KETIKA berbicara soal lingkungan hidup dalam Islam, orang kerap mengutip ayat ke-41 surat Ar-Rum, yang artinya: “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan manusia. (Hal itu terjadi) agar mereka merasakan apa yang mereka lakukan, agar mereka kembali (ke kebaikan).”
Ayat ini begitu populer sehingga, seakan-akan, tidak ada ayat lain yang bicara soal lingkungan hidup dalam Al Quran. Bisa dimaklumi, karena ayat ini begitu jelas menerangkan tentang kerusakan di darat dan laut yang terjadi karena ulah manusia.
Hanya saja, kita kerap hanya berhenti di ayat ini. Seakan-akan ayat ini datang terpisah dari ayat-ayat lainnya, bahkan terpisah dari ajaran Islam secara keseluruhan. Padahal, kita tahu, dalam Islam semua ayat saling terkait, setiap ajaran selalu berhubungan dengan ajaran lainnya.
Hal yang sama terjadi pada ayat di atas. Kalau kita perhatikan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kita akan tahu ada keterkaitan antara ayat ini dengan ajaran Islam lainnya. Pada ayat sebelumnya Allah menerangkan penciptaan langit dan bumi, perputaran kehidupan dan kematian. Ayat itu juga menerangkan bahwa rezeki manusia adalah bagian dari siklus alam tersebut.
Penegasan itu menunjukkan bahwa Allah telah menyediakan kebutuhan manusia secara alamiah dan berkelanjutan. Artinya, rezeki atau ketersediaan bekal manusia di dunia ini akan terus ada selama siklus alam tetap terjaga. Artinya juga, kalau kita menghancurkan siklus itu, maka rezeki dari Allah juga akan terganggu.
Kesadaran ini yang kerap luput kita insafi. Bahkan kita melakukan sebaliknya, untuk mendapatkan “rezeki” kita harus mengeksploitasi lingkungan hidup dengan semena-mena. Eksploitasi semacam ini bukan disebabkan oleh ketidaktersediaan rezeki atau oleh kebutuhan, tapi oleh keinginan berlebihan.
Itulah mengapa hal yang ditentang oleh Islam selalu adalah keserakahan. Berkali-kali Al-Quran mengingatkan bahwa tugas utama para rasul adalah membuat orang percaya akan Tuhan (Allah SWT) dan tidak berlebihan dalam makan (konsumtif). Allah melarang kita menuhankan dorongan keinginan untuk menguasai dan menikmati secara berlebihan dalam mengeksploitasi alam ini.
Itulah kenapa di ayat berikutnya, di surat Ar-Rum ayat 42, Allah meminta kita keliling dunia, melihat bagaimana kerusakan terjadi. Kerusakan-kerusakan itu terjadi karena mereka menuhankan hawa nafsu atau keinginan yang berlebihan tersebut. Untuk mengatasinya, kita diminta berbuat baik seperti yang dipesankan di ayat ke-44 dan ke-45.
Menahan keinginan mengeksploitasi bumi bukan berarti larangan menikmati kehidupan. Justru kita diminta bisa menikmati setiap momen dalam hidup, sekecil apa pun. Kenikmatan hidup tidak harus didapat dengan mengeksploitasi habis-habisan bumi ini, tapi dengan merasakan setiap hal, sekecil apa pun, seperti udara.
Di ayat ke-46 disebutkan bahwa udara, angin yang berhembus, pun membawa “kabar baik” atau kenikmatan, “agar kalian bisa merasakan kasih-Nya”. Dan agar “kalian bisa mencari kelebihan yang diberikan-Nya”. Saat bicara tentang rezeki, Allah kerap memakai kata fadhl atau kelebihan. Artinya, yang kita ambil dari alam adalah sesuatu yang berlebih, bukan dengan menggerus secara berlebihan cadangannya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Topik :