Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 September 2020

RUU Masyarakat Adat: Apa yang Seharusnya Dilakukan Negara

Artikel ini ditulis seorang Dayak Ngaju. Ia mempertanyakan cara negara mengatur dan melegalkan kesukuannya, terutama dalam RUU Masyarakat Hukum Adat.

Sabtu Keren di Hutan Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

DEWAN Perwakilan Rakyat sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat. Sejak 2009, rancangan ini tak kunjung dibahas, bolak-balik masuk program legislasi, bolak-balik berubah judul, tapi selama ini hanya sebagai draf belaka.

Tulisan ini ingin menggambarkan hal-hal apakah, yang menurut saya, sedang dihadapi dan jadi tantangan masyarakat adat sehingga negara perlu mengaturnya. Dengan memahami pertanyaan dasar ini, akan membantu siapa pun merumuskan aturan (dalam bentuk undang-undang atau aturan lain) agar “tepat-respons” terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia secara umum.

Konstruksi Kayu

Saya lahir sebagai Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Ibu saya murni berdarah Dayak Ngaju. Ayah saya juga (sekarang almarhum). Berasal dari Kapuas. Suku Dayak Ngaju, seperti halnya suku-suku lain di Indonesia, ada dan sudah lama bermukim turun temurun. Turun temurun di sini menunjukkan sesuatu yang sudah lama ada. Kapan waktu migrasi Dayak ke Kalimantan, ada catatan yang menunjukkan terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun Sebelum Masehi, saat benua Asia masih menyatu dengan Pulau Kalimantan. 

Menurut J.U. Lontaan (1974), Dayak sendiri terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub-suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Salah satu dari suku besar itu adalah Dayak Ngaju.

Karena itu bagi saya, menjadi Dayak Ngaju, adalah given atau terberikan. By born. Sejak lahir, dalam diri saya mengalir darah Dayak. Tuhan yang menetapkan saya menjadi Dayak Ngaju. Saya tidak memilih atau tidak bisa memilih menjadi Dayak. Saya Dayak karena saya lahir sebagai Dayak. Begitu juga halnya saat seseorang menjadi orang Batak, orang Minang, orang Baduy dan suku-suku lain di Indonesia—yang jumlahnya lebih dari 700 suku.

Karena bersifat given, nature, terberi, secara prinsip seseorang tidak bisa menjadi bagian sebuah suku dengan cara ditetapkan atau dilegalkan melalui surat keputusan atau peraturan. Demikian pula sebaliknya, tidak bisa kemudian seseorang dibatalkan atau dihapus kesukuannya oleh pranata manusia. Suku itu ibarat gen yang menyertai diri manusia, yang ada sejak ia tercipta. Dan itu adalah hak prerogatif Sang Ilahi.

Maka, menurut saya, tidaklah tepat jika ada aturan yang dilahirkan untuk menetapkan suatu masyarakat menjadi suku, masyarakat adat atau istilah-istilah yang setara. Persoalan subyek bukan lagi sesuatu yang bisa diutak-atik karena sudah terberi itu tadi.

Karena saya Dayak Ngaju, ada seperangkat adat, budaya, nilai dan norma yang menyertai setiap langkah saya sebagai Dayak Ngaju. Saat saya menyinggung kata adat, di sini tercakup berbagai hal menyangkut nilai, kepercayaan, kearifan beserta praktik-praktiknya. Semua ini sifatnya dinamis dan bisa berkembang sesuai perkembangan zaman.

Dalam pengalaman dan pemahaman saya sebagai uluh Dayak Ngaju, saya bisa melihat orang Dayak Ngaju punya kepercayaan sendiri terhadap Yang Kuasa. Ia juga punya mitologi. Dayak Ngaju juga memiliki kearifan tradisional beserta praktik-praktiknya. Pendek kata, orang Dayak Ngaju dan Dayak lainnya memiliki konektivitas erat dengan Yang Kuasa, sesama manusia, serta alam semesta.

Sama seperti suku Dayak lain yang menempati Kalimantan, Dayak Ngaju juga memiliki keterhubungan dengan Yang Kuasa dalam bentuk tersendiri, juga dengan roh leluhur dan spirit yang lain. Agama asli masyarakat Dayak Ngaju adalah Kaharingan. Meski saya menganut Islam dari lahir, karena ibu saya menjadi Islam saat menikah dengan ayah, saya cukup beruntung bisa punya pengetahuan dan pengalaman sebagai orang kita atau uluh itah.

Pengetahuan dan pengalaman ini diturunkan oleh, utamanya, keluarga pihak ibu. Saat kecil, yang begitu lekat di benakku hingga kini adalah interaksi dengan buyutku. Ia adalah tambi buyut atau nenek buyut, yakni nenek dari ibu. Kami akrab memanggilnya sebagai tambi atau nenek, meski seharusnya lebih tepat dipanggil tambi buyut.

Tambi sering datang dan menginap di rumah kami di Palangkaraya. Dari tambi inilah aku sering mendengar cerita tentang spiritualitas Dayak Ngaju dan hal-hal lainnya. Tuturnya masih kerap kuingat hingga kini. Semua ini biasanya dilakukan menjelang tidur, baik saat tidur siang atau malam. Disampaikannya seperti gaya mendongeng, sehingga sering kali ketika cerita itu belum habis, aku dan saudara-saudaraku sudah tertidur.

Tambi bercerita kalau orang Dayak Ngaju punya agama Kaharingan. "Jika kamu memanggil Tuhan dengan sebutan Allah, maka dalam Kaharingan disebut  Ranying," demikian kata Tambi. Terkadang Tambi juga menyebut kata-kata "Ranying Hatalla Langit", atau "Yang Menguasai Langit". Juga ada kekuatan yang menguasai alam bawah atau "Jata Balawang Bulau". "Seperti halnya kamu salat, dalam Kaharingan juga ada sembahyangnya, namanya Basarah," ujar tambi. Cerita tambi ini selalu melekat di benakku.

"Apa tambi tidak mau masuk Islam?" tanyaku suatu ketika. Tambi menjawab agamanya Kaharingan. Tapi agama yang diakui hanya Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha? Menurut tambi, Kaharingan itu agama, diakui atau tidak oleh manusia melalui negara. Jawaban yang sama juga pernah saya dapatkan dari bue apang (kakek).

Tambi juga kadang berkisah tentang mahluk-mahluk kasat mata yang ada di bumi ini. Ada yang namanya taloh, kambe, jin. Ada yang baik, ada pula yang bisa mengganggu manusia. Saya terkadang takut mendengar cerita tentang mahluk-mahluk ini. Saat itu, maka tambi akan mengganti tuturnya dengan berbagai dongeng tentang Palui, tokoh fiksi khas Dayak Ngaju, dengan tingkah lakunya yang kocak dan polos. Palui ini agak mirip Kabayan bagi orang Sunda.

Tambi juga banyak bercerita tentang bagaimana orang Dayak Ngaju punya himba atau rimba raya. Kata tambi, di himba banyak pohon. Saking banyak dan rapatnya pepohonan, terkadang di satu tempat, matahari terlihat samar-samar di siang hari, tertutupi oleh kanopi hutan. Masuk himba juga tidak boleh sembarangan. Ada penunggunya. Tidak boleh asal mengambil benda atau apa pun dari himba. Harus ada tata caranya.

Himba yang perkasa itu bagiku adalah paradoks. Ia kokoh, rapat dan penuh dengan mahluk penunggu, tapi sekaligus ia ramah bagi kami orang-orang Dayak Ngaju. Masa kecilku adalah masa di mana saat musim buah, bue apang sering membawa sekarung penuh duhian (durian), tepaken (buah endemik mirip durian), kasturi, manggis dan berbagai hasil hutan lain. Himba yang perkasa dan angker itu, ternyata menyediakan pula buah-buahan eksotis bagi kami.

Tambi, serta ibu dan saudara-saudaranya, kadang berkisah tentang praktik ladang berpindah orang Dayak. Bahwa berladang dilakukan dengan menggunakan tugal. Bahwa saat mulai bertanam mesti menunggu tanda dari antang (semacam burung tingang) dan masih banyak lagi.

Saat dewasa dan menggeluti isu sosial, saya memahami apa sebenarnya yang mesti dilakukan negara untuk orang Dayak Ngaju serta masyarakat adat lainnya. Soal subyek sudah given. Faktanya, ini tidak bisa diada-adakan. Tidak juga ia menjadi hilang karena tidak disahkan atau dilegalkan. Menjadi Dayak Ngaju adalah terberi sejak lahir.

Bagaimana dengan hak-hak yang melekat dengan suku Dayak Ngaju? Misalnya terkait spiritualitas dan konektivitas orang Dayak dengan himba, dengan tradisi bertanamnya. Saya lega bahwa sekarang Kaharingan menjadi setara dengan agama lain. Tapi bagaimana halnya dengan gerusan investasi yang semakin lama terus mengoyak tanah dan himba Dayak Ngaju dan juga merusak konektivitas berbagai masyarakat adat dengan lingkungannya?

Hal-hal inilah yang menurut saya perlu diakui dan dilindungi, yakni hak-hak yang melekat pada orang Dayak Ngaju dan masyarakat adat lainnya. Jadi aturan yang diperlukan sekarang adalah aturan yang mewadahi agar himba dan tanah Dayak tetap ada bagi orang Dayak dan tidak diambil alih oleh kepentingan investasi. Juga aturan yang memberikan pengakuan dan perlindungan hak orang Dayak untuk menjalankan berbagai kearifan tradisionalnya dalam mengelola dan menjaga hutannya. Demikian pula terkait hak-hak lainnya seperti hak menganut agama sendiri dan mengembangkan kebudayaan suku.

Bagi masyarakat adat yang diperlukan bukan pengakuan subyek sebagai masyarakat adat, suku atau sejenisnya. Sebab ini sudah tidak bisa diganggu gugat. Yang dibutuhkan dari negara adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak yang melekat dan menyertai mereka.

Demikianlah seharusnya tujuan kita bernegara, sebuah ikatan yang menjadi simpul dari pelbagai masyarakat yang sudah ada sebelum kita membuat buhul tersebut. Negara wajib melindungi hak-hak masyarakat yang sudah ada itu. Bukan mengatur hal-hal lain di luarnya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain