Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 29 September 2020

Pohon Gemor yang Multifungsi

Seorang petani di Kalimantan Tengah membudidayakan pohon gemor yang mahal. Setelah eksploitasi besar-besaran yang membuatnya punah, gemor tumbuh lagi di kebun-kebun petani. Pohon gemor bisa jadi bahan obat diabetes dan antinyamuk.

Gemor

PERNAH dengar pohon gemor? Ia jenis pohon cepat dan mudah tumbuh, terutama di rawa gambut tipis. Karena itu pohon gemor (Nothaphoebe coriacea) tumbuh subur di Kalimantan. Ini pohon keluarga Lauraceae yang bernilai ekonomi tinggi. Masyarakat Dayak biasa mencari dan mengumpulkan kulit gemor sebagai bahan baku obat antinyamuk dan lem. Biasa juga dipakai sebagai dupa untuk keperluan ritual.

Eksploitasi besar-besaran pohon gemor membuat keberadaannya makin langka. Pengambilan kulit dengan menguliti maupun menebangnya membuat pohon gemor kini sulit dijumpai di hutan-hutan rawa gambut Kalimantan.

Konstruksi Kayu

Saya bertemu Alpian. Laki-laki 45 tahun yang tinggal di Desa Babirah, Kecamatan Pulau Hanaut, Kalimantan Tengah. Pekerjaannya mencari gemor. Menurut dia, pada awa 2000-an ia hanya perlu 15 menit masuk ke hutan dan menemukan gemor. Kini hutan-hutan itu terlah beralih fungsi menjadi lahan pertanian yang dibuka masyarakat maupun pemerintah, atau karena terbakar. Alpian perlu berjalan hingga tiga kilometer masuk hutan untuk mencari gemor.

Pada 2000, Alpian gampang saja mendapatkan gemor. Sehari ia mendapatkan 1 kuintal kulit gemor basah. Harganya lumayan mahal: Rp 250 ribu kulit basah dan Rp 500 ribu untuk kulit kering per kuintal. Untuk kulit kering separuh harga dipotong 15% dari harga kering mati.

Alpian menjualnya ke Haji Asah, pengepul di Samuda, Kota Waringin Timur. Dengan pendapatan 1 kuintal gemor sehari, Alpian hidup cukup. “Sekarang sudah jarang mencari gemor karena hutan jadi jauh dan sudah sulit didapatkan,” kata Alpian.

Pohon gemor sebenarnya cepat tumbuh. Setelah dikuliti atau ditebang ia segera tumbuh tunas baru. Syaratnya, pangkal tidak dihabiskan ketika ditebang, sekitar 30-40 sentimeter dari akar. Cara lain, tak mengupas kulitnya. Jika caranya benar, gemor yang ditebang bisa tumbuh 3-5 tunas baru setelah ditebang sebulan kemudian.

Masalahnya, kearifan turun-temurun itu tak menetes kepada generasi muda. Menurut Alpian, seiring makin banyaknya pencari gemor, mereka tak memiliki pengetahuan cara mengambilnya. Banyak yang menebang gemor sebelum besar sehingga pohon ini tak banyak tumbuh.

Selain mudah tumbuh, gemor juga tahan api. Dalam banyak kebakaran hutan sebelum tahun 2000, ketika terlalap api, gemor tak mati. Hanya kulitnya saja yang hangus. Setelah itu ia tumbuh lagi seperti semula.

Kelangkaan gemor membuat permintaannya jadi tinggi. Tapi pandemi virus corona covid-19 membuat distribusi jadi terkendala. Harganya kini di bawah Rp 500 ribu kuintal kulit kering. Padahal, sebelum wabah bulan Maret 2020, harganya sempat tembus Rp 700.000 hingga Rp 1 juta per kuintal kulit kering mati.

A. Alpian di kebun karet, B. Tanaman Sela gemor dan C. Terubusan Gemor setelah ditebang.

Karena langka di hutan, Alpian lalu mengambil bibitnya untuk ia tanam di kebun. Itu cerita empat tahun lalu. Anakan gemor itu ia tanam di sela-sela pohon karet. Rupanya gemor bisa tumbuh di mana saja. Tiga tahun berselang pohonnya tumbuh berdiameter 20 sentimeter. Alpian bisa memanen kulitnya 50 kilogram dari satu pohon. Ketika dikeringkan beratnya menyusut separuhnya.

Alpian berhitung, seandainya ia memiliki 100 batang pohon gemor di sela kebun karet, penghasilannya akan lumayan. Misalnya, harga normal 1 kuintal Rp 1 juta, hasil dari 1 pohon gemor berusia tiga tahun sama dengan Rp 250 ribu sekali panen, pendapatannya Rp 25 juta. “Itu tanpa pemupukan dan perawatan, hanya perlu pembersihan saja,” kata dia.

Dari satu anakan gemor empat tahun lalu, Alpian kini sudah memiliki 36 pohn gemor di sela kebun karetnya. Pohon gemor yang ia tebang empat tahun lalu juga sudah kembali bertunas.

Selain menjadi bahan obat nyamuk, gemor juga rupanya multifungsi. Menurut penelitian Purwanto Budi Santosa dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjar Baru, kulit gemor mengandung senyawa fitokimia yang bisa menurunkan risiko diabetes dan tidak bersifat toksik. “Penelitian yang kami lakukan tiga tahun lalu menunjukkan hasil yang meyakinkan bahwa gemor dapat digunakan sebagai suplemen herbal penderita diabete melitus,” kata Purwanto.

Purwanto menguji gemor secara organoleptik. Hasilnya, gemor bisa disajikan dalam bentuh teh. Formulanya mempunyai tingkat penerimaan yang baik. Purwanto kini sedang berinovasi menjadikan racikan gemor sebagai teh celup agar mudah disajikan dan dikonsumsi.

Menurut Susi Andriani, salah satu dari peneliti teh gemor dari BP2LHK Banjar Baru, teh ini belum tersedia di pasar karena bahan bakunya yang sulit. Cara budidaya stek tidak memuaskan karena pohon gemor banyak mengeluarkan getah ketika dipotong bagian yang akan dijadikan bahan stek.

Barangkali kita mesti belajar kepada Alpian. Sampai bulan lalu, gemor di kebunnya tumbuh subur. Hanya saja Alpian masih memakai cara konvensional dalam memanen kulit kayunya, belum menyentuh inovasi seperti penelitian Balai Kehutanan Banjar Baru.

Teh gemor yang dibuat Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjar Baru.

Menyadari dua kepentingan itu, Katingan-Mentaya Project—sebuah inisiatif restorasi ekosistem 157 ribu hektare di Kalimantan Tengah—mendorong masyarakat membudidayakan gemor di kebun mereka seperti yang dilakukan Alpian, yang lokasinya berada dekat areal konsesi KMP. Sehingga Balai Penelitian memiliki bahan baku untuk penelitian dan pengembangan produknya. Teh gemor tak hanya dari kulit, melainkan dari daun sehingga masyarakat tak perlu menunggu waktu lama untuk panen.

Hal paling penting untuk jadi pengetahuan adalah memanfaatkan gemor tanpa menebang seperti dilakukan Alpian. Perlu ada pengembangan teknologi perbanyakan tanaman secara vegetatif maupun generatif alangkah memakai kultur jaringan.

Artikel ini terbit atas kerja sama Forest Digest dan Katingan-Mentaya Project.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Staf di Katingan-Mentaya Project

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain