HAK-hak hidup masyararakat desa hutan, khususnya mereka yang bertempat tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan negara, bersentuhan dengan beragam aturan yang mengatur sektor, termasuk Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan DPR pada 5 Oktober 2020.
Omnibus law UU Cipta Kerja ini mengubah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. Pada paragraf 4 pasal 35 RUU Cipta Kerja—karena versi super final belum secara resmi dirilis—disebutkan bahwa undang-undang ini untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan.
Berkenaan dengan nasib penghidupan masyarakat desa hutan, akan saya disinggung beberapa hal (analisis lengkap UU Cipta Kerja ada di sini)
Pertama, di dalam RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa perizinan berusaha untuk pemanfaatan hutan lindung (yang berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu) dan pemanfaatan hutan produksi (yang berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu) bisa diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau badan usaha milik swasta (BUMS).
Ketentuan ini meluaskan kesempatan bagi BUMN, BUMD, dan BUMS untuk memanfaatkan kawasan dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, suatu hal yang diatur dalam Undang-Undang Kehutanan pasal 27 dan 29 izinnya diberikan hanya kepada perorangan dan koperasi masyarakat desa hutan.
Perizinan berusaha untuk BUMN, BUMD, dan BUMS berarti mengurangi atau membatasi kesempatan bagi masyarakat desa hutan mendapatkannya. Dengan kata lain, masyarakat desa hutan semakin terpinggirkan aksesnya terhadap sumberdaya hutan.
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dan hutan produksi berupa usaha penggunaan kawasan hutan seperti budidaya tanaman dan penangkaran satwa untuk memperoleh manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat desa hutan. Sementara pemungutan hasil hutan berupa kegiatan mengambil hasil hutan kayu (di dalam hutan produksi) dan bukan kayu seperti rotan, madu, dan buah (di dalam hutan lindung dan hutan produksi).
Apabila perizinan berusaha ini diberikan kepada BUMN, BUMD, dan BUMS berarti tingkat pemanfaatannya akan lebih intensif dan dampak negatif lingkungan (ekologis) dan sosialnya akan lebih besar.
Pada pasal 27 dan 29 ini, terdapat pula perubahan urutan penyebutan yang akan diberi perizinan berusaha. Pada Undang-Undang Kehutanan, urutannya perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN atau BUMD. Sedangkan pada RUU Cipta Kerja urutannya perorangan, koperasi, BUMN, BUMD, dan BUMS. Apakah urutan penyebutan ini mengandung maksud urutan prioritas? Belum jelas. Pada Undang-Undang Kehutanan, secara eksplisit disebutkan BUMS Indonesia, sedangkan pada RUU Cipta Kerja kata Indonesia dihapus, barangkali maksudnya hendak membuka peluanglebih besar lagi bagi investor asing.
Kedua, setiap BUMN, BUMD, dan BUMS yang memperoleh perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wajib bekerja sama dengan koperasi dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sebagaimana disebutkan pada pasal 30.
Substansi ketentuan ini tidak berubah, hanya berubah susunan kalimatnya. Dalam hal ini, selain bisa memperoleh perizinan berusaha perorangan atau dengan mendirikan koperasi, masyarakat desa hutan bisa memperoleh kesempatan bekerja sama dengan BUMN, BUMD, dan BUMS yang memegang perizinan berusaha. Kewajiban BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia bekerja sama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional.
Sebaliknya, masyarakat setempat yang memperoleh izin usaha pemanfaatan kawasan secara perorangan atau koperasi bisa bekerjasama dengan BUMN, BUMN, atau BUMS Indonesia. Dengan demikian, keduanya, masyarakat setempat dan Badan Usaha didorong untuk bekerjasama.
Namun, selama 20 tahun terakhir sejak Undang-Undang 41/1999 berlaku, bisa dilatakan mandat pemberdayaan koperasi masyarakat desa hutan menjadi tangguh, mandiri, dan professional, belum terwujud. Penegasannya kembali pada RUU Cipta Kerja apakah hendak diupayakan secara sungguh sungguh dalam waktu lebih cepat untuk mewujudkannya atau tetap basa-basi? Mudah-mudahan realisasinya ke depan benar-benar lebih nyata.
Ketiga, di dalam RUU Cipta Kerja pasal 29A untuk pertama kalinya perhutanan sosial disebut di dalam suatu undang-undang. Positifnya, mungkin program hutan sosial bisa jadi program strategis nasional, program lintas kementerian, atau setidak-tidaknya kementerian bidang kehutanan mendapat posisi yang lebih kuat dalam negosiasi anggarannya di APBN, dan program perhutanan sosial menjadi mainstream dalam pembangunan kehutanan.
Keempat, RUU Cipta Kerja menegaskan bahwa pemberian perizinan berusaha termasuk perhutanan sosial dilakukan oleh pemerintah pusat yang di dalam RUU ini adalah presiden. Selama ini perizinan hutsos diberikan oleh Menteri. Barangkali nanti di peraturan pemerintah akan diatur bahwa tugas Presidern ini dilimpahkan atau didelegasikan kepada Menteri. Dengan demikian masih tetap sentralistik.
Kelima, meskipun menghimpun sekian banyak undang-undang sektoral, namun RUU Cipta Kerja tidak mengintegrasikan sektor-sektor. Misalnya perhutanan sosial hanya disebut di dalam bidang kehutanan, tidak disingggung di dalam sektor lainnya. Jadi tetap sektoral.
Itulah beberapa hal berkenaan dengan nasib penghidupan masyarakat desa hutan di dalam RUU Cipta Kerja yang saya baca. Mungkin berbeda dengan RUU versi final yang dibahas dan disetujui oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020. Atau berbeda dengan versi UU Cipta Kerja yang disahkan oleh presiden kelak.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :