DI hutan alam, pepohonan bertahan hidup menghadapi dan beradaptasi dengan berbagai gangguan selama berabad-abad. Adaptasi dengan gangguan itu sampai pada keseimbangan hingga menjadi bagian siklus hidupnya. Karena itu di hutan, gangguan menjadi bagian penting dalam dinamika hidupnya, yaitu proses perubahan terus-menerus yang terjadi pada ekosistem, yang pada skala besar dan jangka waktu lama mendorong terjadinya suksesi.
Dinamika hutan alam akan sempurna jika ia tidak terganggu oleh manusia. Dalam ilmu kehutanan, siklus ini menjadi inspirasi pengelolaan hutan tanaman dan menjadi acuan silvikultur secara umum. Saya memikirkan soal ini ketika hiking di Pine grove trail, sebuah kawasan hutan tanaman di Ottawa, Kanada, pekan lalu.
Di beberapa bagian, terlihat bekas-bekas pohon yang ditebang dengan pola yang rapi, bukan tumbang karena faktor alam. Seorang teman menyayangkan penebangan itu. Soalnya, pohon-pohon yang roboh itu terlihat masih bagus dan sehat. Saya coba menerangkan bahwa penebangan itu salah satu metode dalam pengelolaan hutan. Namanya tebang pilih.
Pine Grove Trail adalah hutan tanaman yang didominasi pinus merah (red pine). Dari keterangan-keterangan yang terpacak di sepanjang jalur, hutan ini dibangun untuk memulihkan lahan yang terdegradasi. Pemerintah kota merestorasinya sebagai ruang belajar publik tentang dinamika hutan.
Dengan pengelolaan yang tertib, hutan tanaman satu jenis ini juga ternyata bisa berkontribusi bagi keragaman hayati. Sepanjang jalur hiking, pemerintah kota memasang papan informasi bahwa gangguan alamiah terhadap hutan ini justru dipicu untuk memunculkan keragaman ekosistemnya.
Dalam Disturbance Ecology and Forest Management: a Review of the Literature, Roger mengulas apa yang dimaksud dengan gangguan ekologi hutan. Secara sederhana, menurut dia, gangguan ekologi sebagai suatu kejadian alamiah yang menyebabkan perubahan struktur, komposisi dan fungsi ekosistem hutan, termasuk vegetasi, tanah, dan ketersediaan sumber daya lainnya.
Pemicu gangguan bisa oleh alam maupun manusia, yang memiliki variasi spasial dan temporal. Termasuk dalam gangguan oleh alam adalah kebakaran, banjir, kekeringan, tanah longsor, badai, tornado, erosi salju, gunung meletus, atau serangan hama dan penyakit.
Di samping memiliki efek yang merusak dan membahayakan hidup manusia, gangguan ekologis hutan layak kita pahami sebagai sesuatu yang positif. Di Australia, kebakaran hutan dipicu oleh petir. Bagi beberapa jenis pohon, seperti banksia (bunga liar dari keluarga Proteaceae yang berpaku dan berbuah), petir membantunya dalam proses reproduksi. Cangkang keras tempat biji hanya terbuka pada tekanan suhu tinggi. Karena itu di Australia, jika hutan tak terbakar, pemerintah sengaja membakarnya dengan kontrol ketat sebagai bagian dari teknik silvikultur.
Gangguan alam juga memungkinkan terjadinya bukaan hutan. Hutan yang terbuka memberikan peluang tumbuh bagi beberapa jenis pohon yang terhalangi oleh pohon lain yang lebih besar dan mendominasi. Ketika terjadi badai es tahun 1998 di hutan Pine Grove Ottawa yang merusak pohon-pohon pinus, hutan menjadi terbuka sehingga anakan red maple dan beberapa jenis pohon lain yang menyukai cahaya tumbuh dengan subur.
Hasilnya, pohon pinus kini tumbuh berselang-seling dengan red maple membuat hutan ini jadi indah dan berwarna-warni. Satwa liar pun hidup dengan gembira. Rusa dan kelinci menjadikan hutan pinus ini sebagai rumah alamiah yang menyenangkan karena pakan melimpah.
Bagaimana jika gangguan alam tak ada? Seperti di Australia, pengelola hutan akan melakukan tebang pilih untuk memberikan ruang tumbuh yang cukup bagi jenis pohon lain sekaligus meningkatkan keragaman hayati di hutan tersebut.
Penelitian Hughes (2010), dalam Disturbance and Diversity, menunjukkan bahwa dampak meningkatnya keragaman hayati terlihat pada gangguan berskala menengah. Studi tersebut menyimpulkan bahwa meningkatnya keragaman hayati akan mendorong meningkatnya resistensi dan resiliensi (ketahanan) komunitas ekosistem tersebut terhadap gangguan alam yang terjadi.
Sebaliknya, menurut penelitian Hutchison dkk, hutan monokultur memiliki resiliensi lebih rendah terhadap peristiwa-peristiwa iklim yang ekstrem. Karena itu di Chile, perubahan iklim tetap berpengaruh pada keadaan meski ada proyek besar rehabilitasi dan reboisasi tiap tahun. Hutan monokultur dan perkebunan membuat persaingan menyerap emisi menjadi tinggi sehingga kapasitas tiap pohon menyerap gas beracun menjadi rendah.
Perubahan iklim berpengaruh pada perubahan pola gangguan ekologis hutan secara global. Tak hanya menjadi semakin kompleks, gangguan ekologis menjadi intens dan tidak terduga, seperti dijabarkan Seidl dkk (2017) dalam Forest Disturbance under Climate Change.
Suhu panas dan kering bisa memicu kebakaran, kekeringan, dan munculnya jenis invasif seperti hama. Sementara iklim yang lebih panas atau lebih basah juga menaikkan risiko gangguan dari angin dan patogen. Hutan konifera dan boreal akan lebih terdampak dan rentan akibat perubahan cuaca ini. Karenanya, upaya-upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim memang perlu menjadi bagian dari strategi pengelolaan hutan, seperti dicontohkan oleh Dale dkk (2001) dalam Climate Change and Forest Disturbances.
Beberapa contoh di atas sesungguhnya hanya gangguan hutan dari segi ekologis saja. Ada banyak jenis gangguan alam lain yang bisa menjadi pertimbangan dalam mengelola hutan. Semakin banyak gangguan, dalam skala yang masih bisa ditanggungkan ekosistem, hutan akan semakin kebal karena adaptasinya makin kuat. Keragaman hayati juga akan terpicu dengan sendirinya.
Hutan yang kuat akan mendukung hidup manusia. Karena itu, sepanjang gangguannya bukan oleh tangan manusia yang merusak, gangguan-gangguan yang dirancang mendekati alamiah menjadi bagian dari pengelolaan hutan untuk menjaga kelestariannya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa
Topik :