ILMU ekonomi adalah ilmu yang muram, kata Thomas Carlyle—filsuf Skotlandia yang menekuni pemikiran ekonom Inggris, Thomas Malthus. Carlyle melihat ilmu ekonomi tak menyediakan jalan keluar atas perbudakan dan penjajahan akibat industrialisasi di Hindia. Ia menyaksikan jumlah manusia terus bertambah yang berakibat pada invasi sumber daya alam, tapi ilmu ekonomi malah mendorong kita mengeksploitasinya.
Saya membaca kalimat itu dalam sebuah artikel di majalah langganan bapak pada pertengahan 1990-an. Tentu tanpa mengerti arti dan maksudnya. Sewaktu SMA, guru pelajaran ekonomi samar-samar teringat mengutip Malthus yang mengatakan bahwa pertumbuhan manusia mengikuti deret ukur, sementara ketersediaan makanan melaju dalam deret hitung. Artinya, manusia bertambah banyak tanpa diimbangi ketersediaan pangan. Jika begitu, ekonomi memang ilmu tentang kesedihan.
Maka, saya masuk Fakultas Kehutanan IPB. Selain karena tak tahu ada banyak jurusan di universitas lain, saya masuk fakultas ini karena dorongan kata “manajemen hutan” dari sekian daftar nama jurusan pada leaflet IPB yang dibawa kakak kelas ke sekolah. Bagi saya dua kata itu menarik karena menyangka bisa turut mengelola sumber daya alam agar kelak manusia tak jadi sedih.
Pilihan itu rupanya mengabaikan satu hal: mempelajari hutan harus pula mempelajari pohon, sesuatu yang menuntut pemahaman tentang biologi—cabang ilmu alam yang sulit saya ikuti karena memerlukan hafalan yang tajam. Profesor Jusuf Sudo Hadi sampai mengernyit ketika melihat nilai Biologi di NEM saya sewaktu daftar ulang di IPB. Ia memprediksi saya akan kesulitan belajar di Fakultas Kehutanan. Ramalan yang jitu.
Profesor Dudung Darusman, waktu itu menjadi Kepala Laboratorium Sosial Ekonomi Kehutanan, yang membuat hari-hari sulit menjadi mudah. Dengan tutur katanya yang santun dan ramah, senyumnya yang tak pernah tertinggal, ia mengenalkan ilmu ekonomi kehutanan sebagai ilmu yang menggairahkan dipelajari. Tanpa kesan menggurui, Profesor Dudung bersedia menjelaskan hal-hal rumit dalam ekonomi, konteks di balik rumus-rumus, lalu mencontohkannya dalam peristiwa sehari-hari yang dekat dan kita alami.
Penjelasan itu terutama saya dapatkan tiap kali mengikuti Forum Rabuan di Laboratorium So-sek. Saya dan Doktor Soni Trison mendirikan forum itu, forum kecil yang berisi dosen dan mahasiswa, untuk menyerap isu-isu kehutanan yang aktual. Suasana Reformasi 1998 turut mempengaruhi cara mahasiswa waktu itu dalam menyerap informasi yang mulai bebas. Saya bertugas menuliskan obrol-obrolan sore itu lalu mencetaknya dalam pamflet agar mudah diingat dan dibaca kembali.
Maka, ceramah Profesor Dudung secara virtual dalam sarasehan “70 Tahun Profesor Dudung Darusman” pada 24 September 2020 itu mengingatkan kembali ke masa 23 tahun lalu. Para murid, kolega sesama pengajar di Fakultas Kehutanan IPB, guru, dan teman-temannya, memeriahkan acara ini untuk merayakan usia Profesor Dudung ke-70 pada 14 September lalu. Para dosen membuat buku berjudul “Ilmu Ekonomi Kehutanan Kontekstual” sebagai hadiah pada perayaan itu.
Sama seperti dua dekade lalu, menyimak Profesor Dudung adalah menyelami kedalaman dan keterbukaan berpikir. Ia selalu membawa kita kepada sesuatu yang lebih dari apa yang mengambang di permukaan. Misalnya, tentang hasrat ekonomi manusia yang purba. Di balik strategi pengusaha hutan yang ingin mendapat untung setinggi-tingginya, dan keinginan pekerja mendapat upah sebesar-besarnya, ada risiko kerusakan sumber daya alam yang mengintai. Keuntungan besar industri kehutanan tahun 1980-an dibayar oleh kerusakan hutan akibat hasrat manusia yang tak terkendali.
Karena itu, dalam buku yang tengah ditulisnya, Profesor Dudung menyarankan penerapan ilmu ekonomi dalam mengelola hutan secara integratif dan kolaboratif. Artinya, kebijakan tentang kehutanan mesti melibatkan disiplin lintas ilmu. Profesor Dudung menyebutnya “pola hidup sejajar”. Tak hanya antar manusia, tapi juga manusia dengan alam. Tanpa paradigma itu, kita akan terus mengulang keserakahan karena pandangan menang-kalah dan supremasi menguasai yang lain.
Dalam pandangan Profesor Dudung, secara alamiah hutan dan alam telah menyediakan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan manusia. Masalahnya, dengan pelbagai kepentingan dan kemauan, manusia tak punya kompetensi mengelola alam agar berkelanjutan. Karena itu integrasi dan kolaborasi tak bisa ditawar agar kapasitas kita yang terbatas itu tak merusak kemampuan alam yang mumpuni menopang hidup manusia. “Dari situ akan muncul pilihan-pilihan kebijakan: mana yang paling baik dan lengkap untuk kita terapkan,” katanya.
Dengan dasar pemikiran itu, Profesor Dudung sampai pada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi dalam kehutanan mesti dikembangkan ke ranah yang lebih jauh, yakni ilmu ekonomi dari perspektif pemanfaatan sumber daya alam yang berhubungan dengan kebudayaan. Ilmu ekonomi kehutanan sejauh ini masih berkutat dalam ilmu ekonomi perusahaan yang mikro.
Akibatnya, selama puluhan tahun para ahli ekonomi acap menempatkan sektor kehutanan sebagai sektor yang inferior. Para rimbawan dianggap tak paham ilmu ekonomi—juga gagap ketika bicara ekonomi—karena hutan dipandang terpisah dari urusan manusia. Sementara sektor yang superior, ternyata sangat bergantung pada negara-negara lain. Para ekonom memakai referensi negara lain dalam mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan. “Menurut saya itu fatamorgana,” kata Profesor Dudung.
Ini pemikiran yang tak berubah dari Profesor Dudung. Ketika menulis artikel ini saya menengok catatan ketika mahasiswa. Ada satu catatan dari forum diskusi Rabuan itu tentang rumus-rumus pendapatan sebagai resultante konsumsi + investasi + ekspor dikurangi impor. Tertulis di sana, “Dalam teori ekonomi pembangunan, yang tak terakomodasi dalam rumus adalah kemiskinan.” Saya lupa apakah ini kesimpulan saya atau mengutip ucapan Profesor Dudung. Agaknya yang kedua.
Sebab dari situ saya berkenalan dengan pemikir-pemikir ekonomi yang termasyhur di perpustakaan IPB. Salah satunya E.F Schumacher lewat bukunya yang terkenal, Small is Beautiful (1973). Atau Ivan Illich, filsuf dan pastor Austria, yang selalu tajam menganalisis banyak hal dengan pembelaan pada manusia. Mereka mengkritik globalisasi yang tak mengindahkan sumber daya alam yang terbatas. Pemikiran yang gaungnya kemudian diamplifikasi oleh pemikir sosial Indonesia semacam Soedjatmoko.
Di tahun 1980-an, ketika Indonesia sedang menikmati bonanza kayu dan minyak, Soedjatmoko sudah mengingatkan bahaya membebek pada cara-cara negara lain mempraktikkan pembangunan. Menurut dia, yang harus dilakukan oleh para ilmuwan dan teknokrat adalah mempelajari teori orang lain lalu merumuskan kebijakan dengan berangkat dari realitas sosial Indonesia dengan basis pertimbangan manusia dan lingkungan. Seperti Schumacher, Soedjatmoko tak setuju ekonomi Indonesia dibangun dengan investasi asing dan industri ekstraktif karena membahayakan lingkungan di masa depan.
Cara terbaik pembangunan bagi dunia ketiga adalah memakai teknologi madya, yang ramah lingkungan. Industrialisasi akan menciptakan pusat-pusat ekonomi baru dengan kota-kota baru sebagai permukiman. Urbanisasi, dengan begitu, tak akan terbendung. Akibatnya, orang desa akan kehilangan kemampuan mengolah pangan. Ilmu ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan, akan benar-benar menjadi ilmu yang muram.
Fatamorgana ini, dalam kalimat Profesor Dudung, menuntut reorientasi ilmu ekonomi agar pengelolaan sumber daya tak salah arah dan mengakibatkan kerusakan dan bencana. Maka ia pula yang menjadi pionir mengajukan konsep bahwa nilai hutan tak semata kayu. Pada 1980-an, ia meneliti air di Gunung Pangrango sebagai bagian tak terpisahkan dari nilai hutan. Masalahnya, menurut Profesor Hariadi Kartodihardjo yang diminta membahas pemikiran Profesor Dudung, pendekatan ini belum bisa diterima oleh banyak kalangan.
Pendekatan kebijakan, menurut Profesor Hariadi, masih bertumpu pada aspek hukum dan administrasi. Negara membuat undang-undang untuk melarang dan mendorong orang melakukan sesuatu dalam pembangunan dengan memakai sanksi. Akibatnya, sumber daya alam dan akses masyarakat lokal terhadap hutan terpinggirkan, karena ketidakcukupan pengetahuan dan modal.
Secara ekologi politik, dalam istilah Profesor Hariadi, pengelolaan sumber daya alam dengan cara seperti itu melahirkan “rezim akumulasi atau rezim perampasan” yang menciptakan jurang ketimpangan. Pada 2014, 96% manfaat hutan dinikmati oleh usaha besar, sementara hanya 4% menetes kepada masyarakat kecil. Sesuatu yang sudah lama menjadi ladang pemikiran Profesor Dudung agar ekonomi tak menjadi ilmu yang murung.
Selamat ulang tahun!
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Mengelola blog catataniseng.com. Menjadi wartawan sejak 2001 dan penerima penghargaan Mochtar Lubis Award serta Jurnalis Jakarta Award untuk liputan investigasi. Bukunya: #kelaSelasa: Kumpulan Twit tentang Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita
Topik :