Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 02 September 2020

5 Manfaat Ganja Menurut Penelitian

Pemerintah mencabut aturan yang memasukkan ganja sebagai tanaman obat untuk menghentikan kontroversi. Di luar negeri penelitian menunjukkan banyak manfaat ganja mendukung pengobatan.

Ganja (Cannabis sativa).

KEMENTERIAN Pertanian membatalkan Keputusan Nomor 104/KPTS/HK 140/M/2/2002 yang memasukkan ganja (Cannabis sativa) sebagai tanaman obat binaan. Pembatalan ini menghilang peluang para peneliti mengulik khasiat ganja sebagai potensi obat manjur untuk pelbagai keperluan medis.

Pembatalan aturan itu karena kontroversi di tengah masyarakat terhadap pro dan kontra. Keputusan yang terbit 3 Februari 2020 itu baru tercium publik pekan lalu dan memicu perdebatan di masyarakat. Padahal, aturan itu merupakan perluasan dari aturan sebelumnya.

Ganja sudah masuk dalam daftar tumbuhan obat sejak 2006. Kementerian Pertanian juga sudah menimbang banyak aturan dan rujukan sebelum memasukkan ganja sebagai tanaman obat. Namun, mereka lebih mendengarkan suara yang menolak. “Kami akan kaji kembali dan koordinasi dengan stakeholder,” kata Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha dalam keterangan pers pada 29 Agustus 2020.

Stakeholder terkait yang dimaksud adalah Badan Narkotika Nasional (BNN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Tommy mengaku ganja termasuk tanaman psikotropika yang terlarang dipakai secara bebas seperti diatur dalam Undang-Undang Narkotika.

Aturan 2006, kata Tommy, terbit sebagai pembinaan, yakni mendorong petani ganja beralih ke komoditas lain dan memusnahkan ganja yang ada saat itu. Karena itu izin menanam ganja hanya diberlakukan untuk kebutuhan tertentu, yakni pelayanan medis dan ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, ganja bisa dibudidayakan. “Tapi sampai sekarang belum ada petani ganja legal binaan Kementerian Pertanian,” kata dia.

Dasar binaan itu cukup jelas, yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang hortikultura. Di pasal 67 disebutkan bahwa budidaya jenis tanaman hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakat bisa dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Salah satu yang menolak adalah polisi. Direktur Tindak Pidana Narkoba Brigadir Jenderal Krisno Siregar mengatakan pemakaian ganja untuk pengobatan tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Pemakaiannya mesti mendapatkan izin Kementerian Kesehatan. “Termasuk untuk keperluan penelitian mesti mendapat izin Menteri Kesehatan,” katanya.

Dengan cara pandang ini, Fidelis Arie Sudewarto harus mendekam di penjara karena mengobati istrinya yang menderita syringomyelia, tumbuhnya kista berisi cairan (syrinx) di dalam sumsum tulang belakang memakai daun ekstrak ganja. Akibat penyakit itu, Yeni Riawati, meninggal sejak ekstrak ganja berhenti ia konsumsi karena polisi menangkap suaminya.

Fidelis mendapatkan referensi dari jurnal internasional tentang khasiat ganja dalam mengobati Yeni. Ia berusaha mencari legitimasi kepada lembaga pemerintah agar diizinkan memakai ganja untuk pengobatan setelah sakit Yeni berangsur menurun setelah rutin mengonsumsinya. Izin itu gagal ia dapatkan dan ia digiring ke pengadilan karena itu. Fidelis mendekam dua bulan dalam penjara dari delapan bulan vonis yang dijatuhkan hakim Sanggau di Kalimantan Barat.

Di luar negeri, pelbagai penelitian telah membuktikan bahwa ekstrak ganja bisa menyembuhkan pelbagai jenis nyeri. Karena itu, sebanyak 29 negara bagian Amerika Serikat telah melegalkan ganja. Meskipun banyak pertanyaan yang belum terjawab atas pemakaian ganja sebagai obat—seperti soal keamanan, kecanduan, legalitas, efektivitasnya—beberapa penelitian menunjukkan pasien sembuh setelah memakai ganja.

Charles dan Sandra M. Webb, menulis di Hawai’i Journal of Medicine & Public Health bahwa ganja sangat disarankan untuk membunuh pelbagai rasa nyeri. Mereka menyurvei 100 pasien berusia 49-51 tahun di Hawaii yang mengalami nyeri kronis—nyeri yang berlangsung lebih dari enam bulan. Hasilnya, 94% responden menyatakan khasiat ekstrak ganja,

Dari 100 pasein, 97 orang memakai ganja untuk menurunkan nyeri kronis. Mereka mengatakan nyeri berkurang dari 7,8 menjadi 2,8 dari skala 0-10. Artinya, nyeri berkurang 64%. Separuh responden juga merasa lega dan terbebas dari stres dan kecemasan, dan hampir setengah (45%) melaporkan bisa terbebas dari insomnia.

Sebagian besar pasien (71%) melaporkan tidak ada efek samping setelah mengonsumsi ekstrak ganja. Sementara 6% mengaku batuk atau iritasi tenggorokan dan 5% takut ditangkap polisi meski ganja di Hawaii sudah legal. Tak ada efek samping serius yang dilaporkan para pasies. “Hasil ini menunjukkan Cannabis adalah obat yang sangat aman dan efektif untuk banyak pasien nyeri kronis,” tulis mereka.

Dari beberapa jawaban para pasein, Charles dan Sandra mengurutkan khasiat ganja, yakni mengurangi rasa sakit, mengurangi insomnia, dan membantu meredakan kecemasan. Ganja, menurut mereka, sangat menjanjikan sebagai pengobatan dan perlu diteliti lebih jauh sampai bisa dijadikan resep dokter.

Peter Grinspoon, dari Harvard Medical School, menambahkan bahwa kandungan ganja yang berkhasiat menyembuhkan nyeri adalah cannabidiol. Setidaknya ada 100 komponen aktif yang terkandung dalam ganja. Zat yang membuat mabuk disebut tetrahydrocannabinol. Namun kandungannya sedikit dalam cannabidiol, sehingga penelitian Charles dan Sandra menemukan bahwa pasien tak mabuk atau hilang kesadaran setelah mengonsumsinya.

Menurut Peter, setidaknya ada lima manfaat ganja:

Meredakan nyeri. Zat cannbidiol diklaim bisa mengurangi nyeri kronis yang terjadi secara terus menerus dalam waktu minimal enam bulan. Ekstrak ganja tak bisa mengobati sakit serentak, seperti nyeri pascaoperasi atau patah tulang.

Mencegah epilepsi. Ganja diklaim bisa meredakan sindrom Dravet, jenis epilepsi yang hampir tak bisa dikendalikan, yang menyerang anak-anak.

Meredakan gangguan syaraf. Terutama meredakan gangguan syaraf mata, otak, dan tulang belakang (multiple sclerosis). Menurut Peter, survei terhadap pasien mengklaim bahwa mariyuana memungkinkan mereka melanjutkan aktivitas setelah meminumnya.

Pelemas otot. Para pasien bersumpah dengan kemampuan ganja mengurangi tremor pada penyakit parkinson. “Saya juga telah mendengar tentang penggunaannya yang cukup berhasil untuk fibromyalgia, endometriosis, sistitis interstisial, dan sebagian besar kondisi lain di mana jalur umum terakhir adalah nyeri kronis,” kata Peter.

Mengatasi mual. Pada beberapa pasien, ganja juga mengatasi mual dan penurunan berat badan. Bahkan pada para veteran perang, ganja bisa mengobati glaukoma.

Meski begitu, Peter menganjurkan para pasien tetap berbicara dengan dokter dan mendapat otoritas pengobatan jika hendak memakai ganja. “Daftar di atas bukan daftar inklusif manfaat ganja, melainkan memberikan survei singkat tentang jenis kondisi dalam pengobatan memakai mariyuana,” kata dia. “Klaim efektivitas harus dievaluasi secara kritis dan ditangani dengan hati-hati.”

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain