Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Oktober 2020

Pemutihan Usaha di Kawasan Hutan

Pasal 110A yang disisipkan dalam UU Cipta Kerja akan melegalkan industri yang telanjur berada di kawasan hutan. Perambah ilegal langsung didenda.

Sawit

DALAM Undang-Undang (UU) Cipta Kerja versi final 905 halaman ada pasal yang disisipkan antara pasal 110 dan 111 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (P3H).

Ada tiga ayat dalam pasal dengan nomor 110A itu. Ayat 1 berbunyi: Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Dalam jumpa pers 8 Oktober 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menjelaskan bahwa pasal ini menjadi jalan keluar problem menahun ketelanjuran di kawasan hutan. Izin-izin perkebunan yang diberikan oleh pemerintah daerah setelah otonomi ternyata berada di kawasan hutan yang melanggar UU P3H itu. Pasal 110A ini, kata Siti, akan “Mengatasi masalah yang sudah cukup panjang sejak desentralisasi.”

Usaha-usaha perkebunan atau pertambangan berstatus legal karena mendapatkan izin dari gubernur atau bupati. Namun, lokasinya berada di kawasan hutan. Pada 2007-2013 saja luasnya sekitar 7 juta hektare. Usaha perkebunan, menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi, dari 16 juta hektare sebanyak 3 juta hektare berada di kawasan hutan.

Dengan pasal 110A tersebut, pengusaha diberi waktu selama tiga tahun untuk mengurus segala persyaratan agar usahanya menjadi legal. “Kami lihat di pasal 110A ini tidak dijelaskan batasan persyaratan kawasan hutan yang mana yang wajib menyelesaikan persyaratannya,” kata Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebuah LSM, Grita Anindarini.

Menurut Grita, pasal ini meluaskan kesempatan bagi pengusaha mengurus ketelanjuran usaha di kawasan hutan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 104/2015. Pasal 51 aturan itu membatasi waktu penyelesaian hanya satu tahun. Dengan ditambah dua tahun, pengusaha punya kesempatan lebih leluasa mengurus izin kebun atau tambang yang berada di kawasan hutan. “Dalam aturan PP 104 itu kami juga punya catatan dalam hal akuntabilitasnya,” kata Grita.

Meskipun Menteri Siti Nurbaya menyebut penyelesaian ketelanjuran untuk “izin-izin kebun”, sesungguhnya pasal 110A tak secara jelas menyebutkan jenis usahanya. Sehingga, kata Grita, pasal ini mengatur hal yang terlalu luas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Juga, tak ada penjelasan jenis kawasan hutan yang akan disesuaikan dengan usaha yang akan dilegalkan itu.

Ayat 2 pasal itu mengatur sanksi jika pengusaha tak bisa menyelesaikan pengurusan syarat berupa penghentian sementara kegiatan usaha, denda, hingga pencabutan izin. Ayat 3 menyebutkan ketentuan lengkapnya akan diatur dengan peraturan pemerintah.

Frasa “akan diatur dengan peraturan pemerintah” dalam UU Cipta Kerja berjumlah 339. Artinya, pemerintah mesti membuat PP tersendiri untuk tiap-tiap ketentuan. Pasal 185 dalam ketentuan peralihan menyebut semua PP atau Peraturan Presiden yang menjadi turunan UU Cipta Kerja mesti selesai dalam waktu tiga bulan.

Cipta Kerja vs Hutan Kita

Jika menghitung dari waktu pengesahan 5 Oktober 2020, tiga bulan berarti 4 Januari 2020. Pemerintah hanya punya 64 hari kerja menuju tanggal itu. Artinya, sejak 6 Oktober, pemerintah mesti membuat setidaknya 7 peraturan pemerintah atau peraturan presiden per hari.

Ketelanjuran usaha di kawasan hutan tak hanya dilakukan industri, tapi juga perorangan yang tak memiliki izin dari pemerintah daerah. Biasanya ini perambah-perambah perorangan. Menurut KPK, setidaknya ada 1,5 juta hektare perkebunan sawit rakyat di kawasan hutan.

Berbeda dengan industri, untuk usaha perseorangan di kawasan hutan UU Cipta Kerja langsung menghukumnya. Klausulnya diatur dalam pasal 110B yang menghukum mereka dengan penghentian sementara kegiatan usaha, denda, atau paksaan pemerintah. Tak ada kejelasan jenis-jenis teknis sanksi itu karena akan diatur dalam PP.

Dalam ketentuan penjelasan untuk pasal ini hanya dijelaskan dendanya, yakni Rp 5-15 juta per hektare dari keuntungan per tahun. Dalam penjelasan pasal itu ada ketentuan yang mengecualikan denda untuk mereka yang menguasa lahan hutan seluas maksimal 5 hektare.

Sawit di hutan kita.

Urusan ketelanjuran usaha di kawasan hutan, seperti dikatakan Siti, memang sudah menahun dan jadi problem akut hingga menjadi kampanye buruk bagi pengelolaan hutan dan produk Indonesia, seperti sawit, di pasar internasional. Dalam buku Hutan Kita Bersawit, para peneliti merekomendasikan agar sawit rakyat diakui dalam program perhutanan sosial. Sementara untuk industri besar memakai penegakan hukum, dengan denda dan hukuman penjara.

Dalam teknik agroforestri, sawit diakui sebagai salah satu tanaman yang bisa ditanam di lahan hutan, bersanding dengan pohon berkayu. Masyarakat sudah mempraktikkannya di lahan-lahan milik sejak lama.

Catatan koreksi: dalam infografik Sawit di Hutan Kita ada kekeliruan sebelumnya "hutan produksi konservasi".

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain