VIRUS corona telah mengubah cara kita berhubungan antar manusia, cara kita memandang alam, hingga cara kita menunjukkan kasih sayang. Di masa pandemi, berpelukan sebagai cara menunjukkan kasih sayang, menjadi bukan perbuatan yang arif. Jika memeluk manusia kini jadi berbahaya, mari kita memeluk pohon.
Beberapa pemerintah mendorong penduduk negaranya agar memeluk pohon. Di luar manfaat dari segi kesehatan fisik, psikis, dan mental memeluk pohon punya sejarah panjang. Tree hugging movement memiliki sejarah yang mengandung nilai-nilai perjuangan konservasi, bahkan digerakkan oleh perempuan.
Syahdan, pada 1730, Amrita Devi, yang tinggal di desa di wilayah Rajashtan, India, mengikat dirinya sendiri pada sebuah pohon. Ia protes. Ia ingin mencegah petugas pemerintah tak menebang pohon keramat ketika kerajaan hendak membangun Istana.
Protes Devi mendapat dukungan. Ratusan penduduk desa memeluk pohon-pohon yang mereka hormati tersebut. Penduduk menang. Pemerintah membatalkan rencana membangun Istana di wilayah itu.
Dua-ratus empat puluh tiga tahun kemudian, pada 1973, apa yang dilakukan Devi menginspirasi seorang Devi lain di Uttar Pradesh di Himalaya. Gaira Devi mengajak penduduk untuk bersama memeluk pohon atau bergandengan tangan melingkari pohon agar pemerintah dan pengusaha tak menebangnya. Gerakan yang dinamai Chipko Movement, saling menyatu, itu sebuah usaha penduduk mencegah deforestasi dan hancurnya keanekaragaman hayati.
Tokohnya Sunderlal Bahuguna. Ia menggaungkan kalimat yang terkenal dari gerakan itu: “Ekologi adalah ekonomi yang permanen”. Chipko Movement kelak dikenang sebagai gerakan arus bawah yang menunjukkan kekuatan perempuan dalam konservasi dan melindungi ekologi. Pada 26 Maret 2018 Google merayakan penghormatan dengan menampilkan gambar memeluk pohon sebagai doodle, peyorasi untuk gambar utama di halaman utama (foto utama).
Gerakan memeluk pohon menjadi salah satu bentuk edukasi dan penyadaran tentang lingkungan di berbagai belahan dunia. Walaupun tidak ada gerakan memeluk pohon yang terorganisasi secara khusus dan konsisten di Indonesia, di beberapa tempat aktivitas ini jadi simbol selebrasi hari pohon nasional maupun sebagai bentuk kampanye peduli terhadap pohon.
Dengan memakai tanda pagar #aksipelukpohon #festivalpelukpohon #ayosayangpohon, para pegiat lingkungan memunculkan kesadaran ini lewat berbagai media sosial. Kesadaran untuk kembali ke alam bahkan menjadi seolah terbarukan dengan tantangan situasi terkait pandemi corona.
Ini merentang dari sejumlah pekerjaan ilmiah dan penelitian terkait topik tersebut, sampai dengan berbagai upaya oleh para praktisi lingkungan hidup untuk membumikan gerakan ini, dan terus menghidupkan sejarah tree hugging movement. Tidak hanya di kawasan yang berdekatan dengan hutan, memeluk pohon juga menjadi kekuatan sosial yang mendorong perubahan di kawasan perkotaan.
Di Vietnam, pada Maret 2015, seperti ditelaah oleh Geertman dan Boudreau dalam Life as Art”: Emerging Youth Networks in Hanoi and the Tree Hug Movement, gerakan memeluk pohon juga sebagai bentuk resistensi secara damai yang dipelopori oleh anak muda yang peduli lingkungan. Gerakan ini menentang penebangan 6.700 pohon untuk pembangunan infrastruktur di kota Hanoi, yang dilakukan tanpa menyediakan informasi publik, konsultasi, dan kajian dampak lingkungan yang memadai.
Dukungan terhadap gerakan memeluk pohon di Hanoi berkembang cepat melalui media sosial dan berbagai saluran dalam jaringan, membangun kesadaran publik akan pentingnya pohon di perkotaan. Dengan semakin besarnya tekanan dari aksi damai yang mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan, termasuk jurnalis dan akademisi ini, pada akhirnya proyek penebangan 6.700 pohon tersebut dibatalkan.
Ini menjadi contoh kekuatan sosial yang bisa membawa perubahan baik bagi lingkungan, yang didasarkan pada rasa kepedulian dan tanggung jawab, alih-alih didorong oleh kebencian, konfrontasi langsung dan kekerasan. Fakta bahwa perubahan ini didorong oleh anak muda memberikan harapan untuk melanjutkannya dengan peduli lingkungan di masa mendatang.
Di Afrika, pada 2014, Mendes dkk dalam Hug a Tree in Africa memakai pendekatan seni dan teknologi terkini dalam mendekatkan manusia kepada pohon. Melalui instalasi seni interaktif yang disebut Hug@tree, ketika partisipan memeluk pohon yang dilengkapi dengan sensor, platform merekamnya dan menghubungkannya dengan layar yang menunjukkan orang lain di negara lain juga melakukan hal sama. Pohon menjadi model dan pusat dari proyek itu. Mendes ingin mengatakan bahwa koneksi pohon dengan manusia yang penting, juga koneksi antara manusia secara virtual untuk menyelamatkan alam.
Gerakan memeluk pohon telah bergaung hingga zaman modern. Ia simbol kekuatan, kepedulian, dan kasih sayang kepada bumi. Sejarah selalu menyediakan kebaikan yang mengharuskan, tentang manusia, di luar keserakahannya yang tiada tara. Gerakan memeluk pohon mesti kita gaungkan terus dan meluaskannya ke gerakan lain untuk melindungi semesta—satu-satunya planet yang bisa kita tinggali.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :