SELAMA dua tahun, masyarakat di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur, menolak rencana pemerintah membangun “Komodo Park”, taman wisata modern seperti dalam bayangan film “Jurassic Park”. Penduduk menganggap tanpa diubah menjadi modern pun, kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo terus naik dari tahun ke tahun.
Menurut Ahyar Abadi, Ketua Asosiasi Kapal Wisata Pulau Rinca, para turis lokal maupun mancanegara datang ke pulau komodo (Varanus komodoensis) tak hanya ingin melihat naga purba satu-satunya di dunia yang bermigrasi dari Australia 900.000 tahun lalu itu. Mereka juga menikmati keasrian alami pulau ini. “Kami dan para turis ingin melihat komodo di habitat alaminya,” kata Ahyar pada 26 Oktober 2020.
Pembangunan taman wisata modern membuat truk dan alat berat datang ke pulau Rinca sejak dua bulan terakhir. Media sosial heboh dengan foto seekor komodo “menghadang” truk yang mengangkut pasir.
Menurut Ahyar, komodo kemungkinan terusik dengan bunyi mesin di pelabuhan maupun tempat wisata sekitar resor. Sebab, selama ini komodo yang cenderung soliter tak terusik dengan bunyi-bunyi asing. “Ada bunyi genset, tapi itu dibuat jauh dari lokasi komodo berkumpul,” kata Ahyar, penduduk Desa Pasir Putih.
Karena itu, sebelum media sosial heboh dengan kedatangan truk itu, masyarakat di lima desa telah menolak rencana pembangunan tersebut. Menurut Ahyar, masyarakat mempertanyakan urgensi pengembangan wisata modern dan premium oleh swasta ini. Mereka ragu, pembangunan sarana dan prasarana di taman nasional ini akan meningkatkan pengunjung.
Selain pengunjung datang ingin melihat keadaan alami komodo, pembangunan justru akan mengganggu komodo. Para turis datang tanpa menginginkan fasilitas modern. Tahun 2017, jumlah turis ke pulau ini hanya 44.500, tahun berikutnya melonjak 42%—bahkan melampaui target kunjungan pengelola Taman Nasional Komodo.
Sejalan dengan masyarakat, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sebuah LSM, juga tak setuju proyek wisata ini. Walhi menyoroti ketiadaan analisis mengenai dampak lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan (UKL) dan rencana pemantauan lingkungan (UPL) untuk mengukur dampak pembangunan terhadap lingkungan maupun keberadaan komodo.
“Kami adalah anggota Komisi Penilai Amdal provinsi,” kata Umbu Wulang Tanaamahu, Direktur Walhi NTT. “Sampai hari ini enggak ada amdal, enggak ada UKPL-UPL tapi pembersihan lahan sudah jalan.”
Walhi, kata Umbu, sudah menyampaikan penolakan pembangunan itu karena risiko-risiko lingkungan sejak tahun lalu. Selain tak mendapat respons pemerintah, Walhi juga tak mendapat undangan membahas amdal proyek itu. “Aturannya tak boleh ada pembersihan lahan sebelum izin lingkungannya keluar,” kata dia.
Seharusnya, kata Umbu, jika ingin mengembangkan pariwisata komodo, pemerintah fokus pada urusan sains dan konservasi habitat komodo, dalam urusan genetik, ekosistem, antropologi, dan hubungan sosial dengan masyarakat setempat. “Jadi, sains itu yang dipromosikan, wisata sains peradaban komodo,” kata Umbu.
Menjawab segala keraguan masyarakat itu, pemerintah meyakinkan bahwa proyek wisata modern ini sebagai bagian penataan menyeluruh Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang bertujuan melindungi Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO yang memiliki outstanding universal value.
Pembangunannya melalui kesepakatan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air dan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 15 Juli 2020.
Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengklaim pemerintah sudah membuka konsultasi publik untuk mencegah dampak negatif pembangunan wisata terhadap habitat satwa, khususnya komodo. “Perencanaannya secara terpadu baik penataan kawasan, jalan, penyediaan air baku dan air bersih, pengelolaan sampah, sanitasi, dan perbaikan hunian penduduk melalui sebuah rencana induk pengembangan infrastruktur yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi,” katanya.
Penataan Kawasan Pulau Rinca meliputi pengembangan dermaga Loh Buaya, hingga pembangunan elevated decksebagai jalan akses yang menghubungkan dermaga dan tempat lainnya. Jalan laying itu akan dibangun setinggi dua meter agar tidak mengganggu aktivitas komodo dan hewan lain yang melintas serta melindungi keselamatan pengunjung
Basuki mengklaim izin lingkungan hidup penataan kawasan Pulau Rinca di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat terbit pada 4 September 2020.
Saat ini penataan Pulau Rinca tengah memasuki tahap pembongkaran bangunan dan pembuangan puing, pembersihan, dan pembuatan tiang pancang, yang ditunjukkan dengan kedatangan truk-truk itu. "Kami selalu didampingi ranger dari Balai Taman Nasional Komodo, sehingga proses pembangunan prasarana dan sarana tidak merusak atau mengganggu habitat komodo," kata Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Provinsi NTT Herman Tobo.
Dalam keterangan tertulis pada 27 Oktober 2020 Direktur Jenderal KSDAE Kementerian Lingkungan Wiratno mengatakan bahwa pengembangan wisata alam pulau Rinca dibatasi hanya pada zona pemanfaatan seluas 500 hektare atau 2,5% dari luas pulau Rinca. “Kami menerapkan prinsip kehati-hatian sejak dari perencanaan ruang,” kata Wiratno.
Menurut Wiratno, pembongkaran bangunan dan pembuangan puing memakai alat berat karena tak memungkinkan memakai tenaga manusia. Ia mengklaim kegiatan itu sesedikit mungkin kontak dengan satwa sehingga tidak membahayakan populasi mereka. “Para ranger 5-10 orang mengawasi pekerjaan dan memeriksa komodo termasuk di kolong-kolong bangunan atau kolong truk,” kata dia.
Dari pengamatan lapangan, jumlah komodo yang berkeliaran di areal pembangunan sebanyak 15 individu. Mereka tak menghindar manusia ketika bersirobok. Menurut Wiratno, populasi komodo di Loh Buaya sebanyak 5% dari 66 di seluruh pulau Rinca. “Jumlahnya stabil selama17 tahun terakhir,” kata dia.
Selama pembangunan, Balai Taman Nasional Komodo menutup Resor Loh Buaya sejak 26 Oktober 2020 hingga 30 Juni 2021 yang dievaluasi setiap dua pekan. Lokasi wisata lain seperti Padar, Loh Liang, pantai pink dan lokasi menyelam di Karang Makasar, Batubolang, Siaba, Mawanap, tetap dibuka.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :