PERKUMPULAN untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mengajukan amicus curiae brief ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada 21 September 2020. Mereka meminta hakim membatalkan surat Presiden Joko Widodo yang mengantarkan naskah omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ke DPR.
Amicus curiae adalah bahasa Latin untuk “sahabat pengadilan”. Di negara-negara common law, cara ini biasa dipakai oleh para pihak yang terlibat dalam sebuah perkara untuk memberikan opini agar dipertimbangkan hakim. Indonesia yang menganut civil law tak punya tradisi ini, tapi para ahli hukum menganggap, praktiknya sudah lama terjadi dan diakui oleh hukum positif seperti dalam Undang-Undang 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Pasal 5 ayat 1 undang-undang itu menerakan: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Dengan dasar ini sudah banyak masyarakat yang mengajukan amicu curiae untuk pelbagai kasus hukum.
Dengan dasar itu pula, HuMa mengajukannya untuk menangkal surat Presiden nomor R-06/Pres/02/2020. Pendapat tersebut untuk mendukung gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Konfederasi Persatuan Buruh, dan Konsorsium Pembaruan Agraria atas surat tersebut nomor 97/G/2020/PTUN.JKT. “Amicus curiae brief merupakan ruang bagi yang berkepentingan terhadap suatu perkara yang sedang disidangkan untuk memberikan pendapat hukumnya dengan harapan untuk menambah pertimbangan majelis hakim,” kata Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia, Dahniar Andriani.
HuMa, LSM yang fokus mengadvokasi masyarakat hukum adat, berkepentingan atas pembahasan RUU Cipta Kerja yang terlalu berpihak pada investasi sehingga bisa mengancam keberadaan masyarakat adat di sekitar hutan. Menurut Dahniar, surat presiden menunjukkan penyusunan RUU Cipta Kerja versi pemerintah telah rampung sehingga naskahnya bisa dibahas DPR. Kini parlemen sedang mengebut membahasnya.
Dalam amicus curiae itu, kata Dahniar, HuMa menunjukkan referensi tambahan soal dasar hukum kewajiban pemerintah dan DPR melibatkan masyarakat adat dalam membahas sebuah kebijakan yang berpotensi mempengaruhi masa depan mereka.
Menurut Dahniar, poin-poin RUU Cipta Kerja tak memasukkan perspektif kepentingan masyarakat adat. Padahal mereka akan terdampak jika RUU itu disahkan. “Penyusunan RUU Cipta Kerja tidak partisipatif, dan secara khusus sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat,” kata Dahniar.
Tanpa melibatkan pihak yang berkepentingan, kata Dahniar, pembahasannya melanggar Undang-Undang Nomor 12/2011 dan 30/2014. “Secara khusus, melanggar prinsip free, prior, informed consent, yang mengharuskan pemerintah meminta persetujuan kepada masyarakat adat sebelum menerbitkan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan mereka,” kata dia.
Bahkan, Dahniar menunjuk UU Nomor 29/1999 yang mengatur pembahasan kebijakan tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai bentuk diskriminasi rasial. Sebab, jika RUU Cipta Kerja disahkan, masyarakat adat yang ada di sekitar hutan akan tersingkir ketika pemerintah memberikan izin membuka lahan kepada industri untuk menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan ekonomi.
“Kami menyusun amicus brief sebagai bentuk solidaritas penolakan RUU Cipta Kerja yang sedang dikebut oleh pemerintah dan DPR. RUU Cipta Kerja akan berdampak buruk bagi masyarakat adat, masyarakat lokal, petani, perempuan, buruh, nelayan, aktivis lingkungan, guru dan dosen, mahasiswa, konsumen, pengusaha sektor informal, pencari kerja, dan secara umum memang sangat merusak tatanan demokrasi kita,” kata Dahniar.
Ada sembilan poin isu krusial dalam amicus curiae tersebut:
Pasal inkonstitusional. RUU Cipta Kerja menghidupkan pasal-pasal inkonstitusional yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. “Khusus mengenai masyarakat adat, kata Dahniar, RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 karena menghidupkan kembali aturan inkonstitusional Pasal 50 ayat (3) huruf e dan i Undang-Undang Kehutanan yang bisa dipakai mengriminalisasikan masyarakat adat yang hidup di hutan dan sekitar hutan. Menurut MK, masyarakat yang hidup secara turun temurun di hutan berhak untuk menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan serta menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan tidak untuk kepentingan komersial, sekalipun tanpa izin khusus dari pemerintah.
Luasnya kekuasaan presiden. Pasal 166 angka 3 RUU Cipta Kerja memberi jalan bagi Presiden untuk membatalkan berbagai peraturan daerah pengakuan masyarakat adat yang mulai banyak diterbitkan sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang memisahkan hutan adat bukan hutan negara. Menurut Dahniar, dengan ketentuan itu, Presiden bisa membatalkan peraturan-peraturan daerah memakai Peraturan Presiden apabila menganggapnya menghambat investasi. Padahal, aturan-aturan daerah itu merupakan syarat formal masyarakat adat mendapatkan penetapan wilayah mereka.
Tumpah tindih. RUU Cipta Kerja berdalih menyelesaikan kesemrawutan aturan. Kenyataannya justru mengukuhkan tumpang tindih dan ketidakjelasan pengakuan masyarakat adat dalam undang-undang sektoral. Dalam RUU Cipta Kerja ada tiga mekanisme berbeda dan tidak sinkron berkaitan dengan pengakuan masyarakat adat. Pengakuan wilayah adat juga belum mendapat kejelasan dalam RUU ini. Akibatnya, masyarakat adat akan semakin kesulitan untuk mempertahankan wilayahnya dari akuisisi tanah untuk kepentingan investasi.
Berpihak pada investor besar. Aturan-aturan dalam RUU Cipta Kerja semakin memberikan keleluasaan bagi investor besar untuk merampas tanah masyarakat adat dan lokal. Misalnya aturan mengenai bank tanah. Jangka waktu hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai sampai 90 tahun terlalu panjang. Juga adanya jaminan negara untuk memfasilitasi perusahaan pertambangan dalam konflik lahan, perluasan alasan pembukaan lahan untuk kepentingan umum, dan penghapusan larangan bagi perusahaan perkebunan untuk menelantarkan tanah.
Tertutup gugatan. Masyarakat adat dan lokal kehilangan banyak kesempatan untuk mengajukan upaya hukum karena dihilangkannya berbagai instrumen keputusan tata usaha negara yang dapat digugat dalam RUU Cipta Kerja. Kesempatan reclaiming bagi masyarakat pun semakin tertutup karena perusahaan berhak menelantarkan tanah dan hak atas tanah diberikan sampai 90 tahun.
Mengancam mata pencarian. RUU Cipta Kerja akan menghilangkan mata pencarian tradisional masyarakat yang hidup dari mengelola tanah, hutan, dan sumber daya alam secara subsisten. Dengan dirampasnya wilayah kelola masyarakat adat dan lokal, yang berimbas pada hilangnya pencaharian tradisional mereka, akan secara signifikan memaksa jutaan anggota masyarakat adat dan lokal beralih pekerjaan yang akan menambah angkatan kerja yang tidak terserap sektor formal.
Bencana ekologis. Substansi RUU Cipta Kerja yang menghilangkan berbagai instrumen pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup (izin-izin) akan mengakibatkan bencana ekologis, yang paling membahayakan bagi masyarakat adat dan lokal. Kebakaran hutan dan lahan sebagai cara membuka wilayah akan membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat yang hidup di dalam hutan dan di sekitar hutan, atau yang hidup berdekatan dengan areal konsesi perusahaan yang terbakar.
Hukum longgar perusak lingkungan. RUU Cipta Kerja menghapus dan/atau melonggarkan berbagai ancaman pidana bagi perusahaan perusak lingkungan. RUU ini bahkan menambah setidaknya dua pasal baru yang bisa dipakai mengriminalisasi masyarakat adat: (1) menghidupkan kembali aturan inkonstitusional Pasal 50 (3) huruf e dan i UU Kehutanan; dan (2) menghapus pengecualian larangan pembukaan lahan dengan membakar bagi masyarakat adat yang memanfaatkan kearifan lokal mereka.
Perempuan adat semakin rentan. Pengetahuan tradisional yang diampu oleh perempuan adat terancam hilang dengan dirampasnya wilayah kelola mereka. Perampasan lahan dan bencana ekologis sebagai ujung dari RUU Cipta Kerja juga akan memiskinkan perempuan adat dan menguatkan ketidakadilan gender. Menurut Dahniar, perempuan dan kelompok minoritas dan rentan yang terpaksa mengungsi atau terusir dari tempat tinggalnya akibat perampasan lahan atau bencana ekologis rentan mengalami pelecehan seksual, kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan persekusi.
Poin-poin tersebut diajukan koalisi masyarakat sipil karena dalam 32 tahun pengalaman Orde Baru, industri ekstraktif yang mengeruk sumber daya alam membuat krisis iklim makin nyata. Sebanyak 34 juta hektare tutupan hutan hilang, deforestasi, dan naiknya emisi karbon. Sementara masyarakat adat yang mempraktikkan hidup ramah lingkungan semakin tersisih dan terusir dari ruang hidup mereka. Menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara kini 80% wilayah adat tertindih izin-izin usaha perkebunan dan hutan tanaman industri.
Koreksi: Pengaju amicus curiae hanya HuMa, tiga organisasi lain sebagai penggugat. Mohon maaf atas kekeliruan ini.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :