Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 September 2020

7.000 Desa Rentan Terkena Dampak Krisis Iklim

Banyak desa tak punya kapasitas menghadapi bencana akibat krisis iklim. Kelompok miskin paling rentan.

KRISIS iklim menimpa siapa saja di planet ini, tapi dampaknya tak sama untuk tiap orang bahkan tiap lapis masyarakat. Negara-negara di dunia ketiga terkena dampak paling besar. Di dalamnya penduduk di perdesaan yang terimbas paling besar, dan di dalamnya lagi kelompok berpenghasilan rendah. Selama 10 tahun pada 2008-2018, setiap 2 detik ada satu jiwa yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana, menurut laporan Oxfam, sebuah LSM.

Dampak krisis iklim di negara ketiga terjadi akibat adaptasi yang rendah akibat kurangnya infrastruktur dan teknologi, dibanding negara kaya. Karena itu, fokus kampanye remaja-remaja peduli iklim di Eropa adalah menuntut pemerintahannya segera membuat kebijakan yang ramah lingkungan, terutama investasi mereka di dunia ketiga.

Indeks Ketahanan Perubahan Iklim (Climate Change Resilience Index) dari Economist Intelligence Unit (EIU), sayap riset majalah The Economist, mendukung pandangan ini. Hasil analisisnya menunjukkan secara umum negara berkembang memang lebih rentan ketimbang negara yang kaya secara ekonomi.

Dari analisis EIU terlihat bahwa pemanasan suhu bumi akan mampu menurunkan produk domestik bruto (PDB) global sebesar 3% pada 2050. Afrika, salah satu wilayah yang rentan, yang nilai PDR mereka diprediksi tergerus hingga 4,7%.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklasifikasikannya lebih rinci dalam lingkup nasional. Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian LHK, Sri Tantri Arundhati ,menyebut hampir 7.000 desa yang punya kerentanan tinggi terdampak perubahan iklim.

Berdasarkan data komponen desa 2018 yang dipaparkannya, 6.885 (8,20%) dari 83.931 wilayah desa di Indonesia, berpotensi tinggi terdampak bencana. “Definisi rentan adalah jika desa tidak punya kapasitas adaptasi atau mitigasi terhadap dampak perubahan iklim,” kata dia, 23 September 2020.

Sri menjelaskan desa-desa sisanya atau sekitar 75.687 (90,18%) berada di kondisi dengan tingkat kerentanan sedang. Desa-desa kategori ini tetap punya risiko naik menjadi tinggi atau sangat tinggi jika tak punya penanganan kapasitas mitigasi.

KLHK meminta pemerintah daerah berperan aktif dalam mendorong pemerintah desa menaikkan kapasitas adaptasi terhadap bencana akibat perubahan iklim. Terutama, terhadap mereka yang berada dalam golongan penghasilan rendah.

Seperti laporan Oxfam itu, golongan miskin tak akan memiliki alternatif tempat tinggal ketika rumah mereka tersapu bencana, semacam angin topan atau banjir bandang. “Orang kaya bisa pindah ke hotel,” kata Sri.

Di sisi lain, ia mengakui upaya mitigasi iklim yang selama ini dijalankan meninggalkan catatan. Indonesia memerlukan penyesuaian dan kesigapan atas dampak perubahan iklim yang semakin menjadi.

Perbaikan dibutuhkan karena bencana di Indonesia cenderung memburuk dan meningkat intensitasnya. Banjir di pelbagai tempat dalam beberapa hari terakhir menunjukkan banyak desa kian rentan terkena bencana akibat kerapuhan hutan penyangga di sekitar mereka.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Ruandha Agung Sugardiman menambahkan bahwa mitigasi perubahan iklim mesti menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Menurut dia, dengan mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pada 2005-2015 yang dirilis tahun lalu sebanyak 80% bencana berkaitan dengan krisis iklim.

Bank Pembangunan Asia mencatat dampak buruk krisis iklim terhadap ekonomi. Banjir bandang membuat ekonomi masyarakat terhenti. Sehingga bencana akibat krisis iklim mempengaruhi ekonomi nasional sebanyak 0,3%.

Karena itu, kata Ruandha, pemahaman atas penyebab dan dampak perubahan iklim perlu dibangun secara berjenjang sampai tingkat tapak. Agar seluruh pihak dapat berkontribusi nyata dalam mewujudkan tujuan pembangunan yang rendah emisi dan mitigasi kenaikan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia yang makin bertambah.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain