Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 12 Oktober 2020

Masa Depan Hutan Indonesia

Omnibus law UU Cipta Kerja menghapus ketentuan mempertahankan minimal 30% hutan di suatu pulau. Hutan Papua dalam ancaman.

Ekosistem hutan Batangtoru di Sumatera Utara (Foto: Wanda Kuswanda)

OMNIBUS law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menghapus ketentuan 30% luas minimal hutan di sebuah daerah aliran sungai atau pulau. Batas minimal ini diatur sejak 1999 pada pasal 18 Undang-Undang Nomor 41 tentang kehutanan.

Dalam omnibus law UU Cipta Kerja, pasal 18 ini hanya mewajibkan pemerintah mempertahankan luas kecukupan hutan untuk satu wilayah. Bunyi pasal berisi 3 ayat ini tak berubah baik dalam UU versi 905, yang beredar setelah paripurna DPR 5 Oktober 2020, halaman maupun 1.035 halaman yang disebut-sebut sebagai versi superfinal untuk ditandatangani Presiden.

Bunyi pasal 18 UU Kehutanan:

(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Bunyi pasal 18 UU Cipta Kerja versi 905 halaman:

(1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

(2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bunyi pasal 18 UU Cipta Kerja versi 1.035 halaman:

(1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau guna pengoptimalan manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

(2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebuah LSM, yang mengikuti pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja mengungkap bagaiamana pasal ini berubah. Menurut Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, Grita Anindarini, argumen dasar penetapan penghilangan batas minimal hutan 30% kurang kuat.

“Argumen yang diangkat antara lain ada beberapa provinsi yang hutannya sudah di bawah 30% dari luas wilayahnya, seperti di Jawa,” kata Grita. “Tapi argumen ini dipakai untuk melegalkan seluruhnya.”

Dampak pertama dari penghilangan batas ini, kata Grita, adalah naiknya deforestasi karena tak ada lagi keharusan pemerintah mempertahankan hutan di sebuah wilayah. Deforestasi adalah penggundulan hutan untuk keperluan lain: perkebunan, pertambangan, pertanian, permukiman. Angka deforestasi Indonesia sudah turun sejak 1997. Bahkan Norwegia dan Green Climate Fund menghargai usaha Indonesia dalam menurunkan deforestasi itu dengan hibah Rp 813 miliar dan Rp 1,5 triliun bulan lalu.

Angka deforestasi selalu jadi bulan-bulanan Indonesia di dunia internasional. Dengan menghilangkan batas 30% angka ini diprediksi akan naik karena pemerintah bisa saja memberikan izin kepada industri untuk mengokupasi hutan untuk pelbagai tujuan. “Kami sangat menaruh perhatian di sini,” kata Grita.

UU Cipta Kerja juga bertentangan dengan tren dunia saat ini. Dalam laporannya Agustus lalu, Badan Pangan Dunia (FAO) merilis bahwa deforestasi global turun karena ada banyak program menanami kembali hutan untuk mencegah pemanasan global. Komitmen 197 negara menurunkan emisi dalam Konferensi Perubahan Iklim membuat angka deforestasi dari 16 juta hektare per tahun pada 1990-2000 turun menjadi 10 juta hektare pada sepuluh tahun terakhir. Total luas kehilangan hutan setahun masih tinggi: 420 juta hektare secara global.

Deforestasi menjadi momok pengelolaan hutan Indonesia.

Menurut Grita, penghapusan luas minimal 30% hutan makin tak jelas jika menilik naskah akademik RUU Cipta Kerja. “Naskah akademik tidak pernah menjelaskan urgensi kenapa Undang-Undang Kehutanan harus diubah,” katanya.

Dalam pembahasan, kata Grita, fraksi-fraksi DPR menolak usulan penghapusan 30% yang diajukan pemerintah ini. Karena pembahasan rada alot, pembahasannya ditunda. Nyatanya, penghapusan itu tetap meluncur dalam naskah final.

Dengan penghapusan batas minimal itu, deforestasi akan melanda pulau-pulau yang masih lebat hutan primernya, seperti Papua. Ketentuan ini juga menjadi ancaman Deklarasi Manokwari 2018 yang menetapkan komitmen Papua Barat mempertahankan 70% kawasan lindung.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain