MEREKA disebut “orang-orang gambut”, julukan untuk masyarakat yang tinggal di wilayah, kawasan, zona dan perkampungan lahan bergambut. Gambut merupakan lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk.
Timbunan tersebut menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal. Pada umumnya, gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir. Proses terbentuknya gambut berpengaruh terhadap jenis-jenis dan karakter gambut. Oleh karena itu, gambut pedalaman memiliki bentuk dan karakter yang berbeda dengan gambut yang ada di daerah sekitar sungai dan pantai.
Saya ingin menceritakan mereka, yang saya temui saat ekspedisi pegunungan Muller Schawaner tahun 2005. Saya dan Tim Kompas memulai perjalanan dari Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan. Ekspedisi itu menempuh jarak kurang lebih 1.160 kilometer yang berakhir di Kampung Long Bagun, Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Tanah gambut yang terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar (lihat Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, A.J.Whitten. 1984 dan World Energy Council, 2007. Survey of Energy Resources 2007).
Wilayah bergambut di Sungai Negara dan Sungai Barito terkait dengan cara-cara mereka mengolah lahan dan selama ratusan tahun membangun sistem pertanian Padi, getah, rotan dan jenis tanaman dalam ekosistem gambut.
Sepanjang Sungai Barito dihuni kelompok etnik Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Maanyan, Dayak Taboyan, Dayak Bawo dan Dayak Bakumpai. Sementara itu di Sungai Nagara adalah kelompok Melayu Banjar, Dayak Maanyan dan Dayak Bukit. Antropolog Amarika Anna Tsing (1994) menyebut Dayak Bukit sebagai Meratus.
Padi menjadi salah satu kearifan orang Dayak dan Banjar yang berbeda dengan pemahaman kita dalam cara bertanam padi di perbukitan atau pegunungan. Orang Dayak Bakumpai dan Melayu Banjar mempunyai tahapan-tahapan tertentu menanam Padi.
Menanam padi di dataran tinggi, sekali semai dan seterusnya sampai menuai, pada orang Bakumpai dan Banjar, disebut manugal. Hasil tugalan mesti dipindah ke lahan yang berada di tepi tegalan. Orang Bakumpai menyebutnya “malacak”, membesarkan padi hasil tugalan dan sebelum “maimbul”.
Itu sebabnya, kegiatan menanam padi di lahan bergambut tidak bisa dilakukan dengan menancapkan bilah padi dengan tangan biasa (seperti dilakukan di Jawa), tetapi harus menggunakan alat yang disebut tantajuk (bahasa Dayak) atau tutujah (Bahasa Banjar).
Tantajuk terbuat dari kayu ulin yang berbentuk mirip katapel untuk pegangan tangan agar tangan petani punya pijakan ketika membuat lubang di lahan gambut. Uniknya, ketika menancapkan tantajuk petani tak bisa melihat lubang tanam karena gambut adalah lahan basah. Itu sebabnya, ketika terbakar, api di lahan gambut susah dipadamkan.
Dari cerita orang Dayak dan Banjar, saya mendapatkan informasi bahwa kebakaran mulai terjadi sejak wilayah mereka mulai didatangi orang luar membuka lahan untuk keperluan perkebunan besar. Selain proyek raksasa sawah sejuta hektare dengan membuat kanal raksasa yang membelah gambut.
Seorang penduduk mengatakan bahwa api susah dipadamkan dengan memakai logika sederhana ini: lahan gambut menyimpan jutaan air di dalamnya, ketika manusia membuat kanal, dengan cepat air mengering, karena jutaan air itu mengendap dalam lapukan humus, lempung kayu dan ranting semak sejak ribuan tahun. Ranting, lempung kayu dan semak yang tertimbun ribuan tahun dan kedalamannya mencapai 7 sampai 15 meter.
Orang-orang gambut sangat paham bagaimana alam bekerja. Teknologi dan keahlian mereka bercocok tanam merupakan pengetahuan turun-temurun selama ratusan tahun. Maka rekayasa teknologi membuat lumbung pangan di gambut yang tak sesuai dengan keadaan ekosistem ini akan berakhir pada bencana lingkungan seperti sekarang.
Mereka lebih paham cara bercocok tanam di gambut yang memakai teknologi sederhana, dengan menggabungkan kearifan lokal dalam memperoleh pangan secara lestari.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Etnografer di Universitas Lambung Mangkurat. Penulis "Rethinking Dayak Identity" (Komojoyo Press, Yogyakarta, 2020)
Topik :