahan iklim yang persisten. Cara paling baik mendukungnya adalah dengan meminum kopi yang dikelola secara lestari, dengan rantai pasok yang memperhatikan proteksi lingkungan.
Tindakan kecil kita saat minum kopi itu, jika masif, akan mencegah pemanasan global datang lebih cepat. Sebab kopi dan konservasi sesungguhnya sejoli. Kopi butuh naungan untuk tumbuh sehingga petani akan menanam pohon di atasnya terlebih dahulu sebelum menanam kopi di bawahnya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :