Kabar Baru| 05 November 2020
Dampak UU Cipta Kerja Terhadap Lingkungan
SETELAH simpang siur hampir sebulan mengenai draf final Undang-Undang Cipta Kerja, Presiden Joko Widodo menandatangani draf versi 1.187 halaman pada 2 November 2020. Draf final ini menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
Kendati banyak kekeliruan setelah disahkan, UU Cipta Kerja merupakan sejarah baru dalam regulasi karena dirumuskan melalui metode omnibus law: memangkas, menghapus, mengubah, dan menambahkan pasal-pasal baru di 79 undang-undang yang menghimpun 1.124 pasal menjadi 186 pasal utama.
Bagi Profesor Dodik Ridho Nurrohmat, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, UU Cipta Kerja seperti radio rusak yang diperbaiki montir amatir. Alih-alih berhasil memperbaiki, montir amatir itu malah membuat suara radio yang tadinya mendenging menjadi kian tak enak didengar.
Radio itu adalah obesitas regulasi di Indonesia, yang tumpang tindih, saling bertentangan, sehingga pemanfaatan sumber daya alam menjadi mandek bahkan menghasilkan bencana ekologi. “Jadi, apakah omnibus law perlu? Sangat perlu. Tapi perbaikannya jadi mengkhawatirkan,” katanya, dalam “Pelatihan Restorasi untuk Jurnalis Muda” pada 3 November 2020.
Menurut Dodik, undang-undang ini terlalu umum sehingga hanya menjadi kerangka kebijakan yang operasionalnya mesti diterjemahkan dalam peraturan di bawahnya.
Kerangka umum itu pun masih tak selaras di beberapa pasal. Misalnya, kewajiban industri membuat analisis mengenai dampak lingkungan sebagai bagian dari izin bisnis, dihapus untuk usaha perkebunan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap izin berusaha tak bisa dipidanakan karena Undang-Undang Cipta Kerja menghapus pasal pemidanaannya.
Afirmasi bagi usaha besar ini tak sebanding dengan afirmasi bagi usaha kecil atau masyarakat tradisional atau izin-izin usaha untuk wilayah perdesaan. Karena itu, penghapusan dan pemangkasan ketentuan dalam undang-undang sebagai penyakit tumpang-tindih yang hendak diselesaikan omnibus law masih terjadi dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Undang-undang ini membutuhkan setidaknya 397 peraturan pemerintah agar secara operasional ketentuan-ketentuannya bisa berjalan di lapangan. Di sektor hutan dan lingkungan, menurut Dodik, hal krusial dalam pengaturannya adalah penetapan fungsi hutan yang membedakan dengan kategori kawasan hutan. Penetapan fungsi hutan akan melindungi hutan tetap lestari meski statusnya berubah.
Tanpa penetapan fungsi hutan lebih dulu, kawasan hutan akan bisa diubah untuk pelbagai keperluan apa pun. Undang-Undang Cipta Kerja membuka peluang perubahan-perubahan fungsi kawasan hutan itu karena terlalu condong pada investasi. “Kunci melindungi hutan adalah mengubah rezim status menjadi rezim fungsi hutan,” kata dia.
Karena terlalu umum, Undang-Undang Cipta Kerja memberikan keleluasaan diskresi bagi pemerintah pusat dalam mengatur banyak hal, terutama yang terkait dengan investasi. Dari penentuan tata ruang hingga pengenaan sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan dan memberikan dampak membahayakan.
Diskresi itu akan tertuang dalam peraturan pemerintah yang tengah digodok. Masalahnya, pembuatan peraturan pemerintah jauh lebih tertutup ketimbang pembahasan undang-undang yang melibatkan lembaga publik seperti DPR.
Forest Digest menghimpun analisis tujuh pakar dalam memetakan risiko-risiko lingkungan Undang-Undang Cipta Kerja dalam “Lembar Fakta UU Cipta Kerja”. Analisis itu dilengkapi dengan rekomendasi untuk penyusunan peraturan pemerintah agar diskresi yang luas itu tetap mengutamakan aspek lingkungan.
Di tengah ancaman pemanasan global dan krisis iklim aspek lingkungan menjadi tumpuan dan pintu masuk dalam pembangunan. Bisnis dunia memakai prinsip-prinsip lingkungan agar memacu ekonomi tak menimbulkan dampak bagi bencana lingkungan yang ongkosnya jauh lebih mahal ketimbang harga ekonomi dan kemajuan.
Rumusan “Lembar fakta UU Cipta Kerja” terhadap enam klaster yang berhubungan dengan lingkungan bisa Anda unduh di sini atau memindai QR Code di foto utama artikel ini.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :