BEBERAPA waktu lalu, bersama sejumlah teman, kami membicarakan seberapa jauh studi lingkungan punya dampak pada proteksi lingkungan. Pembicaraan itu bermula dari survei kecil-kecilan yang saya lakukan kepada 31 orang teman. Pertanyaannya sederhana: seberapa penting manfaat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) terhadap pengendalian kerusakan lingkungan sehingga jadi debat panjang dalam omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Sebanyak 22 orang menjawab “tidak penting”, sisanya malah menganggap “sangat tidak penting”. Para “respoden” adalah mereka yang lebih dari 15 tahun berkecimpung dalam proteksi lingkungan dan penyusunan amdal, yakni para tenaga ahli, konsultan, pengusaha, juga tim penilai amdal di kabupaten, provinsi, maupun pusat.
Jika para pelaku saja menganggap amdal tidak penting, mengapa kita mempertahankannya? Amdal masih menjadi ikon paling populer dan hampir identik dengan lingkungan hidup itu sendiri. Di mesin pencari Google, kata “amdal” muncul semakin banyak pada periode 2004-2018 (Maulana, 2018). Sebagai kajian akademik dan produk hukum, dokumen amdal paling sering dibaca publik, untuk mengetahui seluk-beluk lingkungan hidup.
Barangkali soalnya bukan pada amdal tidak penting dalam membaca prediksi kerusakan lingkungan dari sebuah kegiatan. Soalnya adalah pembuatan amdal acap kali mengandung korupsi sehingga ia jadi dokumen yang dicari, dibuat dengan segala daya, tapi tak diperlukan karena tak dipercaya.
Dari obrol-obrolan dengan kolega itu ada satu dugaan bahwa sejak penetapan konsultan, penyusunan sampai pengesahan studi amdal, sekurangnya ada 32 celah potensi penyimpangan karena ada biaya transaksinya. Penyimpangan oleh para pelaku dari lembaga pemerintah pusat, daerah, konsultan, tenaga ahli, investor/pemrakarsa, atau masyarakat yang terkena dampak langsung dari sebuah kegiatan industri.
Dari pengakuan mereka, untuk menyusun dokumen amdal, permohonan informasi kesesuaian dengan tata ruang dan izin prinsip memerlukan biaya besar. Ada juga penyimpangan berupa penyusun amdal adalah aparat pemerintah yang terlibat atau mengatur biaya konsultasi publik. Siapa saja yang dilibatkan dalam konsultasi publik juga bisa diatur.
Selain korupsi, penyusunan amdal juga sarat konflik kepentingan. Aparat pemerintah dalam menentukan konsultan amdal mendapat imbalan jasa, bahkan mereka yang seharusnya menilai amdal malah terlibat dalam penyusunan dokumen itu.
Sementara itu konsultan penyusun amdal juga acap meminjam sertifikat kompetensi penyusun kompetensi penyusun amdal kepada konsultan lain. Saya pernah mengecek di Nusa Tenggara Barat, harga sertifikat pinjaman bervariasi dari Rp 6 juta hingga Rp 15 juta per sertifikat. Para konsultan juga acap memalsukan dukungan atau persetujuan masyarakat yang terdampak.
Suap kemudian juga mempengaruhi isi dokumen amdal. Nilainya bahkan bisa lebih besar dari studi amdal itu sendiri. Para pemrakarsa, umumnya investor proyek lebih mementingkan dokumen amdal sebagai persyaratan administrasi, bukan sebagai pedoman mereka membuat strategi dan rencana kegiatannya.
Setelah amdal jadi, dokumen itu harus dinilai oleh Komisi Penilai Amdal. Di sini ada biaya lagi. Nilainya kadang tak wajar bahkan di luar biaya penilaian. Bahkan ada tambahan kegiatan tanpa tanggung jawab memadai.
Responden survei mengatakan bahwa tata laksana penilaian bisa diatur tanpa urutan proses yang sesuai. Kerangka acuan dan andal maupun rencana kelola lingkungan (UKL) dan rencana pemantauan lingkungan (UPL) bisa dinilai bersamaan, termasuk penerbitan keputusan kerangka acuan dan surat keputusan lingkungan hidup sekaligus.
Dalam kekacauan itu, penilaian amdal sering kali mengabaikan aspek ilmiah dengan meminta imbalan biaya, dan penilaian hanya bersifat formalitas. Sementara rapat konsultasinya berulang-ulang yang dibiayai oleh pemrakarsa.
Cara penilaian seperti itu akan menghasilkan dokumen amdal yang keliru terutama ketika konsultan menyembunyikan isu krusial dan penting karena fokus pada tujuan penerbitan dokumen amdal sebagai ukuran keberhasilan pekerjaannya. Ditambah lagi pemrakarsa tak jujur menjelaskan rencana kegiatan usahanya. Toh, investor yang membayar semua keperluan pembuatan amdal itu.
Ada juga biaya pengambilan surat keputusan kelayakan lingkungan dan izin lingkungan dari pemerintah. Konsultan bisa saja memasukkan pos anggaran ini dan disetujui oleh pemrakarsa karena hanya mementingkan mengantongi dokumen itu agar usahanya segera beroperasi.
Kenyataan-kenyataan di atas sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum. Tak mengherankan pula jika dokumen amdal menjadi rendah kualitas dan validitasnya. Di sini pula alasannya mengapa amdal dipertahankan. Bukan untuk proteksi lingkungan melainkan karena transaksinya besar. Dus, ada persepsi di masyarakat bahwa tanpa amdal, lingkungan akan semakin rusak. Padahal, sudah jadi rahasia umum pula, amdal bisa dibuat setelah usahanya berjalan.
Maka daftar kegiatan wajib amdal terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2006 jenis usaha wajib amdal hanya 58, tahun 2012 naik jadi 72, lalu 87 pada 2019. Kenaikan jenis usaha wajib amdal ini menunjukkan pengetahuan dan teknologi untuk pengelolaan dampak lingkungan dari ribuan studi amdal sebelumnya tidak digunakan.
Teman saya, Doktor Soeryo Adiwibowo bersaksi bahwa studi amdal atas jenis kegiatan yang sama terus diproduksi sehingga menghasilkan amdal copas atau comot-pasang dari studi-studi sebelumnya. Karena itu dokumen amdal hanya semata syarat administratif—pandangan yang dilanggengkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja pasal 24, 26, 39 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pedoman penetapan dampak penting nomor 056/1994—yang menentukan isi amdal—hingga saat ini belum diganti.
Di negara lain, bila amdal suatu kegiatan usaha yang sama telah berulang kali dilakukan di lokasi yang berbeda-beda maka pengetahuan mengenai karakter dampak terhadap lingkungannya tak memerlukan amdal. Pengusaha tinggal menyiapkan teknologi yang mencegah dampak kerusakan yang telah diketahui dalam studi amdal sebelumnya.
Dengan demikian, di negara-negara lain yang lebih peduli lingkungan, kegiatan usaha wajib amdal dari waktu ke waktu semakin berkurang. Teknologi menjawab antisipasi atas dampak-dampak tersebut. Bagi usaha yang tidak wajib melakukan studi amdal diwajibkan melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang perkembangannya dibuka bagi publik dan pelaksanaannya diawasi pemerintah.
Dalam hal ini, reputasi kegiatan usaha yang dibuka bagi publik menjadi bagian penilaian besar-kecilnya risiko usaha itu bagi lingkungan hidup, yang menentukan sistem insentif dari pemerintah.
Saya jadi ingat apa yang disebut oleh William Gaddis dalam novel fiksinya A Frolic of His Own, “Justice?―You get justice in the next world, in this world you have the law (Keadilan?―Anda mendapatkannya di dunia berikutnya. Di sini Anda punya hukum).”
Masyarakat luas berharap lingkungan hidup menjadi lebih baik, karena itu kita ingin amdal tidak dihapus sebagai syarat izin berbisnis dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Memang di draf final tidak dihapus. Tapi penyederhanaan dan prosesnya yang makin tertutup akan menyuburkan praktik-praktik penyelewengan.
Maka, seharusnya rahasia umum itu dideklarasikan, diakui, dibuka ke publik untuk memperbaikinya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :