NILAI ekonomi yang besar, dengan permintaan yang langgeng, membuat perdagangan cula badak dan gading gajah terjadi sepanjang tahun. Di Jakarta, tahun 2016, satu potongan gading gajah bisa bernilai Rp 30 juta dan cula badak Rp 300 juta per item. Nilainya akan makin mahal jika gading dan cula tersebut berasal dari masa purba.
Pada pertengahan September 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap lima orang yang diduga menjajakan cula badak dan gading gajah secara online. Mereka menawarkan bagian-bagian satwa liar melalui Facebook.
Mereka terjaring dalam operasi penindakan perdagangan satwa ilegal di Sukoharjo dan Solo, Jawa Tengah. Para petugas mengintai para tersangka ini sejak September 2019. Hampir setahun pemindaian, petugas mencocok para pelaku yang membentuk jejaring perdagangan. “Seorang tersangka menggugah bagian-bagian satwa, salah satunya cula badak,” kata Direktur Pencegahan dan Pengaman Hutan (PPH) Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK Sustyo Iriyono.
Dari situ, Tim Penegakan Hukum, bersama polisi resor Sukoharjo dan Kepolisian Resor Kota Surakarta menyita satu cula badak dan lima tersangka. Mereka berusia 24 hingga 59 tahun. Dari mereka, tim menangkap pelaku lain berusia 52 tahun pemilik kios Pusat Batu Permata di Solo. “Dari dia ada 1 buah cula badak dan 16 pipa rokok yang diduga berasal dari gading gajah Sumatera,” kata Sustyo.
Dari para tersangka, petugas mendapatkan keterangan bahwa dua cula badak itu ditawarkan seharga Rp 150 juta dan gading gajah Rp 75 juta. Benda-benda itu telah disita dan akan diuji forensik kandungan DNA untuk mengetahui usia dan jenis badak serta gading untuk melacak asal-usulnya.
Para pelaku akan dijerat dengan pasal 21 ayat (2) huruf d jo pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ancaman hukumannya paling lama lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta. Sustyo berharap mereka dihukum maksimal untuk memberikan efek jera.
Masalahnya, nilai hukuman itu jauh lebih kecil dari nilai barang yang diperdagangkan. Para pelaku di Solo dan Sukoharjo hanya memiliki jumlah bagian satwa yang terbatas. KLHK belum menggulung pedagang besar dan para pengepul yang akan menjualnya ke luar negeri.
Selain cula dan gading, perdagangan satwa liar juga menjangkau jenis lain, seperti tenggiling. Dalam penelusuran Tempo dua tahun lalu, penjualan tenggiling ke Cina melibatkan banyak aktor lintas provinsi. Sejak Cina tak lagi menggolongkan tenggiling sebagai hewan yang bebas dikonsumsi untuk pengobatan, permintaannya naik drastis.
Traffic.org melaporkan pada 2007-2016 terjadi impor sisik tenggiling sebanyak 34,6 ton. Sisik tenggiling hanya 20% dari total berat hewan nokturnal ini yang rata-rata 5-6 kilogram. Harga satu kilogram sisik di pemburu hanya Rp 300 ribu, naik hingga Rp 45 juta ketika diekspor ke Cina.
Sejauh ini polisi masih memeriksa para tersangka penjual cula dan gading itu. “Modus kejahatan ini semakin kompleks dan canggih,” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Rasio Ridho Sani. “Ini kejahatan serius karena merusak kekayaan Indonesia.”
Tak hanya Indonesia, tapi dunia. Gajah dan badak adalah hewan payung yang digolongkan International Union for Conservation of Nature (ICUN) sebagai satwa dalam kategori kritis karena populasinya makin berkurang di alam. Selain karena proses berkembang biaknya yang lama, perburuan terhadap mereka kian masif.
Kepercayaan, tradisi, ketidaktahuan, dan mitos terhadap satwa liar membuat perburuan terhadap mereka kian masif. Di sejumlah wilayah Indonesia, misalnya, daging dan sisik tenggiling bisa meningkatkan stamina dan kepercayaan diri. Di Cina, sisik tenggiling dipercaya bisa membuat awet muda dan fit.
Jika planet bumi tak lagi punya satwa liar, mahluk di dalamnya akan terancam ikut musnah karena satwa menentukan rantai makanan. Jika tenggiling musnah, populasi semut yang jadi makanannya akan melimpah. Akibatnya, tanaman tak akan tumbuh. Kurangnya makanan akan membuat hewan lain yang membutuhkannya ikut punah. Pada akhirnya manusia yang akan kelimpungan mencari pasokan pangan. Pandemi adalah salah satu akibat dari menghilangkan satwa liar, inang bermacam virus.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :