Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 November 2020

Kearifan Lokal Melestarikan Laut Wakatobi

Masyarakat Darawa di Wakatobi membudidayakan gurita di laut lepas. Mereka juga menanam rumput laut memanfaatkan sampah plastik

Penduduk Desa Darawa panen gurita. Penduduk desa di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, memakai sasi atju wilayah kelola dengan waktu tertentu terlarang memasukinya karena gurita sedang bertelur (Foto: Balai Taman Nasional Wakatobi)

DI Desa Darawa, penduduk hidup tenang tanpa utang. Hidup di pulau karang di tengah laut Wakatobi membuat mereka mengandalkan sepenuhnya kebutuhan sehari-hari pada sumber daya laut. Penduduk Darawa membudidayakan gurita di laut lepas dan menanam rumput laut dengan memanfaatkan sampah plastik.

Dalam budidaya gurita, penduduk mempraktikkan sasi, bahasa lokal daerah Indonesia timur untuk “wilayah kelola”. Ini praktik mengelola dan menjaga laut yang sudah turun-temurun di Darawa dan pulau-pulau kecil di laut Sulawesi Tenggara.

Konstruksi Kayu

Sasi semacam jeda menginvasi laut. Selama tiga bulan, penduduk terlarang masuk ke wilayah sasi yang mereka tetapkan berdasarkan musyawarah dengan melihat lokasi hidup gurita. Waktu paling terlarang mendekati sasi adalah lima hari sebelum dan sesudah purnama. Sebab, di waktu ini gurita sedang bertelur.

Waktu tiga bulan adalah masa tumbuh gurita. Setelah tiga bulan, gurita akan menua bahkan mati. Maka sebelum mereka menjadi renik di dasar laut, para nelayan Darawa memanennya. Sasi mulai mereka hidupkan lagi setelah 2005, setelah lama vakum karena daerah-daerah laut terlarang hancur dibom nelayan luar.

Bekerja sama dengan Taman Nasional Wakatobi, penduduk Darawa mendirikan sasi dengan membuat peraturan desa yang melarang siapa pun mendekat ke wilayah kelola itu. Jika ada nelayan desa lain yang coba-coba mendekat ke sana, penduduk Darawa akan melaporkannya kepada polisi hutan.

Saya mengunjungi Desa Darawa pada 8 November 2020 dan menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat di sana mempraktikkan kearifan lokal menjaga laut. Cerita tentang mereka saya baca di buku Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto, Catatan dari Tepi Hutan, yang terbit pada 2019.

Dari buku itu saya tahu, ide mendirikan sasi datang dari La Jumani, seorang nelayan yang sempat merantau ke Malaysia karena kalah bersaing menjala ikan dengan nelayan luar yang datang dengan bom karena dimodali investor. Ia kembali ke Darawa setelah melihat bagaimana nelayan Malaysia memakai konservasi sehingga biota laut ada sepanjang tahun.

Ide La Jumani disambut Taman Nasional Wakatobi. Memakai pola kemitraan, Taman Nasional mengizinkan penduduk memiliki sasi di zona pemanfaatan seluas 89 hektare. Luas ini kemudian ditambah menjadi 103 hektare setelah para ibu juga mengajukan sasi sendiri. Maka di sini ada sasi untuk laki-laki yang jika surut kedalaman lautnya sedada orang dewasa. Sementara sasi perempuan setinggi lutut.

Keberhasilan Jumani itu tak lepas dari pola komunal memanfaatkan laut yang dimulai 2007. Pola kemitraan itu berwujud kelompok nelayan yang diakui pemerintah melalui Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kelompok nelayan Dewara melibatkan 62 keluarga. Belakangan, karena keberhasilan itu Jumani menjadi Kepala Desa Darawa.

Menurut Suhardin, Sekretaris Kelompok Nelayan Dewara, jika wilayah kelola disebut sasi, waktu penutupan dinamakan tobanto dan masa panen adalah tobeta. Para ibu memiliki tiga sasi seluas 40 hektare. Sementara sasi laki-laki 89 hektare dan 40 hektare. “Karena lautnya surut kami mudah menangkap gurita,” kata Numala, anggota kelompok berusia 28 tahun.

Di masa tobanto, penduduk membudidayakan rumput laut dengan media tanam memanfaatkan sampah botol plastik yang mengapung di laut. Cara ini membuat laut Darawa bersih dari sampah dan menghasilkan. Usia panen rumput laut adalah tiga bulan.

Maka, ketika masa panen rumput laut habis, mereka memanen gurita. Siklus itu berputar terus sepanjang tahun. Semua hasil panen laut itu mereka jual ke pasar atau pengepul yang datang. Harganya Rp 50 ribu per kilogram gurita (atau satu gurita dewasa seharga Rp 150.000) dan Rp 7.500 per kilogram rumput laut kering yang panen tiga kali sehari selama 45 hari.

Dihitung-hitung, menurut Jumani, nilai ekonomi gurita dan rumput laut penduduk Darawa Rp 7 miliar setahun. Mereka tengah berencana menjadikan panen gurita sebagai atraksi ekowisata kepada turis. Rumah-rumah mereka akan jadi tempat singgah para wisatawan.

Keluarga di Desa Darawa Wakatobi, Sulawesi Tenggara, sedang menjemur rumput laut. Mereka gemahnen dan membudidayakan rumput laut memakai media sampah botol plastik ketika masa terlarang memasuki sasi tempat gurita bertelur (Foto: Balai Taman Nasional Wakatobi)

Dengan penghasilan besar itu, hidup nelayan Darawa berkecukupan. Mereka bisa menyekolahkan anak hingga kuliah. Semua anggota kelompok mengaku anak mereka rata-rata berkuliah di kota Bau-Bau atau Kendari. Beberapa menyekolahkan anak hingga ke Makassar, bahkan ke kota-kota di Pulau Jawa.

Dengan pencapaian-pencapaian itu nelayan Darawa dua kali mendapatkan penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Satu dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, satunya lagi dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain